“Darurat Militerisasi Sipil: Telaah Kritis Pembentukan Komponen Cadangan Melalui UU No. 23 Tahun 2019 Tentang PSDN”

Imparsial bekerja sama dengan LBH Semarang Menyelenggarakan Focus Group Disscusion dan Media Briefing dengan tema “Darurat Militerisasi Sipil: Telaah Kritis Pembentukan Komponen Cadangan Melalui UU No. 23 Tahun 2019 Tentang PSDN” pada Kamis, 19 Mei 2022 di Semarang.

Dengan Narasumber; Eti Oktaviani (Direktur LBH Semarang), Donny Danardono (Dosen FHK Unika Sugyopranoto), Ardi Manto Adiputra (Wakil Direktur Imparsial), Al Araf (Ketua Badan Pengurus Centra Initiative) dengan Perserta Focus Group dan Media Brifing dari Mahasiswa Unika.

Eti Oktaviani Direktur LBH Semarang mengatakan UU PSDN ini cukup mengerikan sebenarnya karena mengatur tentang komponen cadangan yang berpotensi membuat konflik horizontal seperti jaman Soeharto. Jika kita kupas secara detail, seperti definisi ancaman dalam UU PSDN ini sangat luas dan tidak ada batasnya, dapat ditafsirkan oleh mereka yang berkepentingan. Tiga bentuk ancaman dalam UU PSDN ini tidak ada definisi yang jelas. Selain itu, UU PSDN mengatur tentang banyak hal, tidak hanya Komponen cadangan tetapi juga komponen pendukung, sarana dan prasarana lainnya yang disebut sebagai sumberdaya nasional yang dipersiapkan untuk pertahanan negara. Luasnya cakupan pengaturan dalam UU PSDN ini berpotensi digunakan secara serampangan oleh mereka yang berkepentingan.

Pengaturan terkait penyiapan sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana tidak diatur dengan jelas siapa yang berwenang, UU hanya mengatur tentang penetapannya. Sehingga kewenangn ini juga sangat berpotensi disalahgunakan. Batasan dan indikator kapan presiden dapat mengerahkan Komcad juga tidak ada.


Pendanaan dalam UU PSDN, ada 3 sumber untuk membentuk komponen cadangan, APBN, APBD, dan sumber lain yang tidak mengikat. Dengan kuatnya kelompok oligarki belakangan ini maka tidak tertutup kemungkinan bahwa komponen cadangan dapat digunakan karena telah dibiayai oleh pemodal oligarki. Hak atas property, hak atas tanah, hak agraria juga terancam oleh UU PSDN ini. Penetapan SDA sebagai Komcad juga sangat berpotensi terjadinya penambangan yang merusak lingkungan.

Donny Danardono Dosen FHK Unika Sugyopranoto mengkatakan UU PSDN ini bermasalah sehingga harus direvisi secara total. UU ini dibahas secara senyap oleh DPR dan pemerintah.

Secara substansi, hak untuk anti-perang atau anti-kekerasan harus dihormati. Komcad secara internasional adalah sarana tempur secara sukarela, artinya kalau suka bisa ikut tetapi kalau tidak suka boleh tidak ikut, bukan paksaan dan bukan tipu muslihat. Tetapi UU ini mengatur mobilisasi yang membuat orang tidak bisa memilih dan hilang sifat sukarela tersebut.

Dan lebih aneh lagi ada pasal 66 ayat 1 mengatur tentang pidana bagi mereka yang tidak ikut mobilisasi. Jadi sifat sukarelanya hilang dan kontradiktif dengan norma sebelumnya. Kesadaran menolak ikut operasi militer dijamin oleh instrument HAM internasional.

Menolak perang dan menolak kekerasan adalah hak asasi manusia hal ini diyakini oleh kelompok Pasifisme. Pasifisme adalah kelompok yang anti kekerasan, diantaranya ada yang seperti kelompok vegetarian yang menolak membunuh hewan sekalipun.

Mereka berpendapat kekerasan kalau dilawan dengan kekerasan maka tidak akan pernah putus, padahal tidak ada orang yang suka jadi korban kekerasan. Maka kekerasan harus dihentikan. Ini alasan kenapa kelompok pasifisme menolak perang dan kekerasan. Alasan ini kemudian diakui oleh instrument HAM internasional, yang masuk dalam kebebasan berpikir, kebebebasan berkeyakinan, kebebasan beragama, dan tidak bisa dipidana. Dan yang lebih penting, rekrutmen Komcad tidak boleh dengan manipulasi dan intimidasi.

Ardi Manto Adiputra Wakil Direktur Imparsial Menjelaskan Proses pembahasan UU PSDN ini sedari awal sudah tidak transparan, dibahas dalam waktu singkat di DPR dan terbukti kemudian secara substansi bermasalah. Presiden Jokowi baru mengirimkan Surpres RUU PSDN ini ke DPR pada tanggal 17 Juli 2019 dan disahkan oleh DPR pada 26 September 2019. Artinya hanya ada waktu 70 hari bagi DPR membahas substansi draft RUU yang diajukan pemerintah.

Diantaranya problem substansinya adalah Komponen Cadangan yang berasal dari sumber daya alam dan sumber daya buatan juga tidak melalui proses yang demokratis karena melanggar prinsip kesukarelaan, sementara hak atas properti telah dijamin oleh konstitusi.
Sumber Anggaran Komcad dalam UU ini juga dapat diperoleh dari APBD dan sumber lain yang tidak mengikat. Ini tentu sangat merugikan dan menambah beban pemerintah daerah yang sudah kewalahan dengan problem pembangunan di daerahnya.

Al Araf Ketua Badan Pengurus Centra Initiative mengatakan Di berbagai tempat memang hanya sedikit orang tahu dengan UU PSDN ini, karena minimnya partisipasi publik dan penyerapan aspirasi publik. Negara yang baik, seharusnya bertanya kepada publik terkait dengan aturan legislasi yang mengatur hubungan antara negara dan warga negaranya. UU ini dibahas ketika tahun politik dalam tensi yang tinggi sehingga kepentingan politiknya juga tinggi.

Deklarasi perang oleh sebuah pemerintah negara tidak selalu berhubungan dengan kepentingan rakyat di sebuah negara tersebut. Perang hanya kelanjutan dari aksi politik dengan cara lain. Padahal, penyelesaian masalah tidak selalu dengan cara perang, bisa dengan jalan dialog, negosiasi dan tindakan non-kekerasan lainnya. Negara perlu memberikan pilihan lain kepada warga negara yang menolak penggunaan kekuatan mematikan dalam menyelesaikan masalah.Harus ada alternatif pilihan lain seperti alternatif kerja sosial seperti membantu di rumah sakit, membersihkan fasilitas umum dan lain lain. Hal ini terkait dengan prinsip consentius objection yakni hak menolak warga untuk menggunakan instrumen yang mematikan yang bagian dari prinsip kardinal dalam ham.

Sayangnya uu psdn ini tidak menghormati prinsip itu karena tidak memasukanya dalam substansi UU dan yg ada malah pemberian sanksi pidana bagi warga yang menolak mobilissasi dan keluar dalam pelatihan komponen cadangan

id_IDBahasa Indonesia