Di Bawah Bayang-bayang Diskriminasi
Janji vs Realita Perlindungan KBB di Indonesia
Jakarta – Imparsial meluncurkan Laporan Tahunan mengenai situasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia periode Desember 2024–Juli 2025. Acara berlangsung pada Selasa, 19 Agustus 2025 di Sadjoe Cafe & Resto, Tebet, Jakarta Selatan, dengan tema “Di Bawah Bayang-Bayang Diskriminasi: Janji vs Realita Perlindungan KBB di Indonesia.”
Kegiatan ini bertujuan mempublikasikan hasil monitoring serta analisis Imparsial terkait pelanggaran hak atas KBB. Laporan dibuka pukul 14.00 WIB oleh moderator Hayu Minangkani Putri, dilanjutkan dengan pemaparan laporan utama oleh peneliti Imparsial, Wira Dika Oriza Piliang.
Temuan Imparsial mencatat 13 kasus pelanggaran KBB sepanjang periode tersebut. Jawa Barat menjadi daerah dengan jumlah kasus terbanyak, yakni sembilan kasus, sehingga kembali menegaskan provinsi ini sebagai episentrum persoalan intoleransi. Empat kasus lainnya terjadi di Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat.
Bentuk pelanggaran paling dominan adalah penutupan atau pembatasan rumah ibadah sebanyak sembilan kasus. Tujuh kasus berkaitan dengan pelarangan aktivitas ibadah, sementara tiga kasus menyangkut pelanggaran rasa aman serta hak menyiarkan paham keagamaan. Menurut Imparsial, meski jumlahnya lebih kecil, dampak pelanggaran atas rasa aman dan hak menyampaikan keyakinan berimbas serius pada keselamatan korban serta berpotensi memicu konflik sosial.
Pelanggaran dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara. Pemerintah daerah dan lembaga formal tercatat dalam tujuh kasus, sedangkan lima kasus lain melibatkan tokoh agama, warga, organisasi masyarakat, hingga perusahaan swasta. Contoh kasus antara lain penolakan pembangunan mushola di Summarecon Bekasi dan penganiayaan terhadap pelajar di Indragiri Hulu, Riau.
Kelompok minoritas agama menjadi korban utama akibat posisi sosial dan politik yang lemah. Anak-anak turut terdampak, baik sebagai korban penganiayaan maupun persekusi. Fakta tersebut memperlihatkan kegagalan negara melindungi kelompok paling rentan.
Dalam paparannya, Wira menegaskan negara seharusnya menjalankan tiga kewajiban utama dalam HAM: obligation to respect, obligation to protect, dan obligation to fulfill. Kenyataannya, negara justru kerap terlibat dalam pelanggaran dengan alasan politik favoritisme. “Keberagaman semestinya membangun integrasi bangsa, tetapi kenyataannya masih terdapat 13 kasus pelanggaran KBB akibat regulasi diskriminatif, kebijakan tumpang tindih, dan lemahnya penegakan hukum,” ujar Wira.
Narasumber kedua, Sayyidatul Insiyah dari SETARA Institute, menyoroti diskriminasi dari aspek hukum. Ia menggunakan kerangka teori Legal System Lawrence M. Friedman yang mencakup legal substance, legal structure, dan legal culture. Menurutnya, terdapat sedikitnya 71 produk hukum diskriminatif terhadap minoritas, terdiri dari 16 peraturan, 47 keputusan tata usaha negara, dan delapan instrumen hukum non-regulatif. Dampaknya menyentuh hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sisy juga menyampaikan adanya kebijakan progresif mengenai KBB. Ia mengutip, “Saya rasa yang paling penting disebutkan adalah ketika berbicara terkait kepercayaan ini sudah banyak selangkah dua langkah lebih maju. Selain itu, di tahun 2017 melalui putusan MK nomor sekian, putusan tersebut kemudian mengafirmasi kepercayaan bagi mereka untuk mencantumkan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kolom agama.”
Narasumber ketiga, Usama Ahmad Rijal dari Sobat KBB, menekankan tren intoleransi kerap meningkat saat momentum politik. Ia mencontohkan pembubaran Jalsah Tsalatsah di Kuningan, Jawa Barat, yang bertepatan dengan penghitungan suara pilkada. Menurutnya, fenomena ini menunjukkan isu KBB sering dipolitisasi dan negara lebih tunduk pada kepentingan politik ketimbang konstitusi.
Usama menyoroti kasus penutupan rumah doa di Caringin, Garut, yang melibatkan pengusiran jemaat dan tekanan untuk menandatangani kesepakatan hengkang dari lingkungan. Ia menilai negara justru melempar tanggung jawab ke pemerintah daerah, yang kerap mengeluarkan aturan diskriminatif seperti SKB terkait pembatasan kelompok Ahmadiyah.
Sesi tanya jawab memperdalam diskusi. Penanya dari Imparsial menyoroti diskriminasi terhadap Ahmadiyah. Rijal “Kelompok-kelompok yang mendiskriminasi Ahmadiyah adalah orang-orang yang sebenarnya jauh dan tidak bersentuhan langsung dengan basis Ahmadiyah sendiri. Contohnya di Cilawu, Garut, Ahmadiyah sudah ada sejak tahun 80-an, bahkan RT/RW yang bukan Ahmadiyah mendukung pembangunan masjid Ahmadiyah. Namun, justru orang-orang yang posisinya jauh dari Ahmadiyah yang mempermasalahkan, karena tidak ada interaksi dan pengetahuan terhadap kelompok Ahmadiyah itu sendiri.”
Pertanyaan lain menyinggung tindak lanjut advokasi. Sisy menilai kondisi saat ini stagnan menuju regresi, meski ada kasus yang berhasil diadvokasi hingga pemerintah. Sementara ada pertanyaan juga kepada Wira yaitu “apakah Imparsial hanya memonitoring atau ada langkah advokasi baik di ranah Nasional kepada pemerintah, atau bahkan sampai ke ranah Internasional?”, Wira menjelaskan “Data yang telah dikumpulkan Imparsial sebagian besar hanya sebagai baseline saja. Namun, baseline yang sudah terkumpul ini bisa menjadi dasar kami untuk melakukan advokasi baik di ranah nasional maupun sampai ke internasional. Sikap yang diambil Imparsial sebagai pressure group (kelompok penekan) berarti ketika ada kasus terjadi, kami akan langsung merilisnya agar hal ini menjadi peringatan bagi pemangku kepentingan yang memiliki tanggung jawab mutlak atas kasus yang terjadi.”.
Imparsial merekomendasikan pemerintah segera mencabut atau merevisi peraturan yang diskriminatif, memperkuat penegakan hukum, serta menjamin akses keadilan bagi korban. Organisasi ini juga menekankan pentingnya mengarusutamakan HAM dan KBB dalam kebijakan daerah, termasuk menghadirkan perspektif gender serta perlindungan khusus bagi perempuan dan anak-anak yang terdampak konflik berbasis agama.
Reporter: M. Syifaul Musyaffa
