50 Tindakan Kekerasan Aparat Terjadi Sepanjang Berlakunya PPKM Darurat

JawaPos.com–Penerapan terhadap pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat di Pulau Jawa dan Bali pada 3–20 Juli disesalkan. Lantaran dijalankan secara represif oleh aparat di sejumlah daerah. Hal itu dipandang telah menimbulkan berbagai persoalan baru di masyarakat.

Direktur Imparsial Ghufron Mabruri menyampaikan, penerapan aturan PPKM oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mencegah penyebaran Covid-19 harus tetap dilakukan sesuai koridor hukum. Hal itu juga harus mengacu pada prinsip kewajiban negara untuk menghormati, menjamin dan melindungi hak asasi manusia (HAM).

”Peristiwa penggunaan kekerasan atau tindakan koersif yang berlebih dalam penegakan PPKM di sejumlah daerah menjadi catatan serius dan harus dihindari aparat di lapangan,” kata Ghufron dalam keterangannya, Senin (19/7).

Ghufron menyebut, berdasar hasil pemantauan, telah terjadi 50 kasus penggunaan kekerasan atau tindakan koersif selama masa penegakan PPKM darurat. Bentuk tindakannya beragam. Seperti peristiwa pemukulan oleh aparat satuan polisi pamong praja (Satpol PP) terhadap warga di Kabupaten Gowa (14/7), aksi penyemprotan warung menggunakan mobil pemadam kebakaran di Semarang, penyitaan barang-barang milik pedagang, dan lain-lain.

”Berbagai peristiwa tersebut seharusnya tidak terjadi jika pemerintah dan pemerintah daerah mampu memberikan solusi atas kondisi yang dihadapi masyarakat,” ucap Ghufron.

Dia menuturkan, penggunaan kekerasan atau tindakan koersif oleh aparat di lapangan dapat memicu kemarahan masyarakat. Sehingga berpotensi mendorong terjadinya pembangkangan sipil (civil disobedient) terhadap kebijakan pemerintah.

”Jika hal ini terjadi, semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat akan dirugikan akibat berlarut-larutnya pandemi Covid-19. Dampaknya terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah akan menanggung akibat berlarutnya situasi darurat Covid ini, di sisi lain kehidupan masyarakat juga semakin sulit khususnya dalam memenuhi kebutuhan dasar,” ujar Ghufron.

Menurut dia, penerapan aturan PPKM di masyarakat, akan berjalan efektif jika aparat pemerintah di lapangan seperti satpol PP, kepolisian, dan TNI, lebih mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis kepada masyarakat.

”Tentu saja kami sangat menyadari bahwa meningkatnya data Covid-19 harus menjadi perhatian serius semua pihak, apalagi di tengah tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan yang terbatas,” papar Ghufron.

Meski demikian, lanjut Ghufron, kondisi tersebut mestinya tidak digunakan sebagai dasar untuk mendorong pendekatan koersif dalam penegakan aturan PPKM kepada masyarakat.  Dalam konteks itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama aparat di lapangan harus memahami bahwa di tengah musibah pandemi Covid-19 rakyat berada dalam posisi yang sulit untuk bertahan hidup.

”Terlebih di tengah absennya negara untuk melindungi hak-hak ekonomi masyarakat khususnya masyarakat miskin yang terdampak pandemi dan kebijakan PPKM,” kata Ghufron.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis dalam mendorong masyarakat untuk taat terhadap kebijakan PPKM yang sedang dilaksanakan. Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus memberikan kompensasi kepada masyarakat terdampak sebagaimana disebutkan pasal 55 ayat 1 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

”Adalah ironis apabila pemerintah memaksa masyarakat untuk taat terhadap kebijakan PPKM tanpa adanya bantuan yang memadai bagi kebutuhan pokok masyarakat tersebut. Pada satu sisi masyarakat diminta untuk menghentikan seluruh aktivitas ekonomi dan berdiam diri di rumah masing-masing tetapi negara justru melepaskan tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pokoknya,” ucap Ghufron.

en_GBEnglish (UK)