Jumat, 29 Oktober 2021 | 01:57 WIB
Oleh : DAS
Jakarta, Beritasatu.com – Terdapat upaya pembungkaman agar para keluarga korban tidak menuntut pihak manapun atas peristiwa kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang. Hal itu diperkuat melalui sepucuk surat yang harus ditandatangani ahli waris.
Penilaian itu merupakan salah satu dari tujuh poin temuan Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang. Kebarakan yang merenggut 49 nyawa narapidana tersebut terjadi pada 8 Agustus 2021.
Sejumlah keluarga korban kebakaran Lapas Kelas I Tangerang, Banten, didampingi beberapa lembaga bantuan hukum mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ((Komnas HAM)) mengadukan penanganan peristiwa tragis di mana para narapidana tewas karena masih terkunci dalam sel.
“Kami melaporkan temuan dari pengakuan keluarga korban dan melaporkan temuan tersebut ke Komnas HAM,” kata Perwakilan Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang Ma’ruf Bajammal, Kamis (28/10/2021).
The complaint began when the Tangerang Class I Prison Fire Victims Advocacy Team consisting of the Community LBH (LBH), Jakarta LBH, Imparsial, and Tangerang NU LPBH opened a complaint post.
During that time, he said, his party received nine complaints and seven of them gave the power to ask for legal assistance.
Dari pengakuan para keluarga korban, Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang menemukan setidaknya tujuh poin penting dari tragedi tersebut.
Pertama, adanya ketidakjelasan proses identifikasi korban tewas. Identifikasi yang dilakukan dinilainya tidak transparan. Hingga korban dimakamkan tidak ada informasi jelas yang diterima oleh ahli waris. “Jadi apa dasar korban tersebut bisa teridentifikasi,” kata Ma’ruf Bajammal.
Kedua, adanya ketidakterbukaan penyerahan jenazah korban tewas. Pada saat penyerahan jenazah, pihak keluarga merasa disugesti oleh petugas agar tidak melihat.
Keluarga korban yang mengadu, bersikukuh ingin melihat untuk terakhir kalinya, namun tetap saja tidak bisa.
Ketiga, tim menemukan ketidaklayakan peti jenazah korban, yakni hanya terbuat dari triplek. Bahkan, ada keluarga korban yang terpaksa membeli sendiri peti jenazah karena menilai peti yang disediakan pemerintah tidak layak untuk pemakaman anggota keluarganya.
Keempat, adanya indikasi intimidasi saat ahli waris menandatangani surat administrasi pengambilan jenazah korban. Saat akan menandatangani surat tersebut, keluarga korban diminta secepatnya menyelesaikan.
“Atas dasar itu kami melihat adanya upaya intimidasi saat proses penandatanganan penyerahan jenazah,” ujar Ma’ruf Bajammal.
Kelima, terdapat upaya pembungkaman agar para keluarga korban tidak menuntut pihak manapun atas peristiwa kebakaran Lapas Kelas I Tangerang.
Keenam, tim menemukan tidak adanya pendampingan psikologis berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), pascapenyerahan jenazah.
Akibatnya, ada keluarga korban yang hingga saat ini ketika mendengar kata “bakar” atau melihat sesuatu yang dibakar, merasa trauma atau tidak kuat.
Ketujuh, pemberian uang duka senilai Rp 30 juta dinilainya sama sekali tidak cukup.
“Uang tersebut hanya habis untuk penghiburan atau kegiatan berdoa keluarga korban saja. Bahkan, ada yang terpaksa menomboki untuk kegiatan pascapemakaman,” ujar Ma’ruf Bajammal.