Menyikapi Dibentuknya Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI

Press Release

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

Pada pekan ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) meresmikan berdirinya Komando Operasi Khusus (Koopsus). Pendirian Koopsus ini didasarkan pada Peraturan Panglima (Perpang) TNI Nomor 19/2019 tanggal 19 Juli 2019 tentang Organisasi dan Tugas Komando Operasi Khusus TNI.

Pendirian Kopsus ini mengulang kebijakan pada tahun 2015 saat Panglima TNI dijabat Jenderal Moeldoko. Saat itu, dibentuk Koopssusgab TNI yang merupakan gabungan pasukan elite dari tiga matra TNI, yakni Sat-81 Kopassus, Denjaka Marinir, dan Satbravo-90 Paskhas. Namun, kebijakan ini tidak berlanjut.

Kami berpendapat sudah sepatutnya pendirian Koopsus TNI tidak lepas dari fungsi utama TNI sebagai alat pertahanan negara. Oleh karena itu, tugas utama Koopsus TNI lebih dititikberatkan untuk menghadapi ancaman kedaulatan negara yang berasal dati eksternal. Sementara pelibatan Koopsus TNI dalam menghadapi ancaman internal, seyogyanya hanya dapat dilakukan ketika aparat penegak hukum sudah tidak mampu lagi menghadapi ancaman tersebut dan atas dasar keputusan presiden.

Untuk itu, kami memandang tidak semestinya Koopsus menjalankan fungsi penangkalan terorisme, dalam hal ini pengintaian (surveillance) dan observasi. Hal ini mengingat, pasukan yang dilibatkan dalam Koopsus berasal dari satuan-satuan khusus yang merupakan pasukan pemukul. Fungsi pengintaian tentunya dapat dilakukan oleh institusi lain yang bekerja diwilayah pengintaian seperti lembaga intelijen negara atau badan intelijen strategis yang di miliki TNI.

Selain itu, kami berpendapat, fungsi yang akan dijalankan Koopsus akan menjadi masalah apabila substansi Perpres mengenai Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme tidak tepat dan tidak sesuai dengan perundangan yang ada.

Dalam catatan koalisi, draf Perpres Tugas TNI masih mempunyai sejumlah problem  mendasar yang bertentangan dengan UU TNI dan UU Terorisme. Selain memberikan kewenangan luas kepada TNI, Perpres tersebut menyiratkan pelaksanaan pola War Model (perang) dalam menghadapi ancaman terorisme, dari pada penggunaan mekanisme sistem penegakan hukum (criminal justice system).

Draf Perpres tersebut menyebutkan TNI juga ikut menjalankan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan. Fungsi penangkalan sebagaimana dimaksud mulai dari kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi sampai deradikalisasi (Pasal 3). Penangkalan sebagaimana dimaksud tersebut juga dijalankan dengan operasi intelijen, operasi tertorial dan informasi (Pasal 5).

Selain istilah penangkalan tidak dikenal di dalam UU Terorisme, kami memandang sejatinya fungsi penangkalan dan pemulihan dikerjakan badan-badan lain yang memang memiliki kompetensi, seperti fungsi penangkalan oleh Badan Intelijen Negara atau fungsi pemulihan

yang di dalamnya termasuk melakukan kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi oleh Kementerian Agama, Kementrian Pendidikan, BNPT dan lembaga-lembaga lainnya.

Lebih lanjut, draf Perpres ini jelas bertentangan dengan UU TNI dengan membuka peluang penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Draf Perpres ini juga membutuhkan perbaikan mendasar mengingat ketiadaan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 17 (2) UU TNI, bahwa pengerahan kekuatan TNI harus mendapatkan persetujuan dari DPR.

Jakarta, 1 Agustus 2019

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan KontraS, Imparsial, Elsam, WALHI, HRWG, AJI Indonesia, PBHI, Setara Institute, INFID, LBH Jakarta, Institut Demokrasi, ILR, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia, LBH Pers, ICW

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDBahasa Indonesia