Hentikan Cara-cara Represif dalam Penangananan Aksi Demonstrasi!

Siaran Pers Imparsial

Menyikapi Video Penanganan Demonstrasi di Kabupaten Tanggerang

Pada tanggal 13 Oktober 2021 beredar video tentang seorang polisi yang membanting mahasiswa yang sedang melakukan aksi demonstrasi di Kabupaten Tanggerang. Pada video itu juga terlihat anggota polisi lainnya sedang menyeret demonstran. Sebagaimana diberitakan banyak media puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Tangerang (HIMATA) Banten Raya menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Tangerang. Aksi demonstrasi yang digelar HIMATA Banten Raya dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-389 Kabupaten Tangerang ditangani secara represif oleh aparat kepolisian.

Kami memandang, tindakan anggota kepolisian yang membanting hingga menyebabkan luka terhadap mahasiswa yang sedang melakukan aksi demonstrasi merupakan pelanggaran HAM dalam bentuk penyiksaan atau setidak-tidaknya perlakuan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Tindakan tersebut sama sekali tidak dibenarkan dengan alasan apapun apalagi hal tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum seyogyanya menggunakan pendekatan persuasif dan menghindari cara- cara represif dalam menangani aksi demonstrasi mengingat hal tersebut merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi.

Kendati pelaku sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, namun hal tersebut tidak menghapus pertanggung jawaban pelaku. Pada konteks ini, Polda harus tetap memproses baik secara etik maupun pidana. Proses hukum terhadap pelaku sangat penting dilakukan tidak hanya untuk memberikan keadilan bagi korban tetapi juga memutus rantai impunitas sekaligus memastikan peristiwa serupa tidak terulang kembali.

Kami menilai, penanganan demonstrasi dengan cara-cara brutal oleh polisi bukanlah peristiwa yang baru pertama kali terjadi. Sebelumnya, kritik terhadap cara-cara brutal yang dilakukan polisi dalam penanganan aksi demonstrasi juga terjadi pada kasus lain misalnya pada saat menangani aksi besar-besaran mahasiswa pada tahun 2019 dan tahun 2020. Hal ini menujukkan bahwa persoalan tersebut bukan hanya persoalan individual anggota semata, tetapi juga persoalan sistemik yaitu kultur kekerasan yang masih kuat di dalam tubuh kepolisian. Jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh jajaran Polri, maka peristiwa serupa akan terus berulang dan dengan sendirinya akan mencoreng nama baik institusi Polri juga menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri.

Dalam pengarusutamaan HAM di kepolisian, sejumlah aturan internal terkait HAM telah dibentuk Polri seperti Perkap HAM No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM dalam Tugas-Tugas Kepolisian, Perkap No.1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Namun, berbagai brutalitas yang dilakukan kepolisian dalam penanganan demonstrasi menunjukkan bahwa aturan internal tersebut belum cukup untuk menjamin tindakan polisi sejalan dengan prinsip dan standar HAM serta memutus rantai brutalitas Polri terhadap warga masyarakat.

Atas dasar hal di atas tersebut, Imparsial mendesak jajaran Kepolisian Republik Indonesia untuk:

  1. Memproses pertanggungjawaban etik dan pidana pelaku penyiksaan atau setidak-tidaknya perlakuan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi terhadap mahasiswa di Kabupaten Tangerang tersebut.
  2. Melakukan evaluasi terhadap aturan internal. Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian sebagai aturan baku pengamanan aksi demonstrasi perlu direvisi dengan memasukan pengaturan sanksi yang tegas dan kewajiban kepolisian untuk memproses pidana bagi anggota yang terbukti melakukan pelanggaran protap dan pidana. Selain itu, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM dalam Tugas Kepolisian perlu direvisi dengan menyertakan lampiran SOP teknis terkait tugas-tugas pemolisian.
  3. Memperbaiki proses pendidikan untuk mengakhiri budaya kekerasan yang selama ini masih kuat di tubuh kepolisian. Anggota kepolisian sudah harus meninggalkan cara pandang lama yang memandang dirinya sebagai “punisher”. Anggota Polri harus menyadari bahwa dirinya adalah merupakan alat negara untuk menegakkan hukum, mengayomi, melindugi, melayani masyarakat. Karenanya, anggota kepolisian tidak dibernarkan memberikan penghukuman apalagi dengan cara-cara kekerasan kepada warga masyarakat.

Jakarta, 14 Oktober 2021

Gufron Mabruri
Direktur

Narahubung:
Ardi Manto (0812 6194 4069)
Hussein Ahmad (0812 5966 8926)
Amalia Suri (0823 6783 2141)

id_IDBahasa Indonesia