Okupasi TNI di RSUD Paniai Papua Mengancam Keselamatan Warga Sipil dan Melanggar Prinsip Hukum Humaniter

Siaran Pers Imparsial
No. 007/Siaran-Pers/IMP/V/2024

“Okupasi TNI di RSUD Paniai Papua Mengancam Keselamatan Warga Sipil dan Melanggar Prinsip Hukum Humaniter”

Pada Minggu, 26 Mei 2024 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Paniai, Papua diberitakan tidak dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat sipil dan bahkan berdasarkan informasi yang diperoleh, pasien dan keluarga pasien berbondong-bondong menyelamatkan diri keluar dari gedung rumah sakit yang digunakan TNI sebagai tempat berlindung. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pihak militer Indonesia menggunakan salah satu lantai di gedung tersebut sebagai markas atau tempat berlindung (okupasi).

Kami memandang, tindakan okupasi yang dilakukan tersebut tidak hanya mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat, tapi juga berpotensi mengancam keselamatan dan keamanan warga sipil akibat konflik dan kekerasan bersenjata yang terus berlangsung di Papua. Sebagai fasilitas publik, rumah sakit memang harus dilindungi keamanannya sehingga masyarakat terjamin haknya atas layanan kesehatan. Akan tetapi hal tersebut sama sekali tidak membenarkan adanya tindakan eksesif yang dapat mengganggu layanan kesehatan, apalagi jika terbukti benar bahwa ada satu lantai di RSUD tersebut yang digunakan sebagai markas atau tempat berlindung.

Dilihat dari kaidah hukum humaniter, penggunaan rumah sakit sebagai markas dan tempat berlindung militer jelas merupakan tindakan keliru. Hal ini dikarenakan rumah sakit dan bangunan-bangunan pelayanan sipil merupakan instalasi yang tidak boleh demiliterisasi atau dijadikan sebagai sasaran dalam konflik. Lebih lanjut, okupasi terhadap rumah sakit dan bangunan sipil sebenarnya juga melanggar prinsip pembedaan sipil-militer dan prinsip jarak humaniter. Hal ini disebabkan, dengan adanya okupasi bangunan sipil tersebut, demarkasi/pembedaan yang jelas antara kombatan dan sipil menjadi kabur.

Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 (the Geneva Conventions 1949) dan Protokol Tambahan (Additional Protocols) I dan II 1977 terhadap Konvensi-konvensi 1949, perangkat hukum humaniter tersebut secara tegas menitikberatkan perlindungan terhadap penduduk sipil yang kemudian melahirkan dengan apa yang disebut sebagai prinsip pembedaan (distinction principle). Pengaburan prinsip sipil-militer akibat okupasi terhadap rumah sakit oleh TNI ini sangat membahayakan keselamatan warga sipil. Sangat mungkin pihak berkonflik menganggap bangunan tersebut sebagai sasaran yang sah oleh karena berubahnya fungsi rumah sakit menjadi markas/pos/ tempat perlindungan oleh TNI.

Di sisi lain kendati okupasi bangunan-bangunan sipil seperti rumah sakit oleh TNI sebagai markas, pos, ataupun tempat berlindung merupakan tindakan yang salah dan keliru, namun hal tersebut bukan berarti bangunan sipil tersebut merupakan sasaran yang sah dan dibenarkan untuk diserang oleh pihak berkonflik termasuk TPN PB-OPM. Seluruh pihak yang terlibat konflik harus menjamin dan melindungi keselamatan serta keamanan warga sipil dan menghindari penggunaan bangunan sipil apalagi warga sipil sebagai sasaran dalam konflik yang sedang berlangsung.

Kami memandang, tindakan okupasi yang dilakukan oleh TNI sebenarnya semakin menunjukkan adanya operasi militer yang ilegal dan menyalahi Pasal 7 ayat (3) Undang Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dimana pengerahan TNI haruslah berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Perlu diketahui, kebijakan dan keputusan politik negara yang dimaksud UU TNI belum pernah dikeluarkan oleh Presiden dan DPR terlebih sebenarnya sejak 1998 status Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sudah dicabut. Lebih jauh, ketiadaan Kebijakan dan Keputusan Politik Negara tentunya menimbulkan konsekuensi logis yakni seluruh operasi militer yang dijalankan minim ketertundukan terhadap prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban HAM atas akibat yang timbul akibat operasi militer tersebut.

Kami juga menilai, sudah seharusnya pemerintah menghentikan penggunaan pendekatan militeristik dalam hal ini operasi militer. Alih-alih menyelesaikan konflik Papua, pendekatan tersebut semakin mempermanenkan mata rantai kekerasan di Papua dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa terutama warga sipil. Pemerintah perlu segera mendorong penggunaan jalan dialog dalam menyelesaikan permasalahan konflik Papua yang sempat dijanjikan Jokowi pada tahun 2016.

Berdasarkan pandangan di atas, Imparsial mendesak:

  1. Mendesak TNI mengembalikan fungsi Rumah Sakit Umum Daerah Paniai kepada fungsinya yang semula;
  2. Mendesak para pihak berkonflik untuk mengedepankan keselamatan warga sipil dalam konflik yang sedang berlangsung;
  3. Mendesak Presiden dan DPR menghentikan dan mengevaluasi seluruh operasi militer di Papua;
  4. Presiden segera memulai dialog damai yang bermartabat guna menyelesaikan konflik di Papua.

Jakarta, 28 Mei 2024

Gufron Mabruri
Direktur

id_IDBahasa Indonesia