Pahami UU PSDN, Tentang Persiapan Indonesia Jika Terjadi Perang

10 Februari 2022 10:30 WIB

RADARDEPOK.COM UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) adalah UU yang disiapkan bila terjadi perang. Hal itu disampaikan Profesor Hikmahanto Juwana dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (9/2).

“Jadi kalau saya memahami, mohon izin, Yang Mulia, dari Undang‐Undang PSDN ini adalah ini undang‐undang untuk mempersiapkan apabila terjadi perang. Karena perang itu bisa terjadi sewaktu‐waktu. Kita tidak tahu kapan terjadi, tapi ketika terjadi, maka negara harus siap. Peraturan sudah ada mengaturnya dan dalam situasi seperti itu, tidak hanya sumber daya manusia yang bisa ‘dikerahkan’,” kata Hikmahanto Juwana.

“Bahkan warga masyarakat ingin terlibat di dalam mungkin pertempuran itu, tetapi juga sumber daya non-manusia yang bisa dijadikan sebagai aset untuk negara menghadapi musuh. Nah, di sinilah kemudian Undang‐Undang PSDN ini ada,” sambung Hikmahanto Juwana.

Berdasarkan hukum internasional, Perserikatan Bangsa‐Bangsa (PBB) dan masyarakat internasional, perang sudah tidak boleh lagi dalam rangka untuk agresi. Perang tidak boleh lagi dalam rangka untuk ekspansi.

“Kalau dulu di beberapa negara sebelum Perang Dunia ke‐2, ada yang namanya department of war atau secretary of war, menteri perang, itu sekarang sudah berubah menjadi department of defense atau secretary of defense, bahkan ministry of defense. Ini semua karena masyarakat internasional menganggap bahwa perang dalam konteks agresi itu sudah tidak diperbolehkan lagi,” ujar Hikmahanto Juwana.

Hanya ada dua perang yang diperbolehkan, kata Hikmahanto, yaitu perang yang dimandatkan oleh PBB dan perang atas dasar hak untuk membela diri (right to self defense) sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 Piagam PBB.

“Dalam Pasal 51 Piagam PBB ini sebenarnya menyiratkan menyiratkan bahwa perang itu bukannya tidak ada di era modern sekarang ini, itu tetap ada. Dan tentunya negara‐negara diminta untuk mempersiapkan dirinya ketika mengalami apa yang disebut sebagai attack atau serangan yang terjadi oleh yang dilakukan oleh negara lain. Nah, dalam konteks demikian, maka tidak ada ketentuan yang spesifik dalam konteks hukum internasional, bagaimana perekrutan terhadap mereka-mereka yang bisa disiapkan untuk menghadapi suatu perang dari negara lain,” tutur Hikmahanto.

Hikmahanto mencontohkan ancaman yang ada di Laut Cina Selatan. Lalu apakah komponen cadangan akan diikutkan atau tidak.

“Kalau menurut saya, itu pertama, presiden harus menentukan dengan persetujuan dari DPR, kapan kita ikut perang. Itu yang pertama. Tapi di level yang berikutnya adalah kalau presiden menganggap bahwa komponen utama itu tidak memadai, maka kemudian ada perekrutan mobilisasi terhadap komponen cadangan. Jadi, enggak serta-merta,” beber Hikmahanto.

“Jadi, harus ada tahapan‐tahapan dan itu yang diatur di dalam Undang‐Undang PSDN ini, bagaimana tahapan‐tahapan itu dilakukan. Jadi, jangan kemudian kita berpikir bahwa pemerintah mengerahkan, misalnya, TNI berdasarkan Undang‐Undang Terorisme, ya, melawan pelaku-pelaku teror dalam hal‐hal tertentu menurut Undang‐Undang Terorisme. Apakah komponen cadangan bisa diikutkan? Ya, tentu tidak bisa. Karena sekali lagi, harus ada keputusan dari institusi sipil untuk kapan komponen cadangan terlibat di dalam masalah yang terkait dengan konflik bersenjata,” sambung Hikmahanto.

Hikmahanto juga mencontohkan di Ukraina. Mereka saat ini mempersiapkan diri apabila Rusia akan melakukan invasi.

“Jadi tidak hanya komponen utama, tetapi juga komponen cadangan. Nah, ini belum tentu terjadi, tapi baru sampai ancam, ya. Tapi mereka tahu bahwa kalau misalnya katakanlah Rusia menyerang, mungkin komponen utama itu tidak memadai. Sehingga apa? Sudah mulai ada komponen cadangan,” kata Hikmahanto Juwana.

Sebagaimana diketahui, sejumlah LSM menggugat UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta komponen cadangan (komcad) dalam UU itu dihapuskan karena dinilai membahayakan dan inkonstitusional.

Mereka yang menggugat adalah Imparsial, Kontras, Yayasan Kebajikan Publik, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, dan Leon Alvinda Putra.

“Menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petitum permohonan Imparsial dkk. (rd/net)

id_IDBahasa Indonesia