Kompas.com – 15/10/2021, 14:25 WIB
Penulis Tatang Guritno | Editor Krisiandi
JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai munculnya tagar #PercumaLaporPolisi yang viral dua pekan terakhir di media sosial merupakan ekspresi kekecewan dan kritik masyarakat pada kinerja Polri.
Kepala divisi hukum Kontras, Andi Rezaldy menyatakan tagar ini muncul karena kerja kepolisian dalam penanganan perkara tidak transparan dan akuntabel. “Hal ini menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat pada pada aparat penegak hukum dan hukum itu sendiri,” terang Andi pada Kompas.com, Jumat (15/10/2021).
Andi mencontohkannya dengan perkara dugaan pemerkosaan di Luwu Timur yang viral karena reportase Project Multatuli.
Polisi, lanjut dia, justru merespons kritik atas penanganan perkara itu dengan penyangkalan yang berlebihan.
“Akun Instagran Polres Luwu Timur membuat klarifikasi dan diikuti cap hoaks pada artikel berita yang dipublikasi Project Multatuli,” tegas Andi.
“Parahnya klarifikasi yang dimuat menyebut identitas orang tua korban. Padahal berdasarkan hukum, memuat identitas nama orang tua korban merupakan sesuatu yang dilarang,” jelas dia.
Andi juga tidak sepakat dengan tindakan kepolisian merespons protes dengan kekerasan. Seperti yang terjadi pada mahasiswa yang berunjuk rasa di Kabupaten Tangerang, Rabu (13/10/2021).
Dalam video yang beredar dan menjadi viral, polisi membanting mahasiswa hingga bagian punggungnya menatap trotoar.
“Kendati sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf namun hal tersebut tidak menghapus pertanggung jawaban pelaku dan atasan pelaku,” tutur Andi.
Andi mengungkapkan berdasarkan catatan Kontras, tindakan kekerasan masih kerap dilakukan polisi pada masyarakat sipil.
Catatan Kontras Juni 2020 hingga Mei 2021 menunjukan adanya 651 kasus kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian.
“Jenis kekerasan yang banyak dilakukan adalah penembakan yang telah menewaskan 13 orang dan 98 luka-luka,”
ucapnya. Mengutip data Imparsial, Andi memaparkan, sejak 2016-2020 terdapat 76 kasus penyiksaan yang dilakukan polisi.
“17 di antaranya terjadi di level Polsek, 51 peristiwa di Polres, 5 di level Polda, 1 peristiwa oleh Brimob dan 1 peristiwa oleh Densus 88,” katanya.
“Cara yang paling sering ditemukan adalah pemukulan, pencambukan, ditodong atau diancam dengan senjata, disetrum, dan cara-cara lainnya,” imbuh Andi.
Andi menegaskan bahwa catatan itu menunjukan bahwa budaya kekerasan masih ada di tubuh Polri.
“Jika tak segera diselesaikan, peristiwa serupa akan berulang dan dengan sendirinya akan mencoreng nama baik institusi Polri juga menurunkan tingkat kepercayaan publik pada Polri,” pungkas dia.
Belakangan kinerja Polri sedang menjadi perhatian masyarakat menyusul viralnya tagar #PercumaLaporPolisi.
Tagar ini muncul bersamaan dengan diunggahnya reportase Project Multatuli yang menceritakan keluhan seorang ibu bahwa perkara dugaan pemerkosaan yang terjadi pada 3 orang anaknya tidak dilanjutkan oleh Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Perkara ini sekarang sedang kembali didalami pihak kepolisian melalui Mabes Polri yang mengirimkan tim asistensi untuk membantu penanganan.
Di sisi lain, Rabu kemarin, anggota polisi kembali menjadi sorotan karena memiting dan membanting seorang mahasiswa yang berunjuk rasa di Kabupaten Tangerang. Rangkaian peristiwa itu membuat tagar #PercumaLaporPolisi terus bermunculan.
Menanggapi itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyatakan, tiap laporan masyarakat ke polisi akan ditindaklanjuti.
Selanjutnya, proses hukum akan dilakukan berdasarkan alat bukti yang ada.
“Yang jelas, setiap laporan masyarakat yang menginginkan pelayanan kepolisian di bidang penegakan hukum pasti akan ditindaklanjuti. Dan tentunya proses di kepolisian sendiri didasari dari alat bukti,” kata Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (8/10/2021).