Hentikan Pembahasan Revisi UU TNI karena Bertentangan dengan Prinsip Demokrasi dan Memundurkan Reformasi TNI

Siaran Pers Imparsial

No. 008/Siaran-Pers/IMP/V/2024

Menyikapi Keputusan Rapat Paripurna ke-18 Masa Persiangan V Tahun Sidang 2023-2024 yang Menyetujui RUU tentang Perubahan atas UU TNI menjadi RUU usul inisitaif DPR RI

Hentikan Pembahasan Revisi UU TNI karena Bertentangan dengan Prinsip Demokrasi dan Memundurkan Reformasi TNI

Pada Selasa, 28 Mei 2024, DPR RI dalam Rapat Paripurna ke-18 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. Dalam draft RUU TNI versi Baleg DPRI RI yang diperoleh masyarakat sipil terdapat usulan perubahan pasal yang bertentangan dengan tata nilai negara demokrasi dan semakin memundurkan capaian reformasi TNI.

Imparsial memandang, penetapan revisi UU TNI menjadi RUU usul inisiatif DPR RI bukan hanya langkah yang tergesa-gesa dan cenderung memaksakan, tapi sekaligus juga menunjukkan DPR RI tidak memiliki komitmen untuk menjaga capaian reformasi TNI. Penting dicatat, usulan perubahan dalam RUU TNI versi Baleg DPR RI jauh dari kepentingan penguatan profesionalisme TNI bahkan memiliki problem yang serius karena jika sampai diakomodir melegalisasi kembali praktik Dwifungsi TNI seperti yang pernah dijalankan pada era Orde Baru. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat, apalagi pembahasan RUU tersebut dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik sehingga jauh dari kepentingan publik yang lebih luas dan dikhawatirkan sarat dengan transaksi politik kekuasaan.

Berdasarkan draft RUU TNI versi Baleg DPR RI, terdapat dua usulan perubahan yang problematik. Pertama, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Hal tersebut dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 47 ayat (2) melalui penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Penambahan frasa tersebut menjadi berbahaya karena membuka tafsir yang luas untuk memberi ruang kepada prajurit TNI aktif untuk dapat ditempatkan tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang disebutkan di dalam UU TNI. Dengan kata lain, Presiden ke depan bisa saja membuat kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Desa, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga negara lainnya.

Usulan perubahan Pasal 47 ayat 2 UU TNI jelas akan melegalisasi perluasan praktik Dwifungsi ABRI yang sejatinya secara perlahan mulai dijalankan terutama pada era pemerintahan Presiden Jokowi. Dengan kata lain, usulan perubahan tersebut tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara. Berdasarkan data Babinkum TNI sendiri pada tahun 2023 tercatat 2.569 TNI aktif di jabatan sipil. Dengan adanya usulan perubahan tersebut, jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif berpotensi lebih banyak lagi.

Penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip pengaturan militer di negara demokrasi yang menuntut adanya pemisahan antara domain sipil dan domain militer. Di negara demokrasi, fungsi dan tugas utama militer seharusnya difokuskan sebagai alat pertahanan negara. Hal ini sesuai dengan hakekat keberadaan militer yang memang dididik, dilatih dan dipersiapan untuk perang, dan tidak didesain untuk menduduki jabatan-jabatan sipil yang lebih berorientasi pada pelayanan. Karena itu, penempatan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara bukan hanya salah, akan tetapi juga akan memperlemah profesionalisme militer itu sendiri. Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan dia dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya.

Penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan-jabatan sipil juga berpotensi berdampak negatif terhadap pengelolaan jenjang karir Aparatur Sipil Negara (ASN) dan masuknya militerisme ke dalam kementerian dan lembaga non-kementerian. Penempatan perwira TNI aktif dalam jabatan TNI mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Selain mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karir ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang, hal tersebut juga akan mengakibatkan terjadinya de-motivasi di kalangan ASN dalam konteks jenjang karir dan kepangkatan di instansinya.

Dampak lain dari penempatan perwira TNI aktif pada jabatan sipil adalah timbulnya tarik menarik kewenangan/ yurisdiksi perwira yang terlibat tindak pidana (termasuk korupsi) apakah diadili di peradilan umum atau peradilan militer. Hal ini mengingat hingga saat ini belum ada revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer dan tindak pidana umum diadili di peradilan militer. Hal ini tentu menghambat upaya penegakan hukum terhadap prajurit TNI yang ada di jabatan sipil ketika terlibat dalam tindak pidana.

Kedua, penambahan usia pensiun prajurit TNI. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 53 ayat (2) yang menambah masa usia pensiun prajurit TNI menjadi 60 tahun. Usulan perpanjangan masa dinas tersebut justru akan memicu inefisiensi di tubuh TNI, dapat menambah beban anggaran di sektor pertahanan dan membuat macetnya jenjang karir dan kepangkatan yang berpotensi menyebabkan surplus perwira TNI tanpa jabatan. Dalam hal surplus perwira tanpa jabatan, hal ini sesungguhnya telah menjadi masalah lama di dalam TNI, dan langkah yang dilakukan sebelumnya yaitu dengan mengkaryakan mereka di luar instansi militer seperti pada jabatan sipil justru hanya memunculkan masalah baru.

Berdasarkan pandangan di atas, Imparsial mendesak kepada DPR RI dan Pemerintah untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. Selain DPR RI periode 2019-2024 tidak lama lagi akan berakhir sehingga pembahasannya akan minim partisipasi publik, usulan perubahan juga bertentangan dengan prinsip negara demokrasi dan memundurkan reformasi TNI. Lebih baik DPR dan pemerintah memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI.

Jakarta, 30 Mei 2024

Gufron Mabruri
Direktur

Narahubung:

  1. Gufron Mabruri (Direktur/085213108662)
  2. Ardi Manto Adiputra (Wakil Direktur/081261944069)
  3. Hussein Ahmad (Koord. SSR/081259668926)
  4. Annisa Yudha Apriliasari (Koord. HAM/085711784064)
id_IDBahasa Indonesia