Minggu, 5 September 2021 17:05 WIB
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam rangkaian acara peringatan 17 tahun kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, Peneliti Politik LIPI Mochtar Pabottingi menyandingkan sosok Munir dengan sejumlah tokoh bangsa yang dikenal sederhana dan berintegritas tinggi.
Mochtar sebelumnya menjelaskan setidaknya ada empat pokok pembicaraan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diyakini Munir semasa hidupnya.
Satu di antaranya adalah keadaban publik Munir yang menurutnya memiliki afinitas nilai pada tokoh-tokoh pendiri bangsa maupun tokoh-tokoh teladan pada generasi di bawahnya.
Mochtar mengungkapkan Munir dan para tokoh tersebut sama-sama mengindahkan prinsip keadilan, kejujuran, dan kesetaraan walaupun masa hidupnya terpisah puluhan tahun.
Selain itu, kata dia, meskipun tampaknya tidak banyak menyimak buku-buku otoritatif tentang mereka, Munir bersambung dengan mereka dalam hal sistem nilai islami dan dunia pasar.
Hal tersebut disampaikannya dalam Orasi Kebudayaan dan Diskusi Publik: Kasus Munir adalah Pelanggaran HAM Berat yang disirkan di kanal Yotube KontraS, Minggu (5/9/2021).
“Khususnya dalam hal integritas moral pribadi maupun integritas keadaban publik,” kata Mochtar dalam orasi budayanya yang bertajuk Memperingati 17 Tahun Pembantaian Munir: Suatu Upaya Orasi Budaya.
Sebagian besar pendiri bangsa, lanjutnya, berlatar belakang kultur Minangkabau yang juga sangat bersifat egaliter dalam tradisi pasar.
Orang Minang, kata dia, rata-rata disebut anak dagang atau anak rantau yang langkah pertamanya adalah memasuki dunia pasar di mana saja kala dewasa.
Menurutnya, Munir dan para tokoh pendiri bangsa berjumpa dan sama-sama mengarungi hidup di dalam sistem nilai atau pada jalur iman yang sama.
“Praktis tak ada jarak sistem nilai antara para tokoh teladan bangsa kita dengan seorang Munir yang berpantang diancam memasuki dunia kemewahan yang dimana-mana, apalagi di negeri kita memang banyak bersifat suspect,” kata dia.
Munir, kata dia, menolak dibelikan kendaraan yang pantas dan tetap memilih menggunakan motor bututnya.
Selain itu, kata dia, Munir juga menyerahkan sebagian besar dari jumlah dana yang menyertai anugerah The Human Rights Livelihood Award yang pernah diterimanya.
Ia pun kemudian membandingkan dengan Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara yang pantang memberitahu istrinya perihal rencana pemotongan nilai mata uang RI hingga separuhnya.
Akibatnya, kata Mochtar, kebijakan Syafruddin tersebut mengurangi tabungan sangat berharga milik istrinya yang telah dikumpulkan lama dengan susah payah.
Mochtar juga membandingkan Munir dengan Mohammad Natsir yang di puncak karier politiknya menjadi perdana menteri yang dikabarkan pernah tampil resmi dengan jas bertambal.
Ia pun membandingkan Munir dengan Mohammad Hatta sang mantan wakil presiden pertama yang tak sanggup membeli sepatu Bally idamannya serta di masa pensiunnya kesulitan membayar biaya listrik rumahnya.
“Bandingkan juga dengan Hoegeng Iman Santoso yang dengan tegas menolak kiriman perabotan rumah baru yang lengkap dan mewah dari para cukong Medan saat dia baru diangkat sebagai pejabat tinggi Kepolisian di sana,” kata Mochtar.
Tidak hanya itu, Mochtar juga mengajak kita membandingkan dengan kebalikannya yakni dengan mereka para tokoh yang hidup bergelimang harta busuk dari para pejabat pribumi di sepanjang zaman kolonial serta di era Orde Baru dan di Era Reformasi.
Rata-rata mereka, kata dia, dilanda patologi hidup nyaman dengan hasil korupsi dan atau hasil manipulasi atau hasil rampokan.
Dari dana-dana publik, kata dia, mereka memilih hidup berperevilese lewat laku-laku korupsi dan ekstorsi masif penuh laku busuk terhadap rakyat seolah previlese dalam pengertian hakiki bisa diperoleh dari kebusukan, seolah keduanya bisa disatukan.
“Saya percaya bahwa Munir menjadi matang dan kian tegar dengan distingsi atau pembedaan tandas dari kedua jalur kehidupan antagonistik itu,” kata Mochtar.