Imparsial

Uji Materi UU soal Komcad di MK Ungkap Kerancuan Status Warga Negara

CNN Indonesia | Rabu, 27/10/2021 03:40 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Ahli hukum tata negara menilai status warga negara menjadi rancu jika bergabung dalam Komponen Cadangan (Komcad) yang diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).


Hal tersebut disampaikan Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widarto yang dihadirkan sebagai ahli dari pemohon dalam sidang perkara Nomor 27/PUU-XIX/2021 ini berlangsung secara luring dan daring pada Senin (25/10) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat.

“Keberadaan Komponen Cadangan ini mengakibatkan ketidakjelasan kedudukan warga negara sebagai salah satu Komponen Cadangan,” tutur Aan di hadapan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.

Ia mengatakan jika mengacu pada Pasal 30 UUD 1945 diatur bahwa kekuatan utama pertahanan Indonesia adalah TNI dan Polri. Sedangkan, rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Namun, sambungnya, pada Pasal 29 UU PSDN ditegaskan bahwa warga negara sebagai Komponen Cadangan disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.

“Warga negara dalam ketentuan Pasal 29 UU PSDN a quo [yang di sini] bukan merupakan anggota TNI atau pun POLRI,” ujar Aan eko.

“Warga negara tersebut merupakan kekuatan utama atau kekuatan pendukung,” imbuhnya.

Menurutnya, kerancuan status warga negara yang menjadi Komponen Cadangan berimplikasi pada kekaburan sampai tahap mana rakyat dapat diikutsertakan dalam upaya pembelaan negara.

Ketidakjelasan ini ditambah lagi dengan adanya dua masa pengabdian warga negara sebagai komcad sebagaimana diatur Pasal 43 UU PSDN, yaitu aktif dan tidak aktif.

“Status warga negara seharusnya tetap menjadi kekuatan pendukung yang sewaktu-waktu siap dimobilisasi. Warga negara tidak diposisikan sebagai komponen cadangan yang tidak jelas posisi sebagai kekuatan utama atau bukan. Dalam kondisi demikian, maka lebih jauh mengakibatkan hilangnya jaminan atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Aan seperti dikutip dari situs MK.

Berikutnya Aan menjelaskan Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PSDN yang menentukan anggota Polri merupakan bagian dari komponen pendukung (komduk). Ketentuan ini menurut Aan bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945.

“Dengan demikian, Undang-Undang PSDN yang mengatur komponen cadangan dan Polri sebagai komponen pendukung, bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mengatur usaha pertahanan dan keamanan. Selain itu, menempatkan anggota Polri sebagai komponen pendukung yang setara dengan warga terlatih, itu juga menjadi sangat keliru,” tegas Aan.

Sebagai informasi, permohonan pengujian materiil UU PSDN diajukan empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tiga warga negara Indonesia.Empat LSM dimaksud adalah Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.

Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon akibat berlakunya UU PSDN, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi dapat menerbitkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU PSDN, khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU PSDN masih dalam proses pengujian di MK.

Mengutip dari situs MK, dalam lanjutan sidang uji materi UU PSDN itu Aan juga menegaskan pengaturan nonmanusia terkait Komcad:  sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional. Menurutnya itu bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945.
Penyebutan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur-unsur komduk dan komcad, telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung, sebagaimana ditentukan Pasal 30 ayat (2) UUD1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 itu bersifat limitatif.

Seharusnya yang dimaksud komcad dan komduk, sambung Aan, hanya sebatas sumber daya manusia yang menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan tidak termasuk sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain. Pengaturan tentang sumber daya alam, sumber daya buatan dan sebagainya dalam komduk menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip inform consent, baik bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana. Terutama ketika akan dimobilisasi dengan alasan pertahanan negara.

Terkait dengan penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara, Aan mengatakan Pasal 75 UU PSDN mengatur alokasi anggaran untuk pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara ini dapat bersumber dari APBN, APBD, serta sumber lain yang sah, padahal menurut Pasal 25 Undang-Undang Pertahanan dan Pasal 66 Undang-Undang TNI, sumber anggaran pertahanan hanya melalui APBN.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 mengabaikan penggunaan anggaran yang sifatnya sentralistik. Pasal 75 huruf b dan huruf c menyebutkan bahwa pembiayaan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara melalui APBD dan sumber lain yang sah tidak mengikat di samping dari anggaran pendapatan dan belanja negara ini tentunya menyalahi prinsip urusan yang absolut yang dimiliki pemerintah pusat.

Prinsip Kombatan dalam Hukum Humaniter Internasional
Ahli pemohon yang lain, Bhatara Ibnu Reza, mengatakan UU PSDN tidak secara tegas menyatakan komcad sebagai anggota TNI, tetapi disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komput dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida. Melihat situasi tersebut, Bhatara kembali mengacu kepada hukum humaniter internasional. Salah satu prinsip fundamental dalam hukum humaniter internasional adalah prinsip pembedaan (distinction principle) antara orang sipil dan kombatan.

Menurutnya, status komcad adalah bukan kombatan dan lebih jauh dapat dikategorikan sebagai ‘kombatan yang tidak sah’. 

Selain itu merujuk pada Pasal 46 ayat 1 UU PSDN, Bhatara mengatakan pemberlakuan hukum militer bagi komcad di masa aktif juga menjadi bentuk penyimpangan terhadap prinsip pembedaan. Hukum humaniter internasional menuntut ketegasan status dan tidak ada wilayah abu-abu dalam prinsip pembedaan.

Kerancuan serta pengaburan, apakah anggota komcad adalah seorang sipil atau kombatan kembali muncul dari situasi seorang komcad dalam keadaan aktif atau tidak aktif. Ditambah lagi terdapat fakta UU PSDN tidak menyebutkan secara tegas komcad adalah bagian dari TNI.

Menimbang hal tersebut, Bhatara berpendapat bahwa komcad adalah orang sipil dan tidak dapat dikategorikan termasuk dalam anggota satu golongan, atau jawatan, atau badan, atau dipersamakan, atau dianggap sama layaknya sebagai prajurit TNI yang berarti tidak termasuk dalam yurisdiksi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Selain itu, kerancuan status komcad dalam kaitannya dengan prinsip pembedaan akan merugikan anggota komcad untuk mendapatkan perlindungan, baik sebagai penduduk sipil atau sebagai kombatan yang memiliki keistimewaan.

id_IDBahasa Indonesia