KPAI: Sekolah Negeri Harus Jadi Contoh Pendidikan Toleransi

Senin, 8 Februari 2021 | 20:25 WIB
Oleh : Irawati D Astuti / IDS

Jakarta, Beritasatu.com – Kasus intoleransi di dunia pendidikan terjadi sejak bertahun-tahun lalu, terutama di sekolah negeri. Padahal sekolah negeri seharusnya bisa menjadi contoh pendidikan toleransi karena sifatnya yang umum dan majemuk.

Demikian dikatakan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam diskusi bertajuk, “Sekolah Sebagai Penyemai Toleransi: Respon Terhadap SKB 3 Menteri” yang digelar Imparsial dan Yayasan Cahaya Guru secara daring, Senin (8/2/2021).

“Saya yakin bahwa sekolah negeri bisa jadi model dan contoh untuk anak-anak yang ketika jadi pemimpin, mereka sudah belajar toleransi dan nilai-nilai kebangsaan sejak saat ini,” kata Retno.

Oleh karena itu, Retno mengapresiasi keputusan pemerintah untuk mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang seragam sekolah dan atribut keagamaan di sekolah negeri. Sebab, sekolah negeri dibiayai oleh pajak semua agama, jadi seharusnya diperuntukkan bagi semua agama.

“Jika pedoman ini diberlakukan dengan baik, kondisi siswa dan guru akan majemuk,” ujarnya.

Jika SKB ini diperluas ke sekolah swasta, Retno mengatakan sepertinya belum perlu.

“Penerapan di sekolah negeri saja penolakannya sudah sedemikian luas. Padahal sekolah negeri kan sekolah pemerintah. Bagaimana kalo diterapkan di sekolah swasta juga?” tambahnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung, mengatakan SKB 3 Menteri adalah respons terhadap fenomena yang terjadi sekaligus upaya untuk mengembalikan sistem pendidikan Indonesia ke pola awal sesuai UU Sisdiknas. Tindak intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang adalah puncak gunung es dari kasus-kasus serupa di Tanah Air.

“Bagi saya, SKB 3 Menteri ini merupakan bentuk adanya ketegasan negara sekaligus pengakuan bahwa memang ada yang salah selama ini di institusi pendidikan kita,” tuturnya.

Hal itu juga diakui oleh Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu. Menurutnya, pengakuan itu penting karena jika diabaikan terus menerus, tentu akan sulit mengatasi masalah intoleransi ini.

“Selama ini kan masalah intoleransi di dunia pendidikan tidak pernah diakui. Masyarakat tahu itu ada, tapi tidak pernah diakui dan dianggap baik-baik saja. Padahal bagaimana kita memperbaiki sesuatu jika mengakuinya saja tidak bisa?” kata Henny.

Sementara Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai sesungguhnya SKB 3 Menteri ini tidak cukup untuk menjawab intoleransi di dunia pendidikan.

“Namun, sebagai langkah awal membangun toleransi di dunia pendidikan, ini patut diapresiasi,” ujar Ardi.

id_IDBahasa Indonesia