Siaran Pers Imparsial
No. 005/SP-IMP/VII/2023
“Selesaikan Kasus Korupsi di BASARNAS Melalui Peradilan Umum (Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi”
Pada Selasa, 25 Juli 2023, KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dugaan
praktik korupsi tender salah satu proyek di Basarnas. KPK kemudian menetapkan 5 orang
sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut dimana dua diantaranya
berlatar belakang militer aktif yaitu; Kepala Basarnas RI, Marsdya Henri Alfiandi dan
Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Namun demikian, KPK justru meminta maaf atas penetapan tersangka ke dua prajurit TNI
tersebut dan menyerahkan proses hukum terhadap keduanya kepada Puspom TNI dengan
alasan yurisdiksi hukum keduanya sebagai militer aktif berada di bawah peradilan militer.
Imparsial menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi
Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru
dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai
kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus (Korupsi), KPK seharusnya menggunakan UU
KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam
kejahatan korupsi tersebut. KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar
asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengalahkan UU yang umum).
Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta
maaf.
Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya
akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari
itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan
impunitas bagi keduanya.
Sebagaimana kita ketahui, sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31
tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit
militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi
mereka yang melakukan tindak pidana. Padahal dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri
mengatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran
hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran
hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Terkait penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap KaBasarnas RI dan Koorsmin
Kabasarnas ini tentunya hal tersebut sudah benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam
suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum
yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap. Akan menjadi aneh
jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara
ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap. Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak
bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh
penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan
institusi TNI dan kepentingan militer.
Skandal korupsi yang terjadi di tubuh Basarnas yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif ini
menunjukkan masih lemahnya akuntabilitas dan transparansi di lembaga-lembaga yang terkait
dengan militer. Kasus ini harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi proses pengadaan
barang atau jasa lainnya dalam institusi militer, baik secara internal yaitu di TNI maupun
lembaga eksternal lainnya, agar transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan
keruguian keuangan negara.
Atas dasar hal tersebut, di atas Imparsial mendesak:
- KPK untuk mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang
melibatkan Kabasarnas dan anak buahnya tersebut. Pengungkapan kasus ini harus
menjadi pintu masuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yg melibatkan
prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun external TNI. KPK harus
memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di
Basarnas ini. KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak
boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan
sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal
pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas.
- Pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan
alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum. Apalagi agenda revisi
UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden
Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya
- Pemerintah wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi
sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur
dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi
pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut. Seperti dugaan korupsi
misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum
yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana
link : file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Siaran%20Pers%20Imparsial_Korupsi%20Kabasarnas.pdf
Jakarta, 28 Juli 2023
Gufron Mabruri
Direktur
Narahubung:
- Gufron Mabruri : +62 815-7543-4186
- Ardi Manto : +6281261944069
- Husein Ahmad : +62 812-5966-8926
- Al Araf: +62 813-8169-4847