Penyelesaian Kasus Pembunuhan Munir Stagnan, KASUM: Perlu Ada Ketegasan Negara

Dwi Bowo Raharjo | Yosea Arga Pramudita

Selasa, 07 September 2021 | 11:23 WIB

Suara.com – Munir Said Thalib, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) meninggal dua jam saat melakukan penerbangan ke Amsterdam pada 7 September 2004 silam. Hari ini, tepat 17 tahun kematian Munir berlalu dan tak kunjung terungkap siapa otak alias dalang dari kasus pembunuhan tersebut.

Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) dalam diskusi daring pagi ini menyatakan, penyelesaian kasus tersebut cenderung stagnan. Karena baru terungkap pelaku lapangan yang membunuh Munir, yakni pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto.

Perwakilan KASUM yang juga anggota KontraS, Arif Nur Fikri, menyampaikan kasus pembunuhan Munir turut menyeret sejumlah aktor negara. Hal itu merujuk pada dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir serta fakta-fakta dalam persidangan.

“Tapi dalam beberapa proses persidangan, fakta persidangan, itu melibatkan sejumlah aktor negara, fasilitas-fasilitas negara juga digunakan untuk pembunuhan kasus Munir,” kata Arif, Selasa (7/9/2021) pagi.

Bagi KASUM, konteks kasus pembunuhan terhadap Munir bukan hanya tanggung jawab Pollycarpus yang telah menjalani masa hukuman, seorang. Sebab, kasus kematian Munir ada campur tangan negara.

Arif menegaskan, perlu ada ketegasan dari negara untuk mengungkap kasus pemunuhan Munir. Penting dalam kasus ini, otak pembunuhan harus diusut sampai ke aktor intelektual.

Dalam bahasa Arif, “Ini menyerang soal perlindungan terhadap pembela HAM sehingga penting bahwa ketika ada campur tangan atau ada tanggung jawab negara, itu ada perlindungan atau jaminan terhadap pembela HAM.”

Pascakematian Munir, lanjut Arif, intimidasi dan kekeradan terhadap para pembela HAM atau human right defender jumlahnya banyak. Artinya, penting adanya tanggung jawab dari negara untuk memberikan jaminan perlindungan — atau setidaknya membikin aturan terkait dengan pembela HAM.

Dalam pandangan Arif, semacam ada proses keberulangan dan proses ketidakpastian terkait perlindungan terhadap pembela HAM. Dia berharap, Komnas HAM turut — bahkan bisa — mendorong kasus munir sebagai sebuah bentuk pelanggaran HAM berat.

“Itu penting, bahwa Munir adalah pembela HAM, dia melakukan kerja-kerha soal isu HAM tapi di situ tidak ada jaminan dan perlindungan,” tegas dia.

Aktor Intelektual Berkeliaran

Perwakilan KASUM lainnya cum peneliti Imparsial, Husein Ahmad dengan merujuk pada dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir menyatakan, jika aktor intelektual pembunuhan masih berada dalam lingkaran kekuasaan. Bahkan, hingga kini mereka masih bisa melenggang bebas.

Menurut Husein, masih berkeliarannya dalang pembunuhan Munir begitu menciderai perasaan keluarga dan kerabat dari Munir. Tak hanya itu, hal tersebut juga bisa membahayakan aktifitas pembela HAM di Tanah Air.

“Sebab kalau itu bisa terjadi pada Munir, maka itu bisa terjadi terhadap siapa pun yang melakukan kerja-kerja pembelaan HAM,” beber Husein.

Husein menilai, sikap negara yang terus melakukan pembiaran atau impunitas terhadap otak pembunuh Munir tidak bisa dibiarkan. Bagi dia, salah satu cara kongkret bisa ditempuh melalui Komnas HAM.

Meninggal 2004

Untuk diketahui, Munir Said Thalib meninggal dua jam saat melakukan penerbangan ke Amsterdam pada 2004 silam. Dirinya meninggal dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol Amsterdam pagi hari.

Setelah dilakukan penyelidikan, Kepolisian Indonesia bekerja sama dengan Kepolisian Belanda menemukan penyebab meninggal Munir. Dari hasil autopsi, Munir tewas karena racun arsenik.

Di akhir 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu mengesahkan Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengungkap kasus Munir. Anggotanya melibatkan kalangan masyarakat sipil dan berfungsi membantu Polri dalam menyelidiki kasus terbunuhnya Munir.

Dalam perjalanannya, TPF sempat kesulitan menjalankan tugasnya karena menganggap pihak kepolisan yang lamban dalam penyelidikan. Hingga akhirnya, kepolisian menetapkan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto menjadi tersangka pembunuhan pada 18 Maret 2005 serta menyeret nama mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR.

Pengadilan kemudian memutuskan Pollycarpus bersalah dan dihukum selama 14 tahun penjara. Dirinya bebas bersyarat pada 28 November 2014 dan bebas murni pada 29 Agustus 2018 lalu.

id_IDBahasa Indonesia