“Panglima TNI yang Baru Harus Bersih dari Catatan Pelanggaran HAM”

Siaran Pers Imparsial

Pada 8 November mendatang Panglima TNI Hadi Tjanjanto akan memasuki masa pensiun
dari dinas ketentaraan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UU No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia bahwa “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan
sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh
tiga) tahun bagi bintara dan tamtama.” Dengan demikian, Presiden selaku kepala negara dan
kepala pemerintahan perlu segera menentukan calon Panglima TNI yang baru

Kami memandang proses pergantian panglima TNI yang akan berlangsung semestinya dapat
digunakan oleh Presiden sebagai momentum untuk mendorong kembali agenda reformasi
TNI yang saat ini stagnan. Dalam konteks tujuan tersebut, kandidat Panglima TNI yang
dipilih oleh Presiden diharapkan tidak hanya mampu mendorong arah pembangunan TNI
yang semakin kuat dan profesional, tetapi juga memiliki komitmen untuk menjalankan
agenda reformasi TNI yang belum dijalankan. Proses reformasi TNI yang telah dimulai sejak
1998 hingga kini memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif, seperti pencabutan
dwi-fungsi ABRI, larangan bagi TNI untuk berpolitik dan berbisnis, dan lain sebagainya.
Namun demikian, proses tersebut masih jauh dari selesai dan masih menyisakan sejumlah
pekerjaan rumah yang penting, seperti reformasi sistem peradilan militer, penghapusan
komando teritorial, dan lain-lain

Selain itu, kendati proses pergantian Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden,
Presiden sebaiknya tetap perlu mencermati serta mempertimbangkan berbagai pandangan
dan saran yang berkembang di publik. Pemilihan Panglima TNI tidak hanya berimplikasi
kepada dinamika internal TNI, namun juga kepentingan masyarakat pada umumnya. Oleh
karenanya, penting bagi Presiden untuk mendengarkan, mencermati, dan
mempertimbangkan pandangan dan aspirasi masyarakat.

Terhadap hal ini, kami memandang presiden harus menghindari pola pergantian Panglima
TNI bernuansa politik kedekatan. Presiden harus menggunakan pendekatan normatif dan
substantif ketimbang pendekatan politis semata. Berdasarkan pedekatan normatif maka
pola pergantian panglima TNI mengedepankan rotasi antar matra dimana panglima TNI
dijabat secara bergiliran. Merujuk pada Pasal 13 ayat (4) UU TNI yang menyatakan bahwa
jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap
angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Penerapan pola
rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antar-matra dan berdampak positif pada
penguatan soliditas TNI. Selain itu, pola rotasi penting dilakukan guna meredam
kecemburuan yang sangat mungkin terjadi di antara prajurit akibat adanya kesan salah satu
matra yang menjadi anak emas dalam tubuh TNI. Pola rotasi jabatan Panglima TNI yang telah
dimulai sejak awal Reformasi ini tentu perlu untuk dipertahanankan, apalagi hal tersebut
juga telah diamanatkan dalam UU TNI.

Sedangkan pendekatan substantif adalah pendekatan yang menempatkan proses pergantian
Panglima TNI yang menekankan pada kapasitas dan kapabilitasnya dalam memimpin TNI.
Dalam hal ini Presiden dapat meminta masukan dari berbagai pihak seperti Komnas
Perempuan, Komnas HAM, KPK, akademisi, masyarakat sipil dan lainnya untuk menilai
kualitas calon panglima TNI yang ada. Sedangkan pendekatan politis memaknai pergantian
Panglima TNI hanya sebagai pemberian jabatan bagi orang-orang terdekat di lingkaran
kekuasaan, faktor pertimbangan utamanya adalah keuntungan politik.

Kami menilai calon panglima TNI kedepan harus memiliki komitmen terhadap demokrasi,
supremasi sipil, dan perlindungan serta pemajuan HAM. Pada konteks ini, Presiden harus
betul-betul mencermati rekam jejak setiap calon Panglima TNI yang ada untuk memastikan
ia tidak memiliki catatan buruk, khususnya terkait pelanggaran HAM. Adanya pemberitaan
yang mengaitkan nama salah satu kandidat Panglima TNI dalam kasus pembunuhan tokoh
Papua Theys Hiyo Eluay1 harus ditanggapi secara serius. Sudah seharusnya pada konteks ini
Presiden melakukan penggalian informasi se-dalam-dalamya terhadap seluruh kandidat
dengan melibatkan lembaga-lembaga kredibel guna memperkuat pertimbangan Presiden
dalam mengambil keputusan yang tepat.

Sudah menjadi kewajiban Presiden untuk memastikan bahwa seluruh kandidat panglima
TNI kedepan harus bebas dari rekam jejak yang buruk khususnya bebas dari pelanggaran
HAM sekaligus tidak memiliki potensi menghambat proses penyelesaian kasus pelanggaran
HAM, seperti penyelesaian kasus Talangsari Lampung, Trisakti, kasus Semanggi I dan II,
kasus penghilangan paksa 1997-1998, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dan lain-lain.
Pada titik ini, sejatinya kredibilitas dan komitmen Presiden terhadap HAM akan ditunjukan
dengan siapa Panglima TNI kedepan.

Jakarta, 6 Oktober 2020


Gufron Mabruri
Direktur

Narahubung:

  1. Gufron Mabruri: (+62 812-1334-0612)
  2. Ardi Manto Adiputra: (+62 812-6194-4069)
  3. Hussein Ahmad: (081259668926)

id_IDBahasa Indonesia