.
Kamis, 22 Juli 2021 18:36
TRIBUN-PAPUA.COM – Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua masih menimbulkan kritik dan penolakan dari orang Papua maupun para tokoh.
Termasuk, Direktur Imparsial Gufron Mabruri yang menilai, hal itu merupakan bentuk pengabaian aspirasi rakyat Papua.
Selain itu ia berpandangan, proses pembahasan RUU terkesan tertutup dan pengesahannya tergesa-gesa
“Karena itu, langkah pemerintah yang tetap memaksakan pengesahan revisi UU Otsus Papua di tengah besarnya kritik dan penolakan dari Papua dapat dikatakan sebagai bentuk pengabaian terhadap aspirasi rakyat Papua,” kata Gufron, dalam keterangannya, Rabu (21/7/2021).
Gufron berpandangan, pemerintah semestinya membangun dialog untuk mengatasi persoalan yang ada, termasuk menemukan solusi yang berbasis kebutuhan dan aspirasi rakyat Papua.
Menurutnya, jika pemerintah ingin menyelesaikan konflik di Papua, termasuk dalam hal RUU Otsus Papua, maka harus menyentuh akar permasalahan konflik.
Imparsial melihat, berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Papua Road Map (2008), terdapat empat akar masalah konflik di Papua.
Pertama, masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua sejak 1970. Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Keempat, kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua.
Oleh karena itu, Ghufron mengatakan, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus berangkat dari aspirasi rakyat Papua sebagai subjek penting.
Alih-alih menyentuh akar persoalan dan mendengarkan aspirasi rakyat Papua, kata Ghufron, RUU Otsus Papua justru lebih berperspektif kepentingan Jakarta (pemerintah pusat).
“Apalagi, jika melihat proses pembahasannya selama ini yang terkesan tertutup dan pengesahannya juga dilakukan secara tergesa-gesa,” ucap dia.
Gufron menambahkan, pemerintah saat ini seharusnya belajar dari pemerintahan sebelumnya atas berbagai kegagalan dalam kebijakan terkait Papua.
Hal tersebut menjadi penting dilakukan jika pemerintah tak ingin mengulangi kesalahan yang sama dalam pelaksanaan UU Otsus Papua
Namun, menurut dia, dalam konteks RUU Otsus Papua, kegagalan dalam kebijakan di masa lalu terkesan diabaikan atau tak dijadikan pembelajaran penting.
“Misalnya, ketentuan baru tentang pembentukan Badan Khusus Percepatan Pembangunan (BKPP). Padahal, di masa pemerintahan sebelumnya pernah dibentuk lembaga yang serupa, namun hasilnya tidak menyelesaikan akar permasalahan Papua,” imbuh dia.
Ghufron juga mengkritik Pasal 76 tentang pemekaran wilayah.
Menurut Gufron, kewenangan penuh pemerintah pusat dan DPR terkait pemekaran wilayah adalah hal yang keliru.
“Segala ketentuan mengenai pembentukan atau pemekaran daerah Papua harus dilakukan melalui pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) serta Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang pada esensinya merupakan suara rakyat Papua,” sambung dia.