Menyoal Stagnasi dan Kemunduran Reformasi TNI: Pekerjaan Rumah Calon Presiden 2024

Press Release

No. 001/SiaranPers/IMP/I/2024

Catatan Imparsial Menjelang Debat Capres Terkit Isu Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, Globalisasi, Geopolitik, Dan Politik Luar Negeri.

“Menyoal Stagnasi dan Kemunduran Reformasi TNI: Pekerjaan Rumah Calon Presiden 2024”

Malam ini, 7 Januari 2024, akan dilaksanakan debat Calon Presiden (Capres) dengan tema isu Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, Globalisasi, Geopolitik, Dan Politik Luar Negeri. Terkait hal itu, Imparsial memiliki sejumlah catatan terkait dengan stagnasi atau bahkan kemunduran reformasi TNI yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini yang harus menjadi perhatian sekaligus pekerjaan rumah bagi calon Presiden 2024.

Imparsial menilai bahwa Pemilu 2024 harus menjadi momentum dan kesempatan untuk mengevaluasi dan memperbaiki arah jalannya proses reformasi TNI yang belakangan ini mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran dari mandat gerakan Reformasi 1998. Dalam konteks ini, sangat penting bagi calon Presiden 2024 untuk memperhatikan berbagai pandangan, kritik, dan masukan dari masyarakat sipil serta kelompok lainnya agar feformasi yang dicita-citakan dapat terwujud dan mencegah kembalinya rezim otoritarianisme.

Sejumlah catatan tersebut adalah; Pertama, menguatnya peran internal TNI yang dapat mengembalikan “Dwi-Fungsi TNI”. Menguatnya peran internal militer pada ranah sipil dan keamanan dalam negeri dapat dilihat dalam sejumlah praktik perbantuan TNI kepada institusi sipil yang yang melanggar atau bertentangan dengan ketentuan dalam UU TNI. Diantaranya adalah seperti pelibatan TNI dalam mengatasi kelompok kriminal bersenjata di Papua yang dilakukan tanpa Keputusan politik negara, pelibatan TNI dalam program food estate (lumbung pangan), pengamanan stasiun, pengamanan kegiatan aksi unjuk rasa, mengatasi terorisme, penanggulangan pandemi Covid-19, pengamanan pertandingan sepak bola dan lain sebagainya.

Salah satu pola yang digunakan untuk melegitimasi peran internal tersebut adalah melalui pembentukan Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dengan beberapa kementerian dan instansi. Berdasarkan catatan Imparsial, setidaknya terdapat 41 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI (operasi militer selain perang). Dapat dikatakan, semua MoU tersebut bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI yang menyebutkan operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika terdapat keputusan politik negara, dalam hal ini keputusan Presiden. Selain itu peran internal militer pada ranah sipil juga kentara dilihat dari setidaknya sejumlah 1.367 personel TNI menduduki jabatan sipil di 18 instansi kementerian dan non-kementerian. Di antara jumlah tersebut, sebanyak 111 personel TNI aktif menjabat di 9 instansi yang tidak termasuk dalam 10 instansi yang diperkenankan oleh pasal 47 ayat (2) UU TNI. Dengan kata lain penempatan 111 personel TNI di 10 instansi tersebut bermasalah secara hukum.

Kedua, wacana revisi UU TNI yang tidak hanya dapat mengembalikan “Dwi Fungsi TNI” tetapi juga merusak tata kelola sektor pertahanan. Dalam naskah revisi tersebut sejumlah catatan yang berpotensi mengembalikan “Dwifungsi” TNI adalah; (1) Penambahan fungsi TNI sebagai alat keamanan negara; (2) Penghapusan kewenangan Presiden dalam pengerahan dan penggunaan TNI; (3) Adanya sumber anggaran untuk TNI di luar anggaran pertahanan yang bersumber dari APBN; (4) Peran internal militer semakin diperkuat melalui perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP); (5) Penambahan jabatan TNI di struktur jabatan sipil; (6) Penghapusan kewenangan peradilan umum untuk mengadili prajurit TNI yang melanggar tindak pidana umum; (7) Perpanjangan masa pensiun prajurit TNI.

Ketiga, operasi militer ilegal di Papua yang terus dilaksanakan. Kendati status Papua sebagai daerah operasi militer dicabut pada awal reformasi, operasi militer dan pengiriman pasukan non-organik ke papua tetap dijalankan. Parahnya keseluruhan operasi dan pengiriman pasukan tersebut tanpa dasar hukum yang jelas. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI mengamanatkan baik operasi militer untuk perang (OMP) ataupun operasi militer selain perang (OMSP) harus berdasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara. Sedangkan yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (penjelasan pasal 5 UU TNI).

Berdasarkan pemantauan Imparsial, setidaknya hingga Juni 2023 sebanyak 2940 prajurit TNI sudah dikirim ke tanah Papua. Hal ini tentunya menyebabkan insinuasi keamanan dan menyokong apa yang disebut sebagai sekuritisasi permasalahan Papua. Akibat dari pada itu, konflik terus meningkat dan korban sipil terus berjatuhan. Berdasarkan catatan kami sepanjang Januari – Juni 2023 terdapat 37 Peristiwa kekerasan bersenjata yang menyebabkan korban 172 jiwa yang diantaranya 48 jiwa dari TNI-Polri, 4 dari KKB, dan terbanyak dari warga sipil yang mencapai 120 jiwa. Adapun sebagian besar kontak senjata terjadi di pemukiman penduduk dan bukan hutan. Terus bertambahnya angka kekerasan semakin memperkeruh suasana di mana upaya penyelesaian konflik secara damai juga tidak berkemajuan dilakukan oleh pemerintah.

Keempat, belum dijalankannya reformasi sistem peradilan militer. Reformasi sistem peradilan militer melalui melalui perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan salah satu mandat reformasi 1998 yang belum dijalankan. Padahal, dapat dikatakan bahwa agenda ini menjadi salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama peradilan militer belum direformasi, selama itu pula proses reformasi TNI belum selesai. Selama ini, dengan UU ini, TNI memiliki rezim hukum sendiri dimana anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili oleh jaksa dan hakim dari kalangan militer sendiri. Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, seringkali sanksi yang dijatuhkan tidak maksimal. Contoh penting karut marutnya penegakan hukum akibat belum direvisinya UU Peradilan militer adalah “drama” tarik menarik penanganan kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas yang merupakan seorang TNI aktif. Pada satu sisi Kabasarnas melakukan korupsi di ranah sipil tapi pada sisi lain dia merupakan TNI aktif sehingga menimbulka kerancuan terkait aparat penegak hukum mana yang boleh menyidik Kabasarnas.

Reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten (Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945).

Kelima, restrukturisasi Komando Teritorial (Koter). Restrukturisasi Koter adalah salah satu agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal reformasi 1998. Agenda ini disuarakan dalam satu paket dengan agenda penghapusan peran sosial-politik ABRI—sekarang TNI (Dwifungsi). Dalam perjalanannya, meski peran politik ABRI/TNI telah dihapus, namun struktur Koter hingga kini tak kunjung juga direstrukturisasi dan masih dipertahankan. Bahkan, eksistensi Koter semakin mekar sejalan dengan pemekaran atau pembentukan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru di Indonesia. Belakangan terhadap hal ini Menhan Prabowo Subianto malah berencana akan membangun Kodam untuk seluruh provinsi. Terbaru pasca pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua pemerintah malah berencana akan membangun 2 kodam baru di Papua. Hal ini semakin memperumit spiral kekerasan di tanah Papua.

Lebih dari itu, restrukturisasi ini sejatinya juga telah diamantkan oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Restrukturisasi Koter juga bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) dapat mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini adalah perlu segera dipikirkan dan dibentuk model Postur TNI yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara terpadu dan lebih terintegrasi.

Keenam, transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan Alutsista TNI rendah. Upaya modernisasi alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan Indonesia merupakan langkah penting dan harus didukung. Sebagai komponen utama pertahanan negara, TNI perlu dilengkapi oleh alutsista militer yang lebih baik, kuat, dan modern untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya dalam menjaga dan melindungi wilayah pertahanan Indonesia. Namun demikian, penting dicatat bahwa langkah tersebut harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri. Hal ini penting untuk memastikan pengadaan alutsista TNI mendukung upaya penguatan pertahanan negara Indonesia dan tidak memunculkan masalah baru di masa yang akan datang.

Dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa alutsista yang dibeli oleh pemerintah Indonesia berada di bawah standar dan kadang kala tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu, pengadaan melalui pembelian alutsista bekas seperti yang dilakukan Menhan Prabowo Subianto ketika membeli pesawat bekas Mirrage 2000 dari Qatar juga menjadi catatan. Padahal, jelas terdapat kecenderungan bahwa pengadaan alutsista bekas selalu memiliki potensi bermasalah yang lebih besar. Tidak hanya membebani anggaran untuk perawatan, tetapi juga beresiko terjadi kecelakaan yang mengancam keselamatan dan keamanan prajurit. Selain itu, pengadaan Alutsista kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga (broker). Dalam konteks pembelian Dassault Mirage 2000 ex Qatar pemerintah menggunakan broker Excallibur International, sebuah perusahaan asat Ceko. Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadang kala berimplikasi terhadap dugaan mark-up dalam pengadaan alutsista. Oleh karena itu, sudah seharusnya pengadaan alutsista di masa depan hendaknya tidak melibatkan pihak ketiga, tetapi langsung dilakukan dalam mekanisme government to government.

Ketujuh, langgengnya Impunitas dan berlanjutnya kekerasan TNI terhadap pembela HAM. Kekerasan TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM. Hingga saat ini, kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM masih terjadi di berbagai daerah. Berbagai kasus kekerasan itu menunjukkan bahwa reformasi TNI sesungguhnya belum tuntas, khususnya dalam upaya untuk memutus budaya militerististik yang diwarisi dari rezim otoritarian Orde Baru. Motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota itu beragam, mulai dari motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM. Praktik Impunitas negara juga dilanggengkan melalui penunjukkan sejumlah prajurit TNI yang pernah bermasalah dengan hukum pada jabatan strategis di lingkungan TNI atau Kementrian pertahanan.

Kedelapan, kesejahteraan prajurit TNI masih rendah dan tidak merata. Sebagai alat pertahanan negara, TNI memiliki tugas pokok untuk menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Hal ini tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk melaksanakan tugas pokoknya itu, TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang terampil dan profesional. Dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI harus ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Terbatasnya rumah dinas anggota TNI adalah satu contoh dari permasalahan kesejahteraan prajurit. Bahkan, dalam beberapa kasus, masalah kesejahteraan anggota TNI telah memaksa mereka mencari sumber pendapatan lain di luar gaji mereka.

Imparsial menilai, pelbagai masalah yang disebutkan di atas salah satutnya disebabkan oleh lemahnya kontrol sipil terhadap militer. Padahal kontrol sipil terhadap militer merupakan syarat yang esensial dalam upaya demokratisasi, terwujudnya profesionalisme militer dan supresmasi sipil. Dalam catatan Imparsial, selama ini kontrol sipil terhadap militer sangat lemah dan bahkan dapat dikatakan cenderung permisif pada kembalinya politik militer. Dalam konteks reformasi sektor keamanan, alih-alih melanjutkan agenda reformasi di tubuh TNI, reformasi TNI justru tersendat dan cenderung mundur ke belakang (involusi). Imparsial menilai, tidak ada capaian positif pada sembilan tahun masa pemerintahan Jokowi terkait reformasi TNI. Presiden Jokowi tidak memiliki kemauan dan keberanian politik di dalam menuntaskan agenda reformasi TNI.

Presiden Joko Widodo yang berasal dari kalangan sipil dan dianggap mampu membendung politik militer pada masa awal pemerintahannya justru mengecewakan publik yang kemudian melakukan hal sebaliknya dengan menarik-narik militer ke ranah sipil. Hal ini misalnya terlihat pada diberikannya “karpet merah” kepada agenda militerisasi sipil dan kembalinya militer dalam urusan keamanan dalam negeri melalui pembentukan Komponan Cadangan Pertahanan Negara (Komcad). Contoh lain juga telihat pada pelibatan TNI yang berlebihan pada sejumlah kewenangan sipil seperti penanganan Pandemi Covid-19 yang berlebihan dan lain sebagainya.

Imparsial juga menilai kinerja parlemen, khususnya periode 2019 – 2024, dalam melakukan pengawasan terhadap sektor pertahanan sangat buruk dan mengecewakan. DPR RI yang memiliki fungsi kontrol dan pengawasan tehadap TNI justru “loyo” dan “tidak bergigi”. Kendati parlemen sebagai lembaga politik memiliki fungsi pengawasan dan kontrol yang dapat dijalankan melalui anggaran dan legislasi, fungsi tersebut tidak dilakukan secara efektif dan maksimal dalam mendorong agenda reformasi TNI. Bahkan, parlemen menjadi aktor yang ikut melahirkan undang-undang bermasalah, seperti UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang digunakan sebagai landasan hukum bagi Mentri Pertahanan untuk membentuk Komponen Cadangan Pertahanan Negara dan juga membiarkan adanya operasi militer ilegal yang dijalankan TNI di Papua.

Di isu keamanan, peran Polri juga kian disorot mengingat pelbagai kasus pelanggaran HAM masih kerap dilakukan anggota Polri. isu HAM di kepolisian masih menjadi catatan kritik yang disampaikan masyarakat sipil, mulai dari persoalan kekerasan dalam penanganan demonstrasi, penyiksaan dalam penegakan hukum, pembatasan kebebasan, kriminalisasi aktivis masih menjadi catatan buruk atas kinerja penegakan hukum kepolisian. Pengarusutamaan HAM dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian di berbagai tingkatan masih harus menjadi perhatian serius pimpinan Polri. Polisi profesional adalah polisi yang menjamin penghormatan dan perlindungan HAM.

Kami memandang, perbaikan kinerja kepolisian dalam konteks penghormatan terhadap HAM dapat dimulai dengan melakukan penguatan prinsip dan standar HAM dalam kerja-kerja pemolisian termasuk pengawasannya. Pada titik ini penting untuk membentuk aturan turunan yakni petunjuk operasional atau pelaksana Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Perbaikan kinerja kepolisian dalam konteks penghormatan terhadap HAM juga harus dilakukan dengan penguatan peran lembaga pengawas seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Peran Kompolnas sebagai lembaga pengawas kepolisian yang hanya sekadar memberikan saran dan pertimbangan dalam penanganan pelanggaran oleh anggota kepolisian tidaklah cukup. Apalagi dalam kasus-kasus yang memiliki potensi pelanggaran terhadap prinsip dan standar HAM, penguatan peran Kompolnas sehingga memiliki kewenangan menangani kasus-kasus anggota kepolisian secara Pro Justitia perlu dilakukan guna memastikan pengawasan yang dilakukan berjalan efektif.

Perbaikan kinerja kepolisian dalam konteks penghormatan terhadap HAM juga harus dilakukan dengan memperkuat pemahaman anggota kepolisian terhadap HAM. Penguatan pemahaman tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikan HAM ke dalam kurikulum pendidikan dan kursus-kursus yang ada dalam lingkungan Polri.

Selain itu, kami menilai upaya penguatan independensi dan netralitas polri, khususnya dari politik, harus menjadi perhatian serius berbagai pihak. Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia tidak lama lagi akan memasuki tahun politik, yaitu pemilu nasional yang sarat dengan kontestasi politik. Jangan sampai ada upaya untuk “mempolitisasi” institusi Polri untuk kepentingan politik pragmatis, karena hal tersebut akan berdampak pada profesionalisme polri dalam menjalankan tugas-tugasnya. Pada konteks ini, dibutuhkan adanya komitmen dari semua pihak terutama elit dan partai politik serta pemimpin sipil lainnya untuk menjaga independensi Polri. Lebih dari itu, upaya ini juga harus dibarengi dengan pengawasan dan memastikan Polri ke depan menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Jakarta, 05 Januari 2024
Gufron Mabruri
Direktur
CP:

  1. Gufron Mabruri
  2. Ardi Manto Adiputra
  3. Hussein Ahmad
  4. Annisa Yudha
id_IDBahasa Indonesia