Desak Jokowi Segera Reformasi Polri, Koalisi Sipil Berikan 6 Tuntutan

Kamis, 21/10/2021 09:46 WIB

Jakarta, law-justice.co – Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR RI mempercepat reformasi Polri. Desakan itu menyusul maraknya kritik masyarakat melalui tagar #PercumaLaporPolisi dalam beberapa hari lalu.

Koalisi tersebut terdiri dari anggota KontraS, Imparsial, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, LBH Jakarta, Setara Institute, ICJR, HRWG, Elsam, PBHI, LBH Masyarakat, Pil-Net, ICW dan LBH Pers.

Koalisi ini mengeluarkan enam poin desakan reformasi yang dilatarbelakangi temuan sejumlah kasus, yang kemudian penyelesaiannya dinilai tidak akuntabel dan transparan, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Mereka kemudian mengingatkan kejadian baru-baru ini terkait profesionalisme Polri. Pertama, soal kasus kekerasan seksual tiga orang anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang diberitakan oleh Project Multatuli.

Kedua, penetapan tersangka kepada seorang pedagang yang mengalami penganiayaan dari beberapa orang terduga preman pasar di Deli Serdang, Sumatera Utara. Ketiga, aksi kekerasan terhadap sejumlah mahasiswa dalam penanganan aksi demonstrasi di sekitar kantor Bupati Kabupaten Tangerang, Banten, pada 13 Oktober lalu.

Berikut isi tuntutan reformasi yang disampaikan oleh Koalisi Reformasi Sektor Keamanan:

Pertama, Presiden dan DPR RI diminta segera melakukan percepatan agenda reformasi kepolisian dengan melakukan revisi berbagai undang-undang yang berhubungan dengan aspek baik kultural, struktural, hingga instrumental. Revisi ini dapat dimulai dari revisi UU Kepolisian, KUHAP, dan berbagai aturan yang bersinggungan lainnya.

Kedua, Presiden dan DPR RI dituntut segera merevisi undang-undang yang berhubungan dengan kewenangan besar dari Kepolisian dengan tujuan memberikan pengawasan dan kontrol yang efektif terhadap kewenangan besar Kepolisian tersebut, dengan setidaknya segera mendorong pembahasan RUU Hukum Acara Pidana (RKUHAP), RUU Kejaksaan, dan undang-undang lain yang berhubungan.

Ketiga, Presiden dan DPR diminta memerintahkan Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan mengambil langkah perbaikan bagi pelaksanaan tugas kepolisian yang mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik dan penghormatan hak asasi manusia.

Koalisi mendesak agar petugas yang melakukan tindak kekerasan harus segera ditindak melalui proses peradilan pidana yang transparan, sehingga bisa menjadi bagian komitmen dari penegakan hukum di tubuh internal kepolisian.

Keempat, Kapolri didesak melakukan evaluasi terhadap aturan internal. Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian sebagai aturan pengamanan demonstrasi perlu direvisi dengan memasukkan aturan sanksi yang tegas dan kewajiban untuk memproses pidana bagi anggota yang terbukti melakukan pelanggaran protap dan pidana. Selain itu, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM dalam Tugas Kepolisian perlu direvisi dengan menyertakan lampiran SOP terkait tugas-tugas pemolisian yang demokratis.

Kelima, Kapolri diminta memperbaiki proses pendidikan untuk mengakhiri budaya kekerasan yang selama ini dinilai masih kuat di kepolisian. Menurut Koalisi, Anggota kepolisian sudah seharusnya meninggalkan cara pandang lama yang melihat dirinya sebagai “penghukum”. Anggota Polri diharapkan menyadari bahwa tugasnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Karenanya, anggota kepolisian tidak dibenarkan memberikan penghukuman apalagi dengan cara-cara kekerasan kepada masyarakat.

Keenam, Presiden diminta segera membentuk sebuah Tim Independen Percepatan Reformasi di kepolisian yang bekerja secara langsung di bawah Presiden, guna memastikan perubahan terjadi di semua lini kepolisian.

Di sisi lain, saat merespons temuan banyaknya pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian di lapangan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa oknum polisi yang melanggar aturan harus segera diproses dengan tegas.

Listyo juga menyayangkan oknum polisi yang tidak taat aturan bakal merusak citra dan reputasi polisi yang seharusnya bekerja membantu dan melayani masyarakat, misalnya membantu penanganan pandemi, penyaluran bantuan sosial, program vaksinasi, hingga pengawasan protokol kesehatan.

“Perlu tindakan tegas, jadi tolong jangan pakai lama. Segera copot, PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) dan proses pidana. Segera lakukan dan ini menjadi contoh bagi yang lainnya. Saya minta tidak ada Kasatwil (Kepala Satuan Wilayah) yang ragu. Bila ragu, saya ambil alih,” kata Listyo, Selasa (19/10).

Buntut dari temuan itu, Listyo lantas menerbitkan surat telegram yang ditujukan untuk seluruh Kapolda di Indonesia. Telegram tersebut telah dibenarkan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono. Telegram bernomor ST/2162/X/HUK2.9/2021 dan ditandatangani oleh Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo atas nama Kapolri.

“Memberikan punishment atau sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin atau kode etik maupun pidana khususnya yang berkaitan dengan tindakan kekerasan berlebihan serta terhadap atasan langsung yang tidak melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai tanggung jawabnya,” demikian salah satu bunyi telegram tersebut.

(Annisa\Editor)

id_IDBahasa Indonesia