Pelatihan Pembuatan Narasi Alternatif di Grogol

Membangun Literasi Digital, demi membangun kerukunan

“Dialog Toleransi Lintas Generasi” adalah tema kegiatan kali ini dengan fokus pembahasan sektoral untuk Menggali Narasi Toleransi Di Kecamatan Grogol. Acara di mulai pada pukul 09.00 WIB, dipandu oleh Sahabati Rinda Rachmawati sebagai Fasilitator, acara dibuka dengan sambutan dari Annisa Yudha selaku perwakilan dari Imparsial,  beliau berpesan kepada peserta untuk mencermati materi yang akan diberikan karena melihat tipologi masyarakat Kecamatan Grogol yang begitu beragam sehingga riskan terjadi gesekan. Oleh karena itu dengan diadakannya dialog toleransi ini diharapkan mampu untuk memberi bekal dalam bermasyarakat, terlebih lagi dalam menanggapi issue yang beredar di berbagai platform digital yang perlu dicermati kebenarannya sehingga dapat meminimalisir terjadinya gesekan di masyarakat.

Sambutan lainnya juga dari Ketua PKUB Kecamatan Grogol yaitu Drs. H. Rahmadi Raharjo. Beliau berpesan sebagai manusia yang sadar hidup bernegara di Indonesia yang begitu beragam harus menghormati hak hidup, sebagai hak dasar pemberian dari sang Maha Kuasa yang tidak boleh dikhususkan untuk segelintir golongan saja melainkan mutlak dalam berbagai macam latar belakang hak untuk hidup harus ditegakkan. Kemudian hak dalam meyakini keagamaan orang lain menurut beliau juga bahwa hak meyakini keagamaan bagi orang lain adalah hak yang tidak boleh untuk diganggu, mengganggu keyakinan orang lain sama saja kita meletakkan kesempatan yang sama bahwa keyakinan kita juga akan di ganggu. Oleh karenanya menghina, mengganggu, melecehkan agama lain adalah awal mula dari kita menghina, mengganggu dan melecehkan agama kita sendiri. Menghargai, dan menjaga harmonisasi di masyarakat adalah salah suatu tindakan yang menjunjung tinggi kehormatan sesama manusia.

Kemudian acara masuk ke sesi materi. Materi pertama dibuka oleh Ninin Karlina selaku pemateri, beliau memantik para peserta dengan pertanyaan “apa yang dimaksud dengan Literasi Digital?”. Pemantik tersebut memancing jawaban dari para peserta, baik yang pemuda atau yang pernah muda. Putri selaku peserta yang mewakili kelompok kepemudaan dari Desa Gendangan menyampaikan bahwa Literasi Digital adalah upaya untuk memperbanyak referensi terhadap suatu informasi sehingga dapat diketahui kebenaran atau fakta dari informasi tersebut. Tidak mau kalah dari kalangan bapak-bapak, ada Agus yang juga ikut berpendapat bahwa literasi digital adalah jalan dimana kita mampu membedakan mana berita yang hoax dan mana berita yang benar adanya, sehingga kita tidak asal sebar dan asal percaya pada sebuah berita. Pendapat lainnya secara riuh banyak juga  misal pengertiannya adalah bentuk referensi dari media digital, kemudian memahami informasi berbasis digital, ada lagi yang berpendapat yaitu pengetahuan, kecakapan dalam penggunaan media digital. Masing-masing memberikan pendapatnya mengenai apa itu Literasi Digital dengan baik.

Memasuki sesi materi 2, diberikan sebuah studi kasus dilapangan mengenai “kasus pencabutan label rumah ibadah (Gereja) Pada tenda bantuan gempa Cianjur”. Ditambah dengan kasus bom bunuh diri di Bandung yang mana pelakunya indekos di daerah Sukoharjo, di Baki dan mobilitasnya di sekitar Grogol. Para peserta sepakat bahwa bahwa tindakan pencabutan label gereja pada tenda bantuan dan aksi teror bom bunuh diri tidak bisa didiamkan. Ada efek panjang seperti menyinggung kelompok agama lain, sedangkan yang satunya menyebabkan ketakutan. Bahkan kadang kita merasa terlalu banyak kasus bom bunuh diri dan intoleran yang kita dengar akhirnya menyebabkan kasus seperti ini biasa saja. Padahal seharusnya bagaimana kasus seperti ini tidak terulang kembali, inilah jika pesan intoleran dibiarkan saja. Pesan intoleran itu adalah bentuk pesan atau kisah yang mengarah pada ajakan untuk tidak menghormati dan menghargai orang lain, bahkan merampas hak-hak dasar yang dijamin oleh pancasila dan UUD 1945.

Sesi selanjutnya adalah sesi ice breaking, pemateri belum mendengar suara dari anak mudanya. 

“okey saya minta sebelah sini satu dan sebelah sini juga satu, suara kawula muda untuk membacakan anekdot masing-masing satu, perempuan boleh laki-laki boleh, tidak saya tanya-tanyai hanya saya suruh baca” katanya dengan ramah. 

Setelah menunggu respon beberapa saat hanya muncul keheningan, “oke kalau gitu saya tunjuk saja nggih?!” tegasnya. “ Saya mau mbaknya yang pakai kerudung hitam untuk maju membaca ini karena tulisannya kecil-kecil.” Ajaknya lalu ditambahkan “Ndak papa gak usah malu” dengan senyum ramah.

Akhirnya majulah peserta bernama Fadila mewakili suara pemuda dari desa Gedangan. Untuk membacakan anekdot,

“Tahukah kamu asal usul Zebra berwarna belang?” kata Fadila sambil membaca anekdot di layar HP

“Dulu zebra itu berwarna putih, banyak sekali zebra yang di terkam singa, akhirnya ayah Zebra pun memiliki ide, ayah Zebra pun mengecat anaknya dengan warna hitam untuk berkamuflase, nah jadi Zebra itu adalah kuda putih yang di cat hitam” kata Fadhila dengan nada bercanda disambut gelak tawa dari para peserta.. 

“Oke terima kasih Fadhila, tepuk tangan untuk fadhila” kata pemateri “Oke selanjutnya siapa? mbaknya yang kaca mata boleh?!” ajaknya, kemudian majulah mbak Susan, dan membaca anekdot ke 2,

“ Tahukah kamu mengapa Zebra berwarna belang? tanya Susan dengan pertanyaan yang sama dengan Fadila.

 “Sebenarnya Zebra itu berwarna hitam, hanya saja saat gelap hari Ibu zebra sulit mencarinya dalam kegelapan malam, akhirnya ayah Zebra mempunyai ide untuk mengecat tubuh Zebra dengan warna putih sehingga Ibu Zebra Tidak kesulitan dalam mencarinya jadi Zebra adalah kuda hitam yang di beri warna putih, kata Susan sembari membaca anekdot. “ jelasnya dengan jawaban yang berbeda dari jawaban sebelumnya.

“ Oke terimakasih Susan, tepuk tangan untuk Susan” kata pemateri dengan disertai tertawa dari peserta yang tidak menyangka jawabannya berbeda padahal pertanyaannya sama.

Kemudian pada pemateri melanjutkan dengan permainan dengan menyanyikan Balon ku ada lima namun huruf konsonan diubah dengan huruf I. dengan penuh gelak tawa peserta bernyanyi bersama-sama.

Sesi terakhir adalah sharing time, dimana  mempersilahkan para peserta untuk berbagi apa yang telah didapat setelah mengikuti pelatihan. Dimulai dari Mbak Veve dari madegondo yang bercerita bahwa dia mendapat ilmu baru dan rasa empati dan simpati tentang kerukunan, intinya adalah kepedulian jika tidak memiliki empati, simpati, dan kepedulian maka narasi intoleran bisa saja menguasai pemberitaan di publik, maka untuk mengurangi hal tersebut adalah tanggung jawab kita. Kemudian dari kelompok bapak-bapak berpendapat bahwa beliau disadarkan kita tidak boleh mengkotak-kotakkan, kalau kita mengkotak-kotakkan yang seharusnya kita itu adalah kotak besar dalam naungan Pancasila malah menjadi kotak –kotak kecil yang mudah digoyah. Kemudian dari kelompok pemuda dari Mas Ilham berbagi tentang lebih mengenal dan memahami terkait literasi digital demi kerukunan.

en_GBEnglish (UK)