Peneliti LIPI: Pembunuhan Munir Tunjukkan Mentalitas Para Penguasa Belum Banyak Berubah


Minggu, 5 September 2021 17:38 WIB


Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peneliti Politik di Pusat Penelitian Politik LIPI Mochtar Pabottingi mengatakan peristiwa pembunuhan Munir menunjukkan mentalitas para penguasa pribumi belum layak berubah.

Mochtar dalam orasi budayanya yang bertajuk Memperingati 17 Tahun Pembantaian Munir: Suatu Upaya Orasi Budaya menjelaskan setidaknya ada empat pokok pembicaraan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diyakini Munir semasa hidupnya.

Satu di antaranya adalah terkait peristiwa pembunuhan Munir dalam penerbangan ke Belanda sekira 17 tahun silam.

Mochtar mengatakan dibunuh Munir dalam penerbangan ke negeri Belanda menjadi sesuatu yang secara simbolik dan sangat ironik mendedahkan betapa alotnya sistem nilai durjana yang berlaku dalam tubuh negara kita sedari enam tahun usia reformasi hingga pada hari-hari ini.

Menurutnya pembunuhan terhadap Munir mau tak mau terkait secara simbolik dengan tragedi demi tragedi yang menimpa rakyat Lebak dalam novel terkait penjajahan yang ditulis penulis Belanda Eduard Douwes Dekker berjudul Max Havelaar.

Novel tersebut, kata Mochtar, di antaranya mengisahkan tentang seorang petani Lebak yang diam-diam hendak bertemu dengan Max Havelaar selaku asisten residen.

Petani tersebut, kata dia, ditemukan sudah tewas mengapung di sungai dengan luka-luka menganga yang mengenaskan.

Menurutnya adegan dalam novel tersebut terkait secara simbolik dengan Munir yang juga tewas dalam perjalannya ke negeri Belanda. 

Menurutnya dalam hal ini sangat mungkin di antara sekumpulan penguasa tinggi di Tanah Air, tak menghendaki aib-aib mereka terbongkar di negeri mantan penjajah bangsa.

Hal tersebut disampaikannya dalam Orasi Kebudayaan & Diskusi Publik: Kasus Munir adalah Pelanggaran HAM Berat yang disirkan di kanal Yotube KontraS pada Minggu (5/9/2021).

“Tragedi pembunuhan Munir menunjukkan dengan gamblang bahwa mentalitas sistem nilai para penguasa pribumi di negri kita belum banyak berubah. Hidup dalam kebusukan publik, dan upaya tanpa henti untuk menutupi kebusukan publik itu. Praktis menindas dan mengorbankan rakyat sudah berlaku sekitar 2,5 abad mendahului kisah Max Havelaar yang terjadi sekitar paruh kedua abad ke-19,” kata Mochtar.

Lebih jauh, kata Mochtar, tewasnya Munir juga terkait secara simbolik dengan peristiwa ketika mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jaan Pieterszoon Coen ditanya petinggi VOC perihal praktik-praktik kekejamannya atas rakyat tanah Jawa pada masa awal kekuasaanya di dekade kedua abad ke-17.

Dalam peristiwa tersebut, kata Mochtar, Coen menjawab tegas, “Tidakkah orang Eropa bisa memperlakukan ternaknya sesukanya?”

“Begitu juga penguasa di sini memperlakukan rakyatnya. Sebab di mana saja rakyat beserta segenap harta bendanya adalah milik penguasa sebagaimana halnya hewan liar di negeri Belanda. Hukum di tanah ini adalah kehendak raja, dan yang paling kuat







id_IDBahasa Indonesia