Kritik Revisi UU TNI, IMPARSIAL kirimkan Hasil Kajian atas RUU Perubahan atas UU No. 34 Tahun 20024 tentang TNI dan Permohonan Audiensi ke DPR RI

Siaran Pers Imparsial
No. 010/Siaran-Pers/IMP/VI/2024

Kritik Revisi UU TNI, IMPARSIAL kirimkan Hasil Kajian atas RUU Perubahan atas UU No. 34 Tahun 20024 tentang TNI dan Permohonan Audiensi ke DPR RI

Senin, 10 Juni 2024, IMPARSIAL (the Indonesian human rights monitor) telah mengirimkan Alternative Policy Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) kepada sembilan Fraksi Partai Politik yang ada di DPR RI. Bersamaan dengan itu juga IMPARSIAL telah mengirimkan Surat Permohonan Audiensi berkenaan dengan revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang pada saat ini sedang dibahas di DPR RI.

Sebelumnya pada tanggal 28 Mei 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengesahkan rancangan revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi RUU usulan DPR RI. Dalam rancangan tersebut memuat beberapa problem diantaranya: Pertama, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Hal tersebut dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 47 ayat (2) melalui penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Penambahan frasa tersebut menjadi berbahaya karena membuka tafsir yang luas untuk memberi ruang kepada prajurit TNI aktif untuk dapat ditempatkan tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang disebutkan di dalam UU TNI. Dengan kata lain, Presiden ke depan bisa saja membuat kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Desa, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga negara lainnya.

Usulan perubahan Pasal 47 ayat 2 UU TNI jelas akan melegalisasi perluasan praktik Dwifungsi ABRI yang sejatinya secara perlahan mulai dijalankan terutama pada era pemerintahan Presiden Jokowi. Berdasarkan data Babinkum TNI sendiri pada tahun 2023 tercatat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil. Dengan adanya usulan perubahan tersebut, jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif berpotensi lebih banyak lagi.

Kedua, penambahan usia pensiun prajurit TNI. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 53 ayat (2) yang menambah masa usia pensiun prajurit TNI menjadi 60 tahun. Usulan perpanjangan masa dinas tersebut justru akan memicu inefisiensi di tubuh TNI, dapat menambah beban anggaran di sektor pertahanan dan membuat macetnya jenjang karir dan kepangkatan yang berpotensi menyebabkan surplus perwira TNI tanpa jabatan. Dalam hal surplus perwira tanpa jabatan, hal ini sesungguhnya telah menjadi masalah lama di dalam TNI, dan langkah yang dilakukan sebelumnya yaitu dengan mengkaryakan mereka di luar instansi militer seperti pada jabatan sipil justru hanya memunculkan masalah baru.

Melalui dokumen yang telah dikirimkan hari ini kepada fraksi-fraksi partai politik di DPR RI, Imparsial mendesak DPR RI tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. Hal ini didasarkan atas sejumlah alasan:

Pertama, DPR RI periode 2019-2024 tidak lama lagi akan berakhir. Masa kerja yang singkat tersebut penting untuk dipertimbangkan karena pembahasannya berpotensi mengabaikan salah satu asas pembentukan perundang-undangan, yaitu prinsip partisipasi publik. Pembahasan RUU TNI tidak hanya terkait kepentingan TNI, tapi juga masyarakat secara umum.

Kedua, usulan perubahan UU TNI sangat problematik karena tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip tata nilai negara demokrasi dan memundurkan reformasi TNI, khususnya kekhawatiran terkait kembalinya dwifungsi ABRI yang telah dihapus sejak awal Reformasi.

Ketiga, DPR RI sebaiknya fokus mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU tentang Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI.

Jakarta, 10 Juni 2024

Gufron Mabruri
Direktur

id_IDBahasa Indonesia