“Telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi”

Diskusi dan Media Brifing

Telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi

diskusi dan media berifing ini berkerjasama dengan prodi hubungan internasional FISIP UIN Jakarta dan IMPARSIAL bertempat di aula madya, kampus UIN Jakarat ciputat, pada Kamis 02/06/2022

kegiatan diskusi dan media brifing di hadiri peserta diskusi diikuti dari berbagai kalangan dari Mahasiswa UIN Jakarata dan media.

dengan narasumber Faisal Nurdin Idris, M.Sc., Ph.D Kaprodi HI FISIP UIN Jakarta, Fery Kusuma, S.H. Pegiat HAM dan Peneliti Centra Initiative, Junaidi Simun, S.HI Peneliti CSRC UIN Jakarta, Dr. Al Araf, S.H., M.D.M Peneliti Senior Imparsial dan Dosen FH Univ. Brawijaya.

dengan narasumber Pertama Faisal Nurdin Idris, M.Sc., Ph.D Kaprodi HI FISIP UIN Jakarta
dalam naskah akademik dan UU yang saya lihat, definisi ancaman dalam UU PSDN ini tidak dijelaskan secara detail maksudnya. Argumentasi yang dihadirkan dalam naskah akademik ini terlalu dipaksakan. dengan definisi ancaman seperti yang disebut dalam UU PSDN ini, maka spill-over penggunaan Komcad menjadi sangat luas dan berbahaya.

Pemerintah harus mendengarkan masukan dari masyarakat sipil secara luas. Banyak dampak negative yang dapat timbul dari penerapan UU PSDN ini. UU PSDN ini juga sangat minim penghormatan terhadap hak-hak individu. Pemerintah seharusnya bisa menjamin hak-hak privasi warga negara, termasuk menghormati hak untuk menolak dimobilisasi untuk perang atau operasi tertentu atas dasar keyakinan atau kepercayaan mereka (conscientious objention).

narasumber selanjut nya Fery Kusuma, S.H. Pegiat HAM dan Peneliti Centra Initiative
dalam negara hukum demokratis, sebuah UU mensyaratkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sedangkan UU PSDN ini tidak punya atau tidak melindungi hak asasi manusia. Sehingga, banyak ketentuan atau jaminan HAM dalam UUD dilanggar oleh UU PSDN ini.

mengingat sejarah masa lalu, kita kenal ada pamswakarsa atau para milisi, sampai sekarang misalnya juga ada di Papua. Artinya pembentukan Komponen Cadangan juga berpotensi kembali membentuk para milisi seperti yang terjadi di masa lalu, untuk berhadapan dengan mahasiswa atau masyarakat kita sendiri. Implikasi hukum dari UU PSDN ini juga dapat merugikan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. UU PSDN ini adalah paradigm lama, yang kental dengan budaya militeristik, yang kemudian dilegalkan melalui seperangkat aturan perundang-undangan.

narasumber selanjutnya Junaidi Simun, S.HI Peneliti CSRC UIN Jakarta mengatakan UU PSDN, pengaturan terkait dimensi ancaman terlalu luas.Sehingga UU ini tidak fokus dan cenderung multi tafsir.

Anggaran yang dialokasikan untuk pembentukan Komcad juga sangat besar, sekitar 1 triliun pertahun, sebaiknya dana sebesar ini bisa digunakan untuk kepentingan memajukan pendidikan misalnya atau masalah ekonomi atau membangun tehtara profesional.

Dalam proses pembahasan UU PSDN ini juga sangat minim partisipasi publik, saya tidak mendengar civitas akademika di UIN ini diundang atau terlibat dalam pembahasan UU PSDN ini. Saya juga tidak mendengar pemerintah atau DPR melakukan kunjungan ke daerah-daerah, ke kampus-kampus untuk mensosialisasikan naskah akademik atau RUU PSDN ini.

Pengelolaan anggaran dalam UU PSDN ini tidak patuh pada sistem sentralistik pengelolaan anggaran pertahanan. UU ini jelas melanggar prinsip sentralistik pengelolaan sektor pertahanan Indonesia.

Selain itu, UU Ini juga menghambat reformasi peradilan militer, anggota Komcad yang melanggar nanti akan diproses melalui sistem peradilan militer. Ini tentu menghambat langkah kita untuk mereformasi sistem peradilan militer.

Dr. Al Araf, S.H., M.D.M Peneliti Senior Imparsial dan Dosen FH Univ. Brawijaya mengatakan Proses pembentukan UU ini sangat minim partisipasi pubilk, sehingga UU ini cacat formil. Dimensi ancaman dalam UU PSDN ini juga terlalu luas, ketegori ancaman sangat luas, sehingga bisa dipergunakan untuk kepentingan politik tertentu.

Kita ingat dulu pemerintah menggunakan warga sipil untuk menghadapi kelompok sipil lain seperti yang terjadi di Timor Leste. Komponen Cadangan juga berpotensi disalah gunakan sebagaimana yang terjadi di Timor Leste. Pada tahun 1998 juga ada Pamswakarsa yang dibuat untuk menghadapi para aktivis demokrasi. Komponen cadangan berpotensi menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat karena ancaman yang luas.

urgensi pembentukan Komponen Cadangan patut dipertanyakan. Kalau alasannya untuk memperkuat pertahanan nasional. Maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuat TNI. Karena raison d’etre pembentukan TNI adalah untuk menghadapi perang.

Di sisi lain, 50% alutsista TNI kita juga tidak layak pakai. Seharusnya anggaran tersebut dapat difokuskan untuk memperkuat alutsista TNI, melatih dan mendidik prajurit TNI agar lebih professional, dan yang tidak kalah penting mensejahterakan prajurit TNI , bukan malah menghabiskan uang dengan membentuk komponen cadangan.

id_IDBahasa Indonesia