Mahasiswa Tangerang Kaji Proses Hukum atas Polisi Smackdown

CNN Indonesia | Jumat, 15/10/2021 19:50 WIB

Tangerang, CNN Indonesia — Ketua Umum Forum Himpunan Mahasiswa Tangerang (HIMATA), Rifky Firmansyah mengatakan pihaknya masih fokus pada penanganan penyembuhan kesehatan rekan mereka, Fariz, yang dibanting ala smackdown oleh polisi saat berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Tangerang, Banten, pada Rabu (13/10).
Di satu sisi, pihaknya pun masih mengkaji untuk melaporkan dugaan tindak pidana atas bantingan aparat kepolisian dalam pengamanan aksi unjuk rasa terhadap kader tersebut.

“Betul, betul. Karena kajian sedang dibuat juga. Lagi proses pembuatan sama teman HIMATA juga,” kata Rifky.

Jika kajian tersebut lengkap, lanjut Rifky, pihaknya masih mempertimbangkan dari diskusi kader-kadernya, apakah akan menyeret pelaku tersebut ke ranah hukum.

“Nanti tergantung hasil kajian bagaimana diskusi teman-teman HIMATA juga,” ungkapnya.

Rifky juga menyoroti perkembangan pemeriksaan pelaku tersebut di Propam. Pihaknya mengawal pemeriksaan pelaku pembantingan terhadap kadernya itu agar diberikan tindakan yang tegas oleh kepolisian.

“Jadi yang dikhawatirkan pemeriksaan secara internal nanti bulet, bulet dalam arti apa diomongin tidak sesuai dengan realita,” tegasnya.

“Maka dari itu saya juga masih berkoordinasi dengan pihak kepolisian sampai sejauh mana, sejauh mana proses dari internal lembaga kepolisian dalam menindak tersangka. Teman-teman masih mengkaji proses hukum berikutnya,” imbuh Rifky.

Secara terpisah, pada hari yang sama, Kapolresta Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro menyatakan Brigadir NP yang membanting Fariz masih diperiksa Mabes Polri dan Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Banten. Sementara untuk sanksi masih menunggu hasil pemeriksaan tersebut.

“Bapak Kapolda Banten sangat atensi sekali. Makanya sambil menunggu proses pemeriksaan dari Mabes Polri, Bid Propam Polda Banten sudah melakukan pemeriksaan termasuk bersangkutan sampai saat ini masih di tangani Bid Propam Polda Banten,” ujar Wahyu kepada wartawan, Jumat (15/10).

Sejumlah lembaga sawadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengkritik sikap Polri yang dinilai melakukan penyangkalan berlebihan dalam menanggapi riuhnya tagar #PercumaLaporPolisi beberapa hari terakhir.
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang tergabung dalam koalisi tersebut, Teo Reffelsen mengatakan tagar #PercumaLaporPolisi yang digaungkan pengguna media sosial merupakan bentuk ekspresi kekecewaan dan kritik masyarakat atas kinerja Polri yang dinilai tidak transparan, akuntabel, dan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).

“Alih-alih merespons kritik dengan memperbaiki kinerja, Polri justru melakukan penyangkalan yang berlebihan dan tidak perlu,” kata Teo dalam keterangan resmi yang CNNIndonesia.com terima, Jumat (15/10).

Salah satu bentuk penyangkalan itu, kata Teo, terlihat dari tindakan akun Instagram Humas Polres Luwu Timur yang sempat membuat klarifikasi terkait kasus dugaan perkosaan tiga anak yang penyelidikannya dihentikan polisi.

Dalam klasifikasi itu, Humas Polres Luwu TImur memberikan stempel hokas terhadap liputan yang mengungkap pemberhentian penyelidikan ini. Tidak hanya itu, Humas Polres Luwu Timur juga menyebarkan nama terang ibu korban.

Kemudian, kasus lain yang belakang menjadi sorotan adalah tindakan aparat kepolisian yang membanting salah satu mahasiswa saat mereka melakukan demonstrasi di depan kantor Pemerintah Kabupaten Tangerang pada Rabu (13/10).

Dalam video yang beredar, akibat tindakan itu korban juga sempat tidak sadarkan diri dan tampak mengalami kejang-kejang. Teo lantas mendesak agar Polda Banten memproses baik secara etik maupun pidana terhadap aparat tersebut.

“Kendati pelaku sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, namun hal tersebut tidak menghapus pertanggungjawaban pelaku dan juga atasan pelaku,” ujar Teo.

Catatan Tindak Kekerasan oleh Polisi


Merujuk data yang dihimpun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sejak Juni 2020 hingga Mei 2021 terdapat setidaknya 651 kasus kekerasan yang dilakukan Polisi ke masyarakat sipil.

Adapun jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan yang telah mengakibatkan 13 orang tewas dan 98 orang luka-luka.

“Jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan,” tutur Teo.

Sementara, berdasarkan catatan lembaga lainnya, Imparsial, sepanjang 2016-2020 ditemukan 76 kasus penyiksaan dalam tugas-tugas pemolisian.

Dari jumlah tersebut, 17 kasus di antaranya terjadi di tingkat Polsek, 51 di tingkat Polres, 5 kasus di tingkat Polda, 1 peristiwa penyiksaan dilakukan oleh Brimob, dan 1 peristiwa oleh Densus 88.

Adapun tindakan penyiksaan yang paling banyak dilakukan adalah pemukulan sebanyak 57 temuan, pencambukan 11 temuan, penodongan dan mengancam dengan senjata 6 temuan, disterum 4 tamuan, dan lainnya.

“Berdasarkan data yang kami miliki, diketahui setidaknya 25 orang telah meninggal dunia akibat praktik ini. Penting untuk digaris bawahi bahwa data tersebut merupakan puncak gunung es dari praktik kekerasan dan penyiksaan yang terjadi di Indonesia,” ujar Teo.

Berdasarkan catatan tersebut, Teo menilai catatan tindak brutalitas aparat menunjukkan bahwa persoalan ini bukan hanya disebabkan oleh individu anggota kepolisian melainkan persoalan sistemik.

Jika persoalan ini tidak dibenahi pimpinan Polri, maka kejadian serupa akan terus terjadi dan dengan sendirinya mencoreng nama baik Polri. Buntutnya, tingkat kepercayaan publik kepada korps Bhayangkara itu akan menurun.

“Bukan hanya persoalan individu anggota semata, tetapi juga persoalan sistemik yaitu kultur kekerasan yang masih kuat di dalam tubuh kepolisian,” ujar Teo.

Oleh karena itu, koalisi itu mendesak agar Presiden dan DPR RI bisa mempercepat agenda reformasi Polri seperti merevisi UU Kepolisian, KUHAP, dan beberapa aturan yang bersinggungan dengan kerja-kerja polisi.

Mereka juga mendesak agar Presiden dan DPR memerintahkan Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan memperbaiki pelaksanaan tugas kepolisian.

“Petugas yang melakukan tindak kekerasan harus segera ditindak melalui proses peradilan pidana yang transparan,” ujarnya.

Sejumlah lembaga yang tergabung dalam koalisi ini antara lain, KontraS, Imparsial, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Jakarta, dan Amnesty International Indonesia.

id_IDBahasa Indonesia