Imparsial

Kekerasan Anggota TNI terhadap Warga Sipil Tidak Dibenarkan dengan Alasan Apapun, KSAD Jangan Lakukan Pembenaran

Siaran Pers Bersama Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis

Menyikapi Kekerasan Anggota TNI terhadap warga sipil di Boyolali dan Manado serta Pernyataan KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak

Kekerasan Anggota TNI terhadap Warga Sipil Tidak Dibenarkan dengan Alasan Apapun, KSAD Jangan Lakukan Pembenaran

Berdasarkan informasi yang berkembang di media, pada tanggal 5 Januari 2024 terjadi kericuhan antara anggota TNI dan warga pengantar jenazah yang pemicunya ditengarai bunyi sepeda motor berknalpot brong di depan Markas Kodam XIII/Merdeka di Manado, Sulawesi Utara. Dalam video yang beredar, terlihat sejumlah anggota TNI memukul salah seorang pengendara motor. Beberapa hari sebelumnya, dengan dalih yang sama, juga terjadi tindakan penganiayaan sejumlah anggota TNI terhadap massa relawan Ganjar-Mahfud di Kabupaten Boyolali.

Dalam menyikapi tindakan penganiayaan anggota TNI terhadap relawan Ganjar-Mahfud di Boyolali, dalam sebuah acara di televisi KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menyatakan meski tindakan anggota TNI tersebut tidak bisa dibilang benar tapi “dia punya hak untuk membela diri, aksi-reaksi”.

Koalisi Masyarakat Sipil memandang, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI tidak dibenarkan dengan dalih apapun. Kekerasan tersebut menunjukan kecenderungan masih kuatnya arogansi dan kesewenang-wenangan hukum (above the law) anggota TNI terhadap warga sipil. Anggota TNI yang diduga melakukan kekerasan tidak boleh dibiarkan tanpa proses hukum di peradilan umum dan dihukum sesuai dengan perbuatannya. Pembiaran dan pembenaran terhadap kekerasan tersebut menjadi berbahaya, karena akan menjadi preseden buruk yang memicu kekerasan lain di kemudian hari.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, pernyataan KSAD dalam wawancara di televisi merupakan hal yang keliru dan sama saja dengan membenarkan tindakan penganiayaan anggota TNI terhadap warga sipil. Argumen bahwa tindakan anggota TNI tersebut sebagai aksi bela diri sesungguhnya tidak logis dan tidak beralasan, mengingat kekerasan tersebut dipicu bunyi knalpot bising, bukan karena adanya serangan yang mengancam nyawa dari anggota TNI. Karena itu, kekerasan anggota TNI dengan alasan bunyi sepeda motor berknalpot brong tidak dapat dibenarkan, apalagi TNI merupakan alat pertahanan negara.

Jika terjadi dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh warga sipil, seharusnya TNI melaporkan kepada instansi terkait untuk menanganinya, bukan dilakukan sendiri apalagi dengan cara-cara kekerasan. Dalam konteks penanganan ketertiban umum, termasuk peraturan lalu lintas, hal ini menjadi kewenangan polisi. Sementara jika dugaan pelanggaran oleh warga sipil tersebut berkaitan dengan kampanye, maka yang memiliki kewenangan adalah penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Bawaslu. TNI tidak mengurusi ketertiban umum, tapi harus berorientasi pada pertahanan negara.

Pernyataan KSAD yang bertendensi membela anggota TNI pelaku kekerasan adalah hal yang keliru dan harus dikoreksi. Setiap anggota TNI yang diduga melakukan kekerasan tentu harus ditindak dan diproses hukum di peradilan umum dan dihukum sesuai dengan perbuatannya. Pembelaan KSAD terhadap kekerasan anggotanya dikhawatirkan menjadi preseden buruk yang memicu kekerasan lain di kemudian hari.

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak, Komisi I DPR RI segera memanggil dan mengevaluasi KSAD yang permisif terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI. Sikap permisif KSAD menjadi berbahaya karena akan membuat kondisi semakin keruh dan mengakibatkan terjadinya kembali peristiwa kekerasan di Manado, Sulawesi Utara.

Jakarta, 6 Januari 2024

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis

(Imparsial, PBHI Nasional, WALHI, Perludem, ELSAM, HRWG, Forum for Defacto, SETARA Institute, Migrant Care, IKOHI, Transparency International Indonesia (TII), Indonesian Corruption Watch (ICW), KontraS, Indonesian Parlementary Center (IPC), Jaringan Gusdurian, Jakatarub, DIAN/Interfidei, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Inklusif, Fahmina Institute, Sawit Watch, Centra Initiative, Medialink, Perkumpulan HUMA, Koalisi NGO HAM Aceh, Flower Aceh, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lingkar Madani (LIMA), Desantara, FORMASI Disabilitas (Forum Pemantau Hak-hak Penyandang Disabilitas), SKPKC Jayapura, AMAN Indonesia, Yayasan Budhi Bhakti Pertiwi, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN), Public Virtue, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Tifa, Serikat Inong Aceh, Yayasan Inong Carong, Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Aceh, Eco Bhinneka Muhammadiyah, FSBPI, Yayasan Cahaya Guru (YCG), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK))

Narahubung:

  1. Gufron Mabruri (Direktur IMPARSIAL)
  2. Dimas Bagus Arya (KontraS)
  3. Muhammad Isnur (Ketua YLBHI)
  4. Julius Ibrani (Ketua PBHI)
  5. Daniel Awigra (Direktur HRWG)
  6. Usman Hamid (Direktur Amnesty International)
  7. Al Araf (Ketua Centra Initiative)
id_IDBahasa Indonesia