Dr. Dra. F. Yvonne de Queyoe, M.Sc.
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman suku, bahasa dan
budaya, disertai dengan adanya perbedaan latar belakang pendidikan, dan sehingga
membentuk masyarakat yang majemuk dan heterogen, dimana tentunya mempengaruhi
perilaku setiap warga masyarakat, baik individu maupun kelompok. Keberagaman
masyarakat seperti ini sangat berpotensi terjadinya konflik sosial yang senantiasa
mengarah pada tindak kekerasan fisik maupun psikis.
Papua yang dikenal sebagai suatu wilayah yang dihuni oleh masyarakat yang berasal
seluruh belahan Indonesia, Sabang hingga Merauke dan Miangas sampai Kepulauan Rote,
yang memperlihatkan kerukunan dan toleransi dari berbagai komunitas “multietnis,
multibudaya, multiagama” selama puluhan tahun. Oleh karena itu, tidak heran jika provinsi
terujung di bumi Nusantara ini, ‘Bumi Cenderawasih’ dijuluki sebagai “Miniatur
Indonesia”, dimana terjalin suatu kehidupan yang aman dan damai selama puluhan tahun.
Disisi lain, salah satu tujuan hidup dari sebagian besar umat manusia baik secara
individu maupun komunitas adalah terciptanya rasa aman dan damai penuh sejahtera, serta
menghindarkan diri dari segala bentuk pertikaian dan konflik antar sesama masyarakat.
Konflik selalu menimbulkan korban secara fisik dan psikis terhadap masyarakat, keluarga
dan komunitas pada umumnya, dan terutama bagi kelompok yang lemah, perempuan,
anak, lanjut usia, dan kaum disabilitas. Terjadinya konflik antar masyatakat, lazimnya
disebabkan adanya perbedaan pandangan, keinginan, tujuan hidup terkait dengan
kelangkaan sumber daya, sehingga menimbulkan kompetisi yang tidak sehat, dan berujung
pada suatu persecokan dan pertikaian di dalam lingkungan masyarakat.
BACA SELANJUTNYA.
Review-NS_PERAN-PEREMPUAN-DAN-ANAK-DALAM-WILAYAH-KONFLIK_Yvone-de-Quevoe.pdf