10 Oktober 2021, 21:11:09 WIB
JawaPos.com – Koalisi Hapus Hukuman Mati meminta pemerintah bisa membatalkan hukuman pidana mati. Bahkan, kini terdapat 108 negara yang tidak melakukan hukuman mati, baik karena sudah menghapus, maupun sudah melakukan moratorium hukuman mati.
Pernyataan ini disampaikan tepat pada Hari Anti Hukuman Mati yang jatuh pada 10 Oktober 2021. Tetapi Indonesia hingga kini masih menerapkan hukuman mati.
“Melihat tren internasional, narasi untuk menghapuskan hukuman mati semakin menguat, dibuktikan dengan hanya sedikit negara yang masih melakukan hukuman mati. Ada 108 negara
yang sudah menghapus hukuman mati dari sistem hukum mereka, menjadikan total 144 negara yang tidak melakukan hukuman mati baik karena sudah menghapus, maupun sudah melakukan
moratorium hukuman mati,” kata Direktur Imparsial, Gufron Mabruri dalam keterangannya, Minggu (10/10).
Bertolak dengan tren global yang mendukung penghapusan hukuman mati, lanjut Gufron, Indonesia justru masuk ke dalam sedikit negara yang masih menjatuhkan vonis hukuman mati, di berbagai tingkat pengadilan.
“Kami memandang, semakin meningkatnya jumlah vonis pidana mati menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen dalam upaya melindungi hak hidup warga negaranya. Lebih dari itu, tingginya angka penjatuhan vonis pidana mati di Indonesia juga sangat
bertolak belakang dengan citra yang sedang dibangun oleh Pemerintah Indonesia di level internasional,” papar Gufron.
Padahal, Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB 2020-2022, juga menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang merupakan posisi yang dihormati dan strategis di level internasional. Namun pada realitanya, Indonesia masih juga belum memiliki political will untuk mendukung rekomendasi moratorium maupun abolisi dalam Universal Periodic Review (UPR) yang dilakukan oleh Dewan HAM PBB.
Dia menyebut, dalam Sidang UPR, terdapat setidaknya 20 rekomendasi terkait hukuman mati yang sama sekali tidak digubris oleh pemerintah Indonesia. Alih-alih menerima rekomendasi untuk moratorium hukuman mati, dalam perkembangannya, Indonesia juga telah mengubah sikapnya di Majelis Umum PBB dan Dewan HAM PBB terkait moratorium hukuman mati, yang seharusnya menjadi arah kebijakan politik HAM di tingkat nasional.
“Sebagai gantinya, Indonesia masih menggunakan pendekatan canggung dengan menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif pada RKUHP.
Ironisnya, di tengah pandemi Covid-19, disaat semua masyarakat di dunia mencoba untuk menyelamatkan nyawa, pengadilan di Indonesia malah mencabut nyawa dengan pemberian
hukuman mati lewat sidang yang dilakukan melalui video teleconference, dimana minimnya ruang bagi Terdakwa untuk melakukan pembelaan dan masih jauh dari praktek peradilan yang
adil,” sesal Gufron.
Koalisi menilai, penerapan hukuman mati tidak pantas diterapkan di Indonesia, terutama mengingat proses hukum dan sistem peradilan di Indonesia yang masih memiliki banyak problematika serius seperti maraknya peradilan sesat, korupsi, praktik kekerasan, salah
tangkap, minimnya akses bantuan hukum yang berkualitas, hingga masalah transparansi.
Penolakan terhadap hukuman mati disebabkan oleh pendapat bahwa hukuman mati bisa menjadi
solusi untuk permasalahan kriminalitas di Indonesia seperti Narkotika, Terorisme dan Korupsi. Padahal jika melihat angka-angka di lapangan, penerapan hukuman mati, tidak membantu mengurangi angka kejahatan ini, malah untuk kejahatan terorisme, hukuman mati menjadi tujuan dari teroris itu sendiri karena dianggap melakukan jihad.
Sedangkan untuk kasus korupsi, kata Gufron, negara-negara di dunia dengan angka korupsi yang rendah, sudah menghapus hukuman mati dari sistem hukum mereka sejak bahkan ratusan tahun yang lalu.
“Di samping itu, pengaturan hukuman mati di dalam RKUHP dimana pidana mati diancamkan secara alternatif dan terpidana harus menjalani masa tunggu selama 10 tahun sebelum dapat dievaluasi oleh pemerintah juga menimbulkan permasalahan lain,” pungkasnya.
Editor : Kuswandi
Reporter : Muhammad Ridwan