KKB Perpanjang Siklus Kekerasan di Papua Pasca-Pasokan Amunisi dari Oknum Aparat


Jumat, 22 Oktober 2021 15:36

Editor: Roy Ratumakin

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri berpandangan, dugaan penjualan amunisi oleh oknum anggota TNI merupakan bentuk penyimpangan.

Lebih dari itu, hal semacam itu berdampak pada penyelesaian masalah keamanan di Papua.

Dugaan sejumlah oknum anggota TNI memasok amunisi kepada pihak yang berafiliasi dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua mesti ditelusuri dan ditindaklanjuti.

Tidak hanya karena merupakan pelanggaran pidana, tetapi juga kasus tersebut dapat berdampak pada makin panjangnya siklus kekerasan di tanah Papua.

”Amunisi tersebut bisa dipastikan digunakan dan hal itu menghambat pemutusan siklus kekerasan yang masih terus terjadi sampai sekarang di Papua,” kata Gufron dikutip Tribun-Papua.com dari laman Kompas, Jumat (22/10/2021).

Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap tiga orang yang ditangkap di Kabupaten Mimika, Papua, pada 30 September 2021, terungkap fakta mengenai seorang oknum anggota TNI yang memasok 604 butir amunisi kepada tiga orang yang berafiliasi dengan kelompok kriminal bersenjata di pegunungan Papua.

Ketiga orang tersebut adalah AB, KG, dan BS yang mengaku mendapatkan 604 butir amunisi kaliber 5,56 milimeter dari oknum anggota TNI.

Menurut Gufron, selama ini terdapat dugaan bahwa secara langsung ataupun tidak langsung, konflik di Papua dipelihara.

Kasus dugaan penjualan amunisi kepada pihak yang berkonflik merupakan salah satu bentuk penyimpangan dalam konteks pendekatan keamanan yang ada di sisi hilir.

Sementara, lanjut Gufron, persoalan mendasar yang selama ini tidak tersentuh adalah kebijakan keamanan yang diambil oleh pemerintah di Papua.

Oleh karena itu, untuk memutus penyimpangan tersebut, yang diperlukan tidak hanya sekadar audit persenjataan, tetapi audit menyeluruh terhadap Papua, mulai dari kebijakan, gelar pasukan, dan operasi yang dijalankan, serta aspek transparansi beserta akuntabilitasnya.

Salah satu kebijakan yang mesti dievaluasi adalah penempatan aparat militer yang tidak hanya di perbatasan, tetapi juga di pos-pos yang berada di tengah permukiman warga yang selama ini dinilainya mengganggu warga, bahkan menjadi persoalan sistemik.

Ketika hal seperti itu tidak pernah dievaluasi, persoalan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi.

”Selama persoalan-persoalan itu tadi tidak dievaluasi dan dikoreksi, penyimpangan dalam konteks operasi keamanan selalu terjadi. Kasus itu merupakan persoalan di sisi hilir. Selama persoalan di hulu tidak disentuh, kasus serupa akan selalu berulang,” ujar Gufron.

Terpisah, Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Amiruddin Al Rahab mengatakan, kasus keterlibatan oknum aparat dalam memasok senjata untuk KKB telah banyak terungkap.

Dari situ, tampak bahwa Papua seolah menjadi pasar kekerasan.

Akibatnya, konflik di Papua menjadi siklus yang tidak terputus.

Mengingat perisriwa serupa pernah terjadi sebelumnya, yang diperlukan adalah evaluasi menyeluruh oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan terhadap kebijakan pendekatan keamanan yang diambil pemerintah selama ini.

Kemudian, evaluasi juga perlu dilakukan terhadap aparat keamanan yang selama ini diterjunkan dalam menangani gangguan bersenjata dan menata ulang keberadaan mereka.

“Sudah terlalu lama daerah Papua itu dikategorikan sebagai daerah rawan. Pertanyaannya, masak 20 tahun tetap menjadi daerah rawan terus,” ujar Amiruddin.

Menurut Amiruddin, fakta semacam itu berdampak pada siklus kekerasan yang terus terjadi di Papua.

Akibatnya, permasalahan mengenai hak asasi manusia tidak pernah terselesaikan hingga sekarang karena peristiwanya terus berulang.

Sementara itu, Kepala Bidang Penerangan Umum Pusat Penerangan TNI Kolonel Laut Edys Riyanto ketika dikonfirmasi terkait dengan dugaan pasokan amunisi ke KKB yang melibatkan oknum TNI mengatakan, pihaknya tengah mendalami informasi tersebut. (*)









id_IDBahasa Indonesia