Reporter : Fachrur Reyhand
Pada Kamis, 20 Juli 2023, Imparsial telah menyelenggarakan diskusi publik yang berjudul “Al Zaytun: Di Tengah Diskriminasi dan Kriminalisasi”. Diskusi dihadiri oleh peserta yang berasal dari berbagai kalangan, antara lain, masyarakat sipil, mahasiswa, dan pegiat hak asasi manusia (HAM). Acara diawali dengan pembukaan dan pengantar diskusi oleh moderator, Fachrur Reyhand Haditama (Staff Peneliti Imparsial). Dalam tiga bulan terakhir, Pondok Pesantren Al Zaytun menjadi sorotan publik dan media lantaran sejumlah pihak menilai mereka memberikan ajaran sesat atau menyimpang. Berbagai kalangan tokoh organisasi keagamaan pun memberikan tanggapan negatif hingga menghasut untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok yang ditujukan. Padahal dalam instrumen HAM, sudah diatur dan dijamin hak seseorang untuk memeluk agama ataupun kepercayaan sesuai dengan ajaran yang mereka yakini. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 20 ICCPR yang melarang seseorang untuk melakukan tindakan diskriminasi ataupun ujaran kebencian terhadap suatu kelompok agama/kepercayaan.
Berbagai permasalahan terkait Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun dicoba untuk dibahas dalam diskusi ini, diantaranya adalah mengenai tindakan diskriminasi yang diterima oleh Ponpes Al Zaytun, khususnya terkait kasus penodaan agama yang dilihat menggunakan perspektif HAM, dampak diskriminasi terhadap hak-hak peserta didik (santri) dan tenaga pengajar, peran pemerintah daerah (Pemda) dalam merespon praktik intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), termasuk di dalamnya berkenaan dengan kebijakan/regulasi yang diskriminatif, serta
bagaimana sejauh ini peran aparat penegak hukum dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran KBB. Untuk membahas topik-topik tersebut, diskusi kali ini menghadirkan beberapa narasumber, yakni, Pramono Ubaid Thantowi (Komisioner Komnas HAM RI), Halili Hasan (Direktur Eksekutif Setara Institute), Muhammad Mukhlisin (Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru) dan Annisa Yudha (Koordinator Program HAM Imparsial).
Pemaparan yang pertama disampaikan oleh Halili Hasan, yang menyampaikan bahwa permasalahan mengenai Ponpes Al Zaytun harus mengedepankan pendekatan yang berlandaskan atas hak dasar konstitusional warga negara, serta dalam penegakan hukumnya harus didasari oleh keputusan inkracht dari pengadilan sebelum adanya tindakan lanjutan yang pemerintah ambil. Tidak boleh ada tindakan administratif dan birokratis sebelum ada putusan pengadilan, tegasnya. Halili Hasan juga mengingatkan bahwa pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah, jangan sampai menggunakan pasal karet, seperti pasal penodaan agama (Pasal 156a KUHP) sebagai dasar pengambilan tindakan. Menurutnya, penggunaan pasal penodaan agama sulit dalam pembuktiannya, karena tidak didasari oleh due process of law, tetapi lebih memperlihatkan peradilan oleh tekanan massa (trial by mob).
Narasumber kedua, Annisa Yudha, mengawali pemaparan dengan mengatakan bahwa isu intoleransi dan diskriminasi terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan merupakan isu yang cukup popular. Ia menyampaikan data monitoring yang dilakukan oleh Imparsial, dimana tercatat ada sebelas (11) kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakin yang terjadi selama Januari – Juni 2023. Adapun dua yang tertinggi adalah kasus pelanggaran hak atas beribadah serta hak untuk menyiarkan ajaran agama dan ekspresi keagamaan. Annisa menambahkan, pola penanganan kasus pelanggaran KBB seringkali dipengaruhi oleh desakan atau tekanan massa, dimana aparat penegak hukum (APH), seperti Kepolisian masih bias favoritism dan mayoritarianisme. Tekanan massa mejadi faktor kuat yang mendorong aparat penegak hukum melakukan tindakan yang bersifat intimidasi kepada korban yang mengalami pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dalam banyak kasus pemerintah dan kepolisian terkesan melakukan pembiaran terhadap tindakan intoleransi. Menurutnya, hal ini masih menjadi catatan merah bagi APH dalam melakukan penanganan kasus-kasus intoleransi serta pelanggaran KBB, dan harus segera dilakukan perbaikan ke depannya. Masih minumnya perspektif HAM dan keberpihakan terhadap korban dari pemerintah dan aparat penegak hukum melanggengkan pola diskriminasi dan kriminalisasi dalam kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran KBB.
Selanjutnya, pemaparan dari narasumber ketiga, Muhammad Mukhlisin, dimana diskusinya lebih berfokus pada isu pendidikan, khususnya pendidikan agama yang harus setara dan non-diskriminasi. Menurutnya, Ponpes Al Zaytun memiliki kurikulum dan proses pembelajaran yang perlu diapresiasi, karena mengajarkan tentang HAM dan menghargai kemanusiaan sejak usia PAUD. Mukhlisin berpendapat bahwa jika berbicara mengenai dampak dari kasus diskriminasi yang dihadapi Al Zaytun akan berpotensi mengorbankan para santri dan muridnya. Hal tersebut akan berdampak juga pada pemenuhan hak-hak anak. Mukhlisin melanjutkan dengan memberikan pernyataan bahwa evaluasi terhadap pesantren dan madrasah secara umum memang lemah. Oleh karena itu, ke depannya perlu untuk memperkuat mekanisme evaluasi dan melakukan pendampingan yang tidak bias, setara dan adil dari Kemenag serta Kemendikburistek terhadap pesantren-pesantren yang ada. Dengann catatan yakni tidak langsung melakukan penilaian hanya karena adanya perbedaan di ranah pandangan dan ajaran, namun harus dilihat lebih komprehensif.
Narasumber yang terkahir adalah Pramono Ubaid, selaku Komisioner Komnas HAM. Pramono menyampaikan fakta bahwa isu kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan isu yang sangat popoulis dan mudah ditunggangi kepentingan politik. Secara dasar ia juga menyampaikan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak konstitusional yang dalam hal ini mencakup 3 (tiga) yakni, kebebasan meyakini atau tidak meyakini agama dan keyakinan, menjalankan ibadah sesuai kepercayaan serta kebebasan mendirikan rumah ibadah. Dalam kasus Al Zaytun sendiri, menjadi pengingat bagi pemerintah untuk terus berhati-hati dalam mengambil keputusan atau kebijakan, yakni dengan tidak mengambil langkah yang dinilai politis. Menurutnya, Negara seharusnya tidak menggunakan pasal penodaan agam untuk menjerat paham atau penafsiran keagamaan seseorang, kecuali jika mengajarkan pada kebencian, permusuhan dan kekerasan. Dalam konteks ini, negara seharusnya hadir untuk memberikan jaminan perlindungan atas Kebebasan beragama/keyakinan setiap warga negara, bukan untuk ikut campur di ranah pemahaman atau pandangan (penafsiran) keagamaan.