Digugat ke MK, Aturan Komcad Dinilai Ganggu Hak dan Kerancuan Status Warga Sipil

Rabu, 27 Oktober 2021 12:03

Reporter : Bachtiarudin Alam

Merdeka.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) yang menjadi dasar terlahirnya Komando Cadangan atau Komcad.

Sidang uji materi yang terdaftar dalam perkara Nomor 27/PUU-XIX/2021 dipimpin Hakim Ketua Anwar Usman pada Senin (25/10) kemarin. Sidang beragendakan mendengarkan para ahli dari pihak pemohon.

Dalam pemaparannya, peneliti senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza selaku ahli menilai jika kehadiran Komcad berpotensi membuat hak maupun status warga sipil menjadi rancu. Menurut dia, kehadiran UU PSDN berpotensi melanggar ketentuan hasil konferensi Jenewa 1949 (KJ 49) yang didalamnya mengatur prinsip dalam hukum kemanusiaan international atau humaniter internasional.

Ibnu menjelaskan jika hasil KJ 49 yang mengatur terkait konflik bersenjata international (KBI) dan Konflik Bersenjata Non International) turut berkembang dan dilengkapi dengan dua protokol tambahan (PT) 1977, PT pertama aturan terkait perlindungan korban perang KBI sedangkan PT kedua mengatur korban perang KBNI.

“Sampai dengan saat ini Indonesia belum meratifikasi kedua protokol tersebut namun demikian kedua hal itu harus ditaati. Hal ini disebabkan sebagian subtansi kedua protokol tersebut telah diakui sebagai standart hukum humaniter international,” ujar Ibnu, dalam sidang dikutip dari situs MK, Rabu (27/10).

Namun demikian, kata Ibnu, hadirnya UU PSDN yang menjadi dasar pembentukan Komcad, berpotensi menghilangkan hak penduduk sipil ketika terjadi konflik bersenjata. Sebab menurut dia, jika warga masuk dalam Komcad status mereka sebagai warga sipil berpotensi menghilang.

Karena, diungkapkan Ibnu, status sebagai Komcad bisa dianggap sebagai kombatan. Padahal hukum humaniter internasional adalah prinsip perbedaan antara orang sipil dan kombatan, telah diatur KJ 49, dalam pasal 48, 51 ayat 2, 52 ayat 2, PT pertama. Serta Pasal 13 ayat 2 PT Kedua yang secara spesifik menegaskan perlindungan penduduk sipil dalam KBNI

“Prinsip ini sekaligus memberikan penjelasan pihak-pihak mana saja yang boleh dan tidak boleh turut serta dalam permusuhan dan mana saja yang tidak boleh menjadi objek sasaran atau kekerasan,” ujar dia.

Adapun penduduk sipil, lanjut Ibnu, dalam pasal 50 ayat 1 dan PT kedua KJ 1949 tidak bisa dimasukan ke dalam kategori kombatan, karena mereka adalah pihak non berkonflik.

Alhasil, warga sipil bukan lah target yang sah untuk diserang. Serta harus mendapatkan perlindungan dari para pihak yang terlibat konflik bersenjata sebagai diatur dalam KJ 1949 maupun PP 1977.

“Artinya mereka menikmati kekebelan dari seserangan langsung yang dilakukan oleh para pihak yang berkonflik. Akan tetapi jika orang atau penduduk sipil tersebut ikut aktif dalam permusuhan maka akan kehilangan perlindungan hukum maka tidak berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang dalam konflik bersenjata internasional,” kata Ibnu.

“Dari penjelasan prihal perbedaan yang diatur dalam prinsip prihal perbedaan yang diatur dalam hal ini Hukum humaniter international serta penafsiran dari pengadilan internasional adalah penegasan untuk negara-negara di dunia untuk menghormati prinsip (hasil Konferensi Jenewa),” tambahnya.

Kerancuan Status Warga Sipil

Pada kesempatan yang sama, ahli hukum tata negara Aan Eko Widarto berpendapat jika kehadiran Komcad berpotensi bertentangan dengan 30 UUD 1945 tentang kekuatan utama pertahanan Indonesia adalah TNI dan Polri. Sedangkan, rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Namun kehadiran UU PSDN Pasal 29 terkait Komcad yang disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida telah menimbulkan kerancuan.

“Warga negara dalam ketentuan pasal 29 UU PSDN bukan merupakan anggota TNI atau Polri. Dengan demikian bila dikerahkah dengan mobilisasi untuk memperkuat kekuatan komponen utama dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman likuiditas maka mengalami kerancuan status,” bebernya.

“Warga negara tersebut statusnya sebagai warga negara sipil atau warga negara yang menjadi TNI Polri,” sambung Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, ini.

Selain itu, Aan juga kembali menyoroti ketidakjelasan kedua terkait adanya dua masa pengabdian sebagai komcad sebagaimana diatur pasal 43 UU PSDN terbagi menjadi aktif dan tidak aktif.

“Selama komcad aktif diberlakukan hukum militer sebagaimana pasal 46 (UU PSDN). Secara karena tidak esplisit tidak diatur dalam UU PSDN selama komcad tidak aktif maka tidak diberlakukan hukum militer,” katanya.

Maka, Aan menilai hal itu bisa menjadi kerancuan lain soal status warga negara yang menjadi komcad. Karena tidak memiliki tolak ikur rakyat bisa ikut serta sebagai Komcad yang sewaktu-waktu siap dimobilisasi. Tetapi, tak jelas posisi sebagai kekuatan utama atau bukan.

“Dalam kondisi demikian maka lebih jauh mengakibatkan hilangnya jaminan atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang diketahui sebagaimana dijamin pasal 28 D ayat 1 UUD 1945,” ujarnya.

Adapun lebih lanjut, permohonan uji materil ini diajukan empat badan hukum dan tiga individu yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Reformasi Sektor Keamanan buntut pro kontra rekrutmen Komponen Cadangan atau Komcad.

Pihak penggugat terdiri dari Imparsial, KontraS, Yayasan Kebajikan Publik Jakarta, PBHI, dan tiga individu yakni Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, juga Leon Alvinda Putra.

Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN. [gil]

id_IDBahasa Indonesia