Selasa, 27 Juli 2021 20:55 WIB
TEMPO.COM-Pada 22 Juli 2021, tim advokasi untuk reformasi sektor keamanan mengajukan gugatan judicial review Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk pertahanan negara nomer 23 tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu substansi yang diatur dalam undang-undang itu adalah mengenai pembentukan komponen cadangan pertahanan negara.
Proses pembentukan undang-undang tersebut memang sejak awal telah mendapatkan kritik keras dari masyarakat sipil karena dibuat dalam waktu yang singkat yakni dibahas di akhir masa periode DPR 2014-2019. Pengesahan yang terburu-buru dan minim partisipasi publik itu sepertinya merupakan strategi Kementerian Pertahanan dalam mengegolkan undang-undang itu. Hampir sepuluh tahun lebih undang-undang yang sebelumnya diberi nama rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan terus menerus mendapatkan penolakan dari masyarakat hingga tidak jadi disahkan pemerintah dan DPR. Secara prosedural, pengesahan undang-undang ini cacat prosedural karena tidak mengikuti tata cara pembuatan perundang-undangan yang baik yang mengharuskan adanya ruang partisipasi publik.
Dalam Undang-Undang tentang pengelolaan Sumber Daya Nasional, pembentukan komponen cadangan untuk memperkuat pertahanan negara. Tujuan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara itu untuk mentransformasikan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional menjadi kekuatan pertahanan negara yang siap digunakan untuk kepentingan pertahanan negara.
Berdasarkan Nomor 3 tahun 2002 tentang Undang-Undang Pertahanan Negara yang di maksud dengan pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Fungsi pertahanan negara ditujukan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Untuk menghadapi ancaman militer TNI merupakan komponen utama, didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Sedangkan untuk menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3/2002).
Dalam bingkai pertahanan negara tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembentukan komponen cadangan yang dibuat kementerian pertahanan seharusnya untuk kepentingan membantu komponen utama, yakni TNI dalam pertahanan negara dalam rangka menghadapi ancaman militer atau kemungkinan perang dengan negara lain. Sedangkan guna menghadapi ancaman non-militer, Kementerian Pertahanan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk komponen cadangan, karena komponen utama menghadapi ancaman non militer adalah lembaga di luar bidang pertahanan sebagaimana dimaksud pasal 7 Undang-Undang Pertahanan Negara.
Dengan demikian, pengaturan tugas dan fungsi komponen cadangan yang nantinya akan dilatih oleh kementerian pertahanan dalam rangka menghadapi “ancaman hibrida” sebagaimana dimaksud pasal 29 Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional adalah keliru dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, penyebutan ancaman non-militer dalam pasal 4 undang-undang tersebut juga tidak tepat. Seharusnya pengaturan komponen cadangan dalam undang-undang itu hanya untuk menghadapi ancaman militer dari negara lain atau perang.
Luasnya ruang lingkup bentuk ancaman dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (militer, non-militer, hibrida) menimbulkan permasalahan tersendiri, di mana komponen cadangan yang telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme, terorisme, dan konflik dalam negeri yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat.
Pembentukan komponen cadangan ini sangat dikhawatirkan akan menjadi sarana di legalkannya para milisi untuk kepentingan menghadapi kelompok masyarakat dalam negara sendiri. Padahal. di masa lalu , kehadiran milisi-milisi di Timur Leste, Aceh, Papua dan juga Pam Swakarsa telah menjadi masalah dalam konflik yang terjadi. Tidak jarang para milisi itu terlibat dalam kasus pelanggaran HAM sebagaimana pernah terjadi di Timur Leste.
Dalam konteks pertahanan negara, tugas dan fungsi utama militer sejatinya dipersiapkan untuk perang. Militer direkrut, dididik, dilatih, dan dipersenjatai dengan fungsi utamanya adalah untuk menghadapi kemungkinan terjadinya ancaman militer dari negara lain. Tujuan keberadaan militer di sejumlah negara di dunia adalah untuk melawan musuh dalam peperangan (Samuel Huntington, New Contingencies, Old Roles, Joint Forces Quarterly: 1993). Hal ini merupakan raisond’etre atau prinsip utama dari peran militer.
Tugas selain perang bagi militer adalah perbantuan. Dalam konteks itu, pelibatan warga sipil sebagai komponen cadangan harusnya hanya untuk menghadapi perang (ancaman militer). Penggunaan komponen cadangan untuk menghadapi ancaman non militer-hibrida adalah sesuatu yang menyalahi dari prinsip dan hakikat dibentuknya militer itu sendiri. Di beberapa negara yang memiliki komponen cadangan ataupun wajib militer sebagian besar tugasnya adalah untuk menghadapi ancaman militer dari negara lain (perang).
Masalah lainnya dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional ini adalah berhubungan dengan komponen cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional di mana prinsip kesukarelaan dalam aturan ini diabaikan. Untuk menjadi komponen cadangan, kedua sumber daya serta sarana dan prasarana yang dikelola baik oleh warga negara maupun swasta tersebut hanya melewati verifikasi dan klasifikasi (pasal 51) oleh Kementerian Pertahanan tanpa kesukarelaan dari pemilik. Dengan demikian, undang-undang ini tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak properti yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Pengaturan komponen cadangan tentang sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain yang multitafsir dapat membuka ruang terjadinya pengambilalihan sumber daya alam, negara dan masyarakat. Dalam praktik di Indonesia konflik pertanahan antara masyarakat versus militer, pernah dan masih terjadi di beberapa tempat, dan seringkali diawali dengan pengambilalihan tanah untuk alasan kepentingan pertahanan negara. Konflik seperti ini misalnya terjadi di Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah, dan lain-lain.
Dalam praktik komponen cadangan di dalam negara demokrasi yang diatur di negara lain, aturan tentang komponen cadangan juga hanya terbatas pada sumber daya manusia saja, tidak mengatur tentang sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain. Hal itu dipraktikkan oleh beberapa negara lain yang mengatur tentang komponen cadangan seperti di Filipina, dan ainnya. Dalam Pasal 30 Konstitusi yang disebut sebagai komponen cadangan juga hanya sumber daya manusia saja dan tidak menyebut sumber daya non-manusia sebagai komponen cadangan.
Lebih dari itu, dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional ini, setiap komponen cadangan yang menghindari panggilan mobilisasi akan dikenakan sanksi hukuman pidana (pasal 77 ayat 1). Bahkan setiap orang yang membuat komponen cadangan tidak memenuhi panggilan mobilisasi terancam hukuman penjara dua tahun (pasal 77 ayat 2). Hal ini tentu menyalahi prinsip consentious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya) yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam pertahanan di berbagai negara yang sudah diakui dalam hukum HAM internasional. Conscientious objection didasarkan pada hak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama ketika bertentangan dengan kewajiban untuk menggunakan kekuatan mematikan.
Kebutuhan pemerintah untuk membangun kekuatan pertahanannya seharusnya ditujukan untuk penguatan alat utama sistem persenjataannya (alutsista) dan menjamin kesejahteraan prajuritnya. Sebagaimana diketahui, kekuatan alutsista kita saat ini masih jauh dari ideal. Dari data buku postur pertahanan negara yang diterbitkan Kementerian Pertahanan kekuatan alutsista kita yang layak pakai hanya lima puluh persen. Dalam konteks itu, sebaiknya pemerintah bisa lebih efektif dan efisien di dalam mengalokasikan anggaran sektor pertahanan yang sangat terbatas itu untuk memperkuat alutsista dan meningkatkan kesejahteraan prajurit.
Pembangunan komponen cadangan ini tentunya akan menjadi beban anggaran baru bagi negara khususnya anggaran pertahanan yang secara tidak langsung akan berdampak pada profesionalisme prajurit. Pemerintah seharusnya fokus memprioritaskan pembangunan komponen utama dalam waktu dekat ini. Dengan memperkuat komponen utama, detterent effect akan lebih terasa ketimbang membentuk komponen cadangan pada saat ini. Apalagi dalam strategi perang modern saat ini, penentuan kemenangan perang sangat ditentukan dari teknologi pertahanan yang modern dan tentara yang profesional.
Jika pemerintah ingin tetap membentuk komponen cadangan sebaiknya fokus melibatkan pegawai negeri sipil saja untuk dijadikan komponen cadangan dan tidak perlu menjadikan masyarakat secara umum sebagai bagian objek dari pelatihan dasar kemiliteran. Jumlah PNS yang cukup besar dapat menjadi potensi untuk komponen cadangan, serta kontrol terhadap PNS pasca pelatihan juga lebih terukur ketimbang masyarakat secara umum.
Pembentukan komponen cadangan yang cenderung dipaksakan di tengah kondisi komponen utama yakni TNI yang belum terpenuhi kebutuhannya serta kondisi ekonomi yang sedang sulit akibat pendemi Covid-19 patut dipertanyakan. Pembentukan komponen cadangan tanpa pengaturan yang lebih benar akan menimbulkan masalah sendiri bagi keamanan, kebebasan dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam konteks itu, keputusan Mahkamah Konstitusi nantinya akan sangat menentukan arah dan tujuan pembentukan komponen cadangan ke depan.