Imparsial

Siaran Pers Menyikapi Pembahasan RUU TNI dan RUU Polri di DPR RI

Foto Imparsial : Siaran Pers Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

Menyikapi Pembahasan RUU TNI dan RUU Polri di DPR RI

Pada 8 Juli 2024, DPR sudah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait revisi UU TNI dan revisi UU Polri. Berdasarkan dokumen naskah yang beredar di Publik, serta proses pembahasan yang minim evaluasi dan partisipasi publik, koalisi menolak segala pembahasan UU tersebut di periode DPR saat ini karena terdapat sejumlah masalah krusial yang membahayakan hak asasi manusia (HAM) dan merusak tata kelola negara hukum dan demokrasi, serta proses pembahasan yang tidak demokratis. Oleh karena itu Koalisi merasa perlu menyatakan sikap yang akan kami tuangkan sebagai berikut:

Pertama, Koalisi memandang pembahasan undang-undang strategis seperti revisi UU TNI dan revisi UU Polri harusnya memperhatikan aspirasi publik mengingat kedua undang-undang tersebut sangat berdampak langsung pada penikmatan hak-hak warga negara termasuk HAM oleh masyarakat. Mengingat periode DPR masa bakti 2019-2024 tidak lama lagi akan segera berakhir, Koalisi mengkhawatirkan akan terjadi pola pembahasan yang transaksional dan mengabaikan kritik dan usulan penting masyarakat sipil.

Kedua, mengingat masa bakti anggota DPR periode 2019-2024 akan segera berakhir, secara etika politik Koalisi memandang semestinya seyogyanya tidak boleh ada pembahasan kebijakan dan/ UU baru yang strategis. Di tengah masa transisi DPR dan Pemerintah seperti sekarang ini sudah semestinya pemerintah mempersiapkan transisi yang baik dengan tidak merubah kebijakan dan atau UU strategis dan memberikan kewenangan itu kepada DPR dan Pemerintahan terpilih apalagi banyak dari anggota DPR periode 2019-2024 saat ini tidak terpilih kembali menjadi anggota DPR RI periode berikutnya.

Ketiga, perancangan revisi UU TNI dan revisi UU Polri yang sedari awal tidak melibatkan publik sudah mencerminkan bahwa revisi kedua UU tersebut bukanlah untuk kepentingan publik melainkan kepentingan politik dan segelintir kelompok tertentu. Sudah seharusnya pembahasan UU sepenting UU TNI dan UU Polri melibatkan publik secara luas mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan sebagaimana peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Pemerintah, seyogyanya melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap ke dua UU ini, apa saja substansi yang dibutuhkan untuk memperkuat profesionalisme ke dua instansi ini.

Keempat, sebagaimana siaran pers kami terdahulu bahwa substansi revisi UU TNI dan revisi UU Polri telah banyak sekali mengandung masalah mulai dari peran kedua aparat negara yang begitu intrusif hingga pemberian kewenangan yang eksesif untuk TNI-Polri. Pengaturan yang problematik tersebut tidak hanya dikhawatirkan akan melemahkan dan memundurkan agenda reformasi TNI dan Polri tetapi juga akan berdampak langsung pada terlanggarnya hak-hak warga negara.

Jakarta, 23 Juli 2024

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

(Imparsial, KontraS, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, Forum de Facto, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Pos Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP)

Narahubung:

  1. Ardi Manto Adiputra (Imparsial)
  2. Dimas Bagus Arya (KontraS)
  3. Usman Hamid (Amnesty International Indonesia)
  4. Annisa Azzhara (PBHI)
  5. Wahyudi Djafar (ELSAM)
  6. Teo Reffelsen (WALHI)
  7. Mike Verawati (Koalisi Perempuan Indonesia)
  8. Al Araf (Centra Intiative)
  9. Halili Hasan (Setara Institute)
  10. Arif maulana (YLBHI)
id_IDBahasa Indonesia