RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) Cacat Hukum dan Melanggar Hak Konstitusional Warga Negara

Nomor: 002/SP/IMPARSIAL/VII/2020

Pada hari Kamis, 16 Juli 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang baru untuk tahun 2020 dalam Rapat Paripurna DPR. Rapat tersebut memasukkan 37 Rancangan Undang-Undang (RUU) ke dalam Prolegnas Prioritas 2020 dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) termasuk di dalamnya. Bahkan, pembahasan terhadap RUU tersebut tetap dilanjutkan meski saat ini anggota DPR tengah memasuki masa reses.

Dimasukkannya RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) ke dalam Prolegnas Prioritas 2020 tersebut sangat disayangkan, mengingat RUU Cipta Kerja memiliki banyak permasalahan mulai dari proses penyusunan hingga substansi di dalamnya.

Pertama, proses penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai cacat prosedur, karena dilakukan secara tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil. Draf RUU Cipta Kerja pun tidak disebarluaskan oleh DPR dan karenanya tidak dapat diakses oleh masyarakat. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 89 jo. 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mewajibkan pemerintah untuk membuka akses terhadap RUU kepada masyarakat. Selain itu, Satgas Omnibus Law bentukan pemerintah yang sebagian besar berasal dari kalangan pemerintah dan pengusaha juga dinilai eksklusif serta tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat yang terdampak RUU.

Kedua, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja, khususnya yang dimuat dalam Pasal 166 dan 170, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 166 RUU Cipta Kerja melanggar konstitusi, karena memuat kembali ketentuan-ketentuan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK. Sebagai contoh, Pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Perpres bisa membatalkan Perda. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 251 ayat (2), (3), (4), dan (8). Berdasarkan putusan MK tersebut, pengujian dan pembatalan Perda adalah kewenangan Mahkamah Agung.

Pasal lainnya, yaitu Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah undang-undang (UU) pun melanggar konstitusi, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan atau merubah UU. Lebih jauh, Pasal 170 RUU Cipta Kerja juga bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dengan seolah-olah “menggeser” kewenangan membuat UU dari DPR kepada Presiden.
Imparsial menilai bahwa masih banyak masalah-masalah lain di dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, buruh, petani, masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi lingkungan.

Atas dasar tersebut, IMPARSIAL menolak pembahasan lanjutan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) di DPR, apalagi pembahasan tersebut dilakukan secara tidak lazim, yakni di tengah masa reses anggota DPR RI. Hal ini semakin menguatkan kecurigaan masyarakat sipil bahwa RUU tersebut sengaja ditutup-tutupi dari partisipasi, masukan, maupun kritik masyarakat.

Jakarta, 22 Juli 2020

Imparsial

Ardi Manto Adiputra (0812-6194-4069)
Gufron Mabruri (0812-1334-0612)
Hussein Ahmad (0812-5966-8926)
Al Araf (0813-8169-4847)

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDBahasa Indonesia