Secercah Cahaya di Tengah Maraknya Intoleransi Dunia Pendidikan

Senin, 8 Februari 2021 | 20:05 WIB
Oleh : Irawati D Astuti / IDS

Jakarta, Beritasatu.com – Kasus intoleransi di dunia pendidikan terjadi sejak bertahun-tahun lalu di berbagai daerah. Menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan karena sejatinya, Indonesia adalah negara dengan asa Bhinneka Tunggal Ika yang berangkat dari keberagaman bangsanya. Kasus intoleransi menjadi alarm atas terancamnya keberagaman bangsa kita.

Meski begitu, masih ada berbagai upaya untuk merawat toleransi di dunia pendidikan. Upaya-upaya itu dilakukan di berbagai wilayah nusantara, terutama yang pernah didera konflik agama berkepanjangan.

Hal itu diungkapkan Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu. Menurutnya, sejak 2017, pihaknya sudah mendengar banyak keluhan mengenai intoleransi di lingkungan sekolah.

“Utamanya mengenai kewajiban memakai jilbab pada guru. Namun saat itu masih dalam taraf berbisik-bisik saja,” tutur Henny dalam diskusi bertajuk, “Sekolah Sebagai Penyemai Toleransi: Respon Terhadap SKB 3 Menteri” yang digelar Imparsial dan Yayasan Cahaya Guru secara daring, Senin (8/2/2021).

Tentu kisah seputar intoleransi di dunia pendidikan ini membuat Henny sedih. Sebagai sosok yang telah berkecimpung di dunia pendidikan selama puluhan tahun, ia pun mencari cara agar bisa mengatasi tindak intoleransi tersebut.

Lewat Yayasan Cahaya Guru, Henny lantas bergerak mengumpulkan data mengenai upaya-upaya merawat toleransi di dunia pendidikan. Menurutnya, kisah paling banyak berasal dari Provinsi Maluku yang pernah porak-poranda akibat kerusuhan berlatar belakang agama pada periode 1999-2004 lalu.

“Di Maluku, ada masa gelap akibat kerusuhan pada 1999-2004. Namun para guru di sana berupaya keras agar kerusuhan seperti itu tidak terjadi lagi,” kisahnya.

Ia mencontohkan yang terjadi di Sawai, Pulau Seram, Maluku. Wilayah tersebut merupakan satu-satunya tempat di provinsi Maluku yang tidak terkena kerusuhan. Kepala Sekolah SMPN 2 Sawai saat itu mengumpulkan warga sekitar dan mengucapkan Hapwama, yang berarti semua saing menggendong, alias semua adalah saudara tanpa melihat agama.

“Ketika ada kaum Nasrani dari luar wilayah datang menghasut, warga Sawai yang Kristen lah yang mengusirnya. Begitu pula ketika ada kaum Muslim yang datang menghasut, warga Sawai yang Muslim lah yang mengusirnya,” kisah Henny.

Selama kerusuhan Ambon terjadi, Sawai menerima 300 orang anak yang diselamatkan dari berbagai tempat di Maluku.

“Kisah ini patut dilestarikan untuk penguat dan inspirasi di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia,” tutur Henny.

Kemudian di SMAN Siwalima, Maluku, ada ciri khas seluruh siswanya wajib tinggal di asrama. Tiap kamar berisikan 5 orang anak. Yang menarik, kelima anak itu harus berasal dari kecamatan berbeda, dan agama yang berbeda pula.

“Dengan begitu, mereka diakomodasi dengan pemikiran bahwa mereka yang tinggal sekamar menjadi saudara tanpa ada perbedaan,” tambahnya.

Bagi Henny, kisah-kisah dengan narasi positif terkait toleransi di dunia pendidikan ini harusnya disebarluaskan. Dengan demikian, anak-anak bisa terinspirasi dan belajar, sekaligus memperluas wawasan mereka.

“Kami berharap agar kita semua bisa memberikan platform untuk kisah-kisah positif seperti ini,” ujarnya.

id_IDBahasa Indonesia