Pernyataan Kababinkum Keliru, Prajurit TNI Tidak Boleh Menjadi Penasihat Hukumdalam Lingkup Peradilan Umum

Siaran Pers Imparsial
No. 09/Siaran-pers/IMP/ VIII/2023


Menyikapi Keterangan Kababinkum TNI Terkait Kasus Mayor Dedi Hasibuan di Polrestabes
Medan
“Pernyataan Kababinkum Keliru, Prajurit TNI Tidak Boleh Menjadi Penasihat Hukum
dalam Lingkup Peradilan Umum”

Pada tanggal Kamis 10 Agustus 2023 Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI
Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro beserta jajaran telah menyelenggarakan konferensi
pers terkait kasus Mayor Dedi Hasibuan yang mengeruduk Polrestabes Medan Sumatera Utara.
Dalam konferensi pers tersebut Kresno Buntoro menyampaikan bahwa TNI memiliki
kewenangan untuk memberikan bantuan hukum kepada keluarga prajurit.

Kami memandang, pernyataan Kababinkum TNI yang menyatakan anggota TNI dapat memberi
bantuan hukum bagi prajurit TNI dan keluarga menunjukkan bahwa Kababinkum tidak
memahami secara komprehensif aturan hukum terkait peran TNI dalam proses penegakan
hukum. Hal itu dapat dilihat dari adanya pemahaman yang salah dan keliru terhadap beberapa
aturan terkait bantuan hukum.

Memang benar bahwa setiap orang tanpa terkecuali prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI
berhak mendapatkan bantuan hukum. Hak atas bantuan hukum merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
menjamin persamaan kedudukan di muka hukum. Selanjutnya diatur pula di dalam Pasal 16 dan
Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Hak Sipil dan Politik) yang
pada intinya menjamin bahwa semua orang berhak atas perlindungan dari hukum.

Selain merupakan hak asasi manusia bantuan hukum juga merupakan amanat Pasal 27 UUD NRI 1945 Untuk melaksanakan amanat konstitusi tersebut, pengaturan tentang bantuan hukum bagi
masyarakat secara umum diatur Kembali dalam Pasal 69 KUHAP, Pasal 56 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 UU 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang pada
intinya setiap orang tanpa terkecuali berhak mendapatkan bantuan hukum.

Namun demikian, secara khusus bagi lingkungan TNI, jaminan bantuan hukum kembali
ditegaskan dalam pasal Pasal 105, 215 dan 216 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
yang pada intinya adanya jaminan bantuan hukum bagi tersangka yang diadili di peradilan militer
maupun koneksitas. Jaminan tersebut juga kembali ditegaskan UU TNI dalam Pasal 50 ayat (2)
huruf f yang menyatakan “prajurit dan prajurit siswa mendapatkan rawatan dan layanan
kedinasan meliputi.. (f). bantuan hukum”. Selanjutnya Pasal 50 ayat 3 “keluarga prajurit
memperoleh layanan kedinasan meliputi.. (c). bantuan hukum”.

Kami memandang, keseluruhan pasal yang disebutkan di atas harus dipahami sebagai adanya
jaminan negara kepada siapapun termasuk prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI untuk
memperoleh bantuan hukum. Pasal-pasal tersebut jika dicermati tidak ada yang menyebutkan
adanya pemberian kewenangan kepada prajurit TNI untuk dapat memberikan pendampingan/
bantuan hukum dalam lingkup (yurusdiksi) peradilan selain peradilan militer dan peradilan
koneksitas. Hal ini harus digaris bawahi oleh Kababinkum mengingat keterangan yang

disampaikan oleh Kababinkum terkait dengan kasus Mayor Dedi Hasibuan yang mengaku sebagai
pendamping hukum keluarganya di Polrestabes Medan, Sumatera Utara

Hak untuk menerima bantuan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) UU TNI
tidak boleh ditafsirkan bahwa bantuan hukum tersebut harus atau bisa berasal dari institusi TNI.
Terlebih bila lingkup (yurisdiksi) peradilan yang memproses kasus hukum tersebut bukan
peradilan militer atau peradilan koneksitas. Dalam kasus keluarga Mayor Dedi Hasibuan yang
tunduk pada peradilan umum, hak untuk memperoleh bantuan hukum tersebut harus tunduk
pada UU Advokat No. 18 tahun 2003.

Selain itu, dasar hukum yang disebutkan oleh Kababinkum terkait kewenangan pemberian
bantuan hukum oleh TNI yang didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2
Tahun 1971 juga salah dan keliru. Karena SEMA No. 2 Tahun 1971 sebenarnya melarang prajurit
TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya dan
memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1952 yang
sejatinya telah berulang kali dicabut. PP No. 12 tahun 1952 telah dicabut melalui PP No. 6 tahun
74, yang juga telah dicabut melaui PP No. 53 tahun 2010, yang juga telah dicabut melalui PP No.
94 tahun 2021. Dimana dalam PP No. 94 tahun 2021 tidak ada lagi pemberian izin sebagaimana
dimaksud dalam SEMA No. 2 tahun 1971. Atas dasar itu, sesungguhnya argumentasi Kababinkum
yang bersandar pada pada SEMA No. 2 tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya.

Lebih dari itu, aturan hukum tentang pemberian bantuan hukum, yang salah satunya diatur
melalui SEMA No. 2 tahun 1971 sudah disempurnakan melalui berbagai aturan perundangundangan salah satunya adalah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan
pemberi bantuan hukum/ pendamping hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai
pegawai negeri atau pejabat negara. Sementara dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dalam Pasal 92 ayat (3), “semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat”. Oleh
karena itu merujuk pada UU Advokat sebenarnya prajurit TNI aktif tidak dapat menjadi
pendamping hukum atau advokat.

Kerancuan hukum tersebut di atas diperparah oleh keengganan pemerintah yang belum juga
merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menciptakan silang sengkarut
penegakan hukum di Indonesia. Atas dasar hal tersebut di atas , Imparsial mendesak kepada:

  1. Presiden memerintahkan Panglima TNI untuk mengevaluasi Kababinkum TNI yang telah
    salah dan keliru menafsirkan aturan perundang-undangan sehingga menimbulkan
    polemik hukum dan dikhawatirkan membenarkan perilaku Prajurit TNI untuk menjadi
    penasihat hukum di peradilan umum.
  2. Panglima TNI melarang anggota TNI untuk bertindak sebagai advokat di peradilan umum
    dan jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan peran TNI harus ditindak sesuai aturan
    hukum yang berlaku.
  3. Presiden Joko Widodo, segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer,
    yang telah menyebabkan disharmoni dan kontradisksi norma dan penegakan hukum di
    Indonesia, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Nawacita Presiden sejak tahun 2014.

Jakarta, 11 Agustus 2023
Gufron Mabruri


Direktur


Narahubung:

  1. Gufron Mabruri: +62 815-7543-4186

link SiaranPers : file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Siaran%20pers._Kababinkumdocx.pdf

id_IDBahasa Indonesia