Munir dibunuh 17 tahun lalu, ‘aktor intelektual’ belum terungkap dan ‘kekhawatiran’ kasusnya kedaluwarsa

Upaya pengungkapan siapa aktor pembunuhan pegiat HAM Munir, yang terjadi 17 tahun silam, dikhawatirkan akan terhenti karena setahun lagi kasusnya akan kedaluwarsa.

BBC-Sesuai KUHP, tuntutan perkara dengan ancaman hukuman pidana mati atau penjara semur hidup akan kedaluwarsa setelah 18 tahun.

Ini artinya upaya mengungkap siapa aktor utama kasus pembunuhan Munir akan berakhir tahun 2022, karena perkaranya masuk kategori pembunuhan berencana biasa.

Inilah yang dikhawatirkan para pegiat HAM dan kalangan LSM, sehingga mereka terus mendorong agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.

“Yang kami khawatirkan adalah apabila ada alasan soal kedaluwarsa itu, yang akan diungkit-ungkit oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan penuntasan kasus pidananya,” kata Sekretaris Jenderal Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Bivitri Susanti, Senin (06/09).

Hal itu diutarakannya menjawab pertanyaan BBC News Indonesia dalam jumpa pers dan diskusi 17 tahun pembunuhan kasus Munir yang digelar secara daring oleh Public Virtue dan Themis.

Komnas HAM menerima permohonan tersebut tahun lalu, namun mereka belum memutuskan sikapnya.

Alasannya, sampai sejauh ini masih ada perbedaan pendapat di antara komisionernya apakah kasus pembunuhan Munir bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat atau tidak, kata salah-seorang anggota Komnas HAM.

Tuntutan agar kasus pembunuhan Munir diadili melalui peradilan HAM berat mulai gencar disuarakan setelah proses penyelesaian pidananya dianggap para pegiat HAM tidak menyentuh aktor intelektualnya.

Munir meninggal di atas pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan ke Belanda pada 7 September 2004, dan hasil otopsi membuktikan ada racun arsenik dalam tubuhnya.

Tiga orang telah diadili, termasuk seorang eks pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto serta mantan pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR.

Namun proses persidangan ini tidak menyentuh terduga aktor utamanya, seperti diungkap laporan tim pencari fakta kasus ini, dan disuarakan oleh para pegiat HAM.

Dalam kasus pembunuhan Munir, Muchdi ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, tetapi dia dinyatakan bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan, akhir 2008.

Sementara, Pollycarpus – meninggal 17 Oktober 2020 – yang divonis bersalah dan dihukum penjara 14 tahun, kemudian dibebaskan secara bersyarat dan bebas tiga tahun lalu.

Para pegiat HAM memiliki keyakinan bahwa pemerintahan Joko Widodo tidak serius mengungkap aktor intelektual kasus pembunuhan Munir.

Namun dalam berbagai kesempatan, petinggi kepolisian menyatakan mereka akan mengungkap dalang kematian Munir apabila sudah mendapatkan bukti dan fakta hukum baru.

“Kalau tidak ada fakta baru mau diapain lagi, mandek gitu saja, ditutup tidak, dilanjutkan juga tidak,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, dua tahun lalu.

Apakah kasus pembunuhan Munir masuk kategori pelanggaran HAM berat?

Kasum dan sejumlah organisasi pembela HAM lainnya telah melayangkan pendapat hukum setahun lalu ke Komnas HAM agar mereka menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.

Upaya ini dilakukan karena Komnas HAM memiliki otoritas untuk menilai apakah sebuah kasus masuk kategori pelanggaran HAM atau berat.

Apabila Komnas HAM menetapkannya sebagai pelanggaran HAM berat, proses penyelidikan kasus pembunuhan Munir, karena dalil kedaluwarsa tidak berlaku dalam kasus pelanggaran HAM berat.

Dalam Pasal 78 Ayat (1) angka 4 KUHP disebutkan bahwa hak penuntutan perkara dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup dianggap gugur karena kedaluwarsa setelah 18 tahun.

“Tapi ini bukan soal kedaluwarsa saja ya, karena menurut para ahli hukum HAM maupun pidana, kasus Munir memang masuk dalam pelanggaran HAM berat,” kata Bivitri.

Sejak awal Imparsial, YLBHI, LBH Jakarta, Kontras, Kasum, serta beberapa organisasi LSM lainnya menyatakan bahwa kasus pembunuhan Munir memenuhi syarat sebagai pelanggaran HAM berat.

Kriteria ‘sistematis’ dan ‘meluas’

Aktivis Imparsial, Al Araf menganggap pembunuhan Munir sudah memenuhi kriteria “sistematis” dan “meluas” seperti diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Dari unsur sistematis, menurutnya, terlihat kesimpulan tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus Munir bahwa “ada permufakatan jahat” di baliknya.

“Baik itu pelaku lapangan, perantara sampai pemberi perintah, itu menunjukan realitas kerja sistematis dalam pembunuhan munir,” katanya.

Adapun unsur meluas, lanjutnya, tidak bisa dilihat dari angka-angka atau jumlah korban. “Tetapi dapat dilihat dari dampak pembunuhan Munir,” ujar Al Araf.

Dia meyakini dampaknya itu meluas pada upaya penuntasan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang selama ini disuarakan mendiang Munir.

“Sehingga pembunuhan terhadap Munir, menjadi hambatan dalam upaya penyelesaian kasus-kasus tersebut,” tambahnya.

Alasan lainnya, menurutnya, pembunuhan Munir merupakan penanda bagi para pegiat HAM sebagai bentuk “teror” kepada mereka.

Karena itulah, Al Araf meminta Komnas HAM harus menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat dan memulai penyelidikan.

Upaya mendorong Komnas HAM agar menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat sudah dilakukan Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum) sejak setahun silam melalui upaya pendapat hukum (legal opinion).

Mengapa para komisioner Komnas HAM ‘berbeda pendapat’?

Komnas HAM, melalui salah-seorang komisionernya, Sandrayati Moniaga, mengaku pihaknya sudah membentuk tim guna merespons legal opinion Kasum dan membawa hasilnya pada sidang paripurna.

Kendati demikian, Sandrayati mengaku masih ada “pendapat yang beragam” di antara anggota Komnas HAM mengenai apakah kasus Munir merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak.

“Kami belum satu suara,” kata Sandrayati Moniaga dalam acara audiensi publik kasus Munir yang difasilitasi Kasum, secara daring, Senin (06/09).

“Ada yang melihat ini sulit dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat dengan berbagai pertimbangan, ada pula yang melihat dapat dikategorikan dugaan pelanggaran berat,” ungkapnya.

Merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, menurut Sandrayati, sebagian komisioner menganggap kasus pembunuhan Munir belum memenuhi syarat “sistematis”.

“Karena, korbannya satu orang, yaitu Munir. Tapi ada yang berpendapat korbannya adalah pembela HAM, karena yang mendapat serangan bukan hanya Munir, tapi ada lembaga dan pembela HAM lainnya,” ungkapnya.

Sehingga, “di antara komisioner masih melihat perlunya ada satu diskusi lebih mendalam.”

Dia menjelaskan pembahasan ini relatif memakan waktu lama, selain lantaran pandemi, juga materinya masuk kategori confidential.

“Ini membuat kami harus sangat hati-hati, harus teliti dalam membahas apakah memang Komnas HAM setuju untuk menetapkan pembentukan tim penyelidikan berdasarkan UU nomor 26 atau tidak,” kata Sandrayati.

id_IDBahasa Indonesia