Imparsial

Beribadah Kalah dengan Aksi Demo, Dimana Kebebasan Beragama?

Oleh : Agung Wibawanto

RedaksiIndonesia-Tidak perlu ditutupi, bahwa di daerah-daerah masih banyak terjadi praktik intoleransi. Intoleransi yang dimaksud adalah perlakuan diskriminasi terhadap agama tertentu. Bertameng kepada penolakan warga lalu menjadi kesepakatan hasil rapat FKUB (forum kerukunan umat beragama) dan diputuskan melalui Peraturan Bupati dst.

Hal itu terkait pendirian atau pembangunan tempat ibadah (non masjid). Berapa kali pembangunan gereja dipersulit hanya karena ditolak warga? Bahkan, untuk menyelenggarakan ibadah pun mendapat penghalang-halangan dengan alasan bukan di tempat ibadah, sementara pendirian gereja ditolak. Ini hak dasar manusia, tapi Komnas HAM pun hanya bisa diam.

Konstitusi Indonesia, yakni UUD ’45 jelas menegaskan akan jaminan kebebasan beragama, dalam Pasal 28E ayat (1). Kebebasan beragama yang dimaksud adalah: bebas memeluk agama yang diinginkan, bebas beribadah tanpa ada gangguan, dan bebas mendirikan tempat ibadah. Dan kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar (hidup) manusia (hak asasi manusia).

Lantas bagaimana ceritanya konstitusi negara (UUD 45) dan kesepakatan internasional yang termaktub dalam declaration of human rights, dapat dikalahkan oleh segelintir orang yang menolak, atau hasil kesepakatan FKUB dan Perbup? Hal ini akan menjadi preseden buruk di mana hak dasar private dan komunitas beragama dikalahkan oleh penolakan orang-orang.

Mengapa orang berekspresi menyampaikan aspirasi melalui demo lebih dimuliakan ketimbang orang ibadah? Ya, demo aksi massa sama-sama hak masyarakat yang dijamin konstitusi. Meski kadang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan merusak fasilitas publik, namun aksi demo justru dijaga diakonodir dengan baik. Hingga waktu usai mereka bubar dan beberapa hari bisa dilanjut lagi.

Sementara ibadah yang tidak mengganggu publik, alih-alih merusak, tapi justru ditolak bahkan dilarang? Nah, bagaimana misalnya ada segelintir orang yang menolak demo, apakah peserta demo mau terima? Sama dengan jemaah yang ingin ibadah tapi dilarang bikin gereja, mau ibadah di rumah atau ruko pun diusir-usir. Pastilah jemaah kecewa dan marah, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak.

Mereka juga tidak melakukan kerusakan atau ngamuk. Tapi coba suporter Aremania yang kemarin demo kemudian dilarang, ngamuk gak? Pasti. Coba peserta demo Alumni 212 dilarang ibadah di jalanan karena itu bukan tempat ibadah, ngamuk tidak? Pasti ngamuk. Tapi mengapa orang-orang yang menolak pendirian gereja, termasuk FPUB maupun kepala daerahnya tidak merasakan itu? Mereka kehilangan empati. Itu jawabnya.

Tidak kurang Presiden Joko Widodo mengaku sedih melihat masih maraknya masalah kebebasan beragama di Indonesia. Seperti dilansir dari Detik, dalam Rakornas Kepala Daerah dan FKPD se-Indonesia, Selasa (17/01), Jokowi memperingatkan para kepala daerah tentang pentingnya kebebasan beragama.

“Ada rapat, FKUB misalnya ini misalnya, sepakat tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah. Hati-hati lho konstitusi kita menjamin itu. Ada peraturan wali kota atau ada instruksi bupati, hati-hati lho kita semua harus tahu masalah ini,” jelas Jokowi.

Jokowi menambahkan, “Konstitusi kita itu memberikan kebebasan beragama dan beribadah meskipun hanya 1, 2, 3 kota atau kabupaten, tapi hati-hati mengenai ini. Karena saya lihat masih terjadi. Kadang-kadang saya berpikir, sesusah itukah orang yang akan beribadah. Sedih itu kalau kita mendengar,” jelasnya.

Jokowi menyampaikan hal ini karena masih melihat maraknya masalah kebebasan beragama. Akhir Desember lalu LSM pengawas pelanggaran HAM, Imparsial, menemukan adanya 26 kasus intoleransi yang tercatat di media dan terjadi di Indonesia pada 2022. Kasus tertinggi adalah terkait tempat ibadah.

Jawa Barat disebutkan menjadi daerah dengan jumlah tertinggi kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Seperti yang dikatakan Jokowi, meski hanya di 1, 2, 3 daerah (tidak di seluruh daerah), tapi ini bisa berbahaya karena melanggar konstitusi (pidana berat). Untuk itu sebagai pemerintah pusat, selain mengingatkan kepala daerah, Presiden Jokowi mendorong kementerian terkait agar melakukan koreksi, memperbaiki SKB (surat keputusan bersama) yang ada selama ini agar lebih menjamin kebebasan beragama.

Sumber : Status Facebook Agung Wibawanto

id_IDBahasa Indonesia