Netralitas, Profesionalitas dan Soliditas TNI Jelang Pemilu 2019

Siaran Pers

Nomor: 08/SP/IMPARSIAL/X/2018

Pada tanggal 5 Oktober 2018, Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-73. Terkait momentum ini, Imparsial terlebih dahulu ingin menyampaikan ucapan selamat dan sekaligus juga apresiasi yang sebesar-besarnya kepada seluruh prajurit TNI atas perannya selama ini dalam menjaga pertahanan negara, dengan harapan besar bahwa TNI ke depan akan semakin kuat, profesional dan modern

Di saat TNI merayakan HUT TNI yang ke 73, Indonesia dalam waktu dekat ini juga akan menghadapi proses pemilihan umum. Dalam konteks itu, di tengah akan diselenggarakannya pemilihan legislatif dan Pilpres serentak pada April 2019, netralitas TNI sebagai aktor pertahanan negara penting untuk dijaga. Upaya memastikan netralitas TNI dalam politik elektoral merupakan suatu keharusan dan sekaligus menjadi elemen kunci dari berlangsungnya proses politik elektoral yang demokratis, Jurdil (jujur dan adil), aman dan damai.

Sebagai alat pertahanan negara, TNI tidak bisa dan tidak boleh digunakan sebagai instrumen pemenangan politik elektoral yang dampaknya tidak hanya akan menggerus profesionalisme mereka, tetapi juga mencederai demokrasi dan mengancam dinamika pelaksanaan elektoral. Apalagi undang-undang TNI no 34 tahun 2004 (Pasal 39) menegaskan bahwa prajurit TNI dilarang berpolitik praktis.

Adanya keterlibatan sejumlah purnawirawan jenderal dalam dinamika politik pemilihan presiden, baik sebagai pengurus partai politik maupun tim sukses kandidat presiden, harus menjamin tidak akan menarik-narik institusi TNI ke dalam kontestasi politik elektoral. Sebagai purnawirawan, mereka memang telah menjadi warga sipil dan tentunya mempunyai hak untuk berpolitik. Namun, adalah salah dan keliru jika keterlibatan dilakukan dengan mempolitisasi atau menarik-narik institusi TNI, seperti menggunakan pengaruh, kedekatan atau bentuk politisasi lain untuk mencapai tujuan kontestasi politik.  Pernyataan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang menyampaikan dan memerintahkan TNI agar netral dalam Pemilu merupakan langkah awal yang baik di dalam menjaga netralitas TNI.

Dalam menghadapi berbagai ancaman dan berbagai isu yang berkembang, tentu profesionalisme TNI di dalam mengidentifikasi ancaman diperlukan. Terhadap isu komunisme yang berkembang saat ini, misalnya, militer maupun masyarakat tidak perlu khawatir. Komunisme bukanlah ancaman nyata buat Indonesia saat ini. Sejatinya, paska perang dingin berakhir, komunisme bukan lagi menjadi ideologi yang menakutkan dan mengancam negara-negara di dunia. Paska Uni Soviet runtuh, sebagian besar negara-negara-satelit Uni Soviet berubah ideologi dan sistem politiknya dari komunisme menuju demokrasi. Paska 1990 an gelombang demokratisasi di banyak negara nyata terjadi di hampir sebagian besar negara di dunia yang merubah sistem politiknya dari otoritarian, komunis menjadi sistem politik demokrasi.

Di Indonesia, Komunisme juga bukan merupakan ancaman nyata. Saat ini tidak ada lagi partai politik di Indonesia yang ikut dalam Pemilu 2019 yang mengusung ideologi komunisme di dalam aturan dasar partainya. Bahkan sampai saat ini larangan komunisme yang berpijak pada ketetapan MPR masih berlaku. Jadi bagaimana mungkin komunisme dapat dianggap sebagai ancaman nyata  saat ini jika organisasinya saja tidak jelas dan dilarang?

Isu komunisme yang berkembang saat ini sejatinya hanyalah isu yang sifatnya politis. Politisasi terhadap isu komunisme hanya menjadi komoditas politik untuk bertarung memenangkan kekuasaan jelang Pemilu 2019 nanti. Politisasi isu komunisme itu juga terjadi dalam perhelatan Pemilu 2014 yang lalu. Pengguliran isu komunisme juga berdampak pada terhambatnya upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Keterlibatan TNI dalam merespon ancaman keamanan non-tradional (non-traditional securty) seperti dalam menghadapi bencana alam di Donggala dan Palu merupakan sesuatu hal yang positif. Di tengah keterbatasan kapasitas sipil dan situasi yang emergency pelibatan TNI itu memang di mungkinkan sebagai bagian dari operasi militer selain perang. Namun demikian, alangkah lebih baik jika kini Presiden membuat keputusan presiden tentang pelibatan militer dalam penanganan bencana alam di Sulteng sebagai dasar legal untuk menentukan sampai kapan pelibatan militer itu di lakukan, tujuan pelibatan, kekuatan militer yang digunakan serta dukungan anggaran yang di butuhkan. Hal ini tidak hanya sebatas untuk memenuhi aturan dalam UU TNI no 34/2004 (Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3) tetapi juga sebagai kejelasan operasional dalam pelaksanaan tugas operasi militer selain perang dalam penanganan bencana alam, agar operasi itu dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Meski ancaman keamanan non-tradisonal berkembang, namun Indonesia sesungguhnya masih menghadapi kemungkinan ancaman keamanan tradisional (traditional security) semisal persoalan konflik laut China Selatan. Karena itu, kapasitas militer tetap perlu diletakkan dalam tugas dan fungsi utamanya yakni untuk menghadapi perang. Militer direkruit, dididik, dilatih dan dipersenjatai dengan fungsi utamanya adalah untuk menghadapi kemungkinan terjadinya ancaman militer dari negara lain.  Tujuan keberadaan militer di berbagai dunia adalah untuk melawan musuh dalam peperangan. Hal ini merupakan raison d’être atau prinsip utama dari peran militer.

Untuk menjalankan fungsinya sebagai alat pertahanan negara maka negara perlu membangun modernisasi alutsista yang lebih modern. Peningkatan kapasitas persenjataan Indonesia perlu di lakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Di sini, transparansi dan akuntabilitas modernisasi alutsista menjadi penting. Di sisi lain, profesionalisme militer juga perlu ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit itu sendiri.

Imparsial menilai, peringatan HUT TNI saat ini juga penting digunakan untuk mengingat dan mengevaluasi dinamika agenda reformasi TNI. Reformasi TNI sejak tahun 1998 diakui memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif. Meski demikian, dinamika reformasi masih menyisakan sejumlah agenda yang belum dituntaskan. Pelaksanaan agenda-agenda tersisa itu tidak hanya penting untuk mendorong TNI kuat dan profesional, namun juga menghomati tatanan negara demokratik dan hak asasi manusia. Salah satu agenda penting dalam reformasi TNI adalah melakukan reformasi sistem peradilan militer melalui perubahan UU no 31/1997. Selain itu evaluasi terhadap nota kesepahaman (Memorandum of Understanding atau MoU) antara TNI dan instansi pemerintah baik kementerian maupun perusahaan milik negara yang kurang tepat sasaran perlu di lakukan. Hingga kini paling tidak terdapat 40 MoU.

Selain itu, tantangan TNI ke depan adalah terkait dengan reformasi birokrasi internal dan regenerasi TNI (mutasi, promosi, rotasi, transparansi dan akuntabilitas) menjadi pekerjaan rumah yang perlu di lakukan. Dalam waktu dekat ini, proses pergantian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) akan terjadi. Presiden dan Panglima TNI tentu perlu memikirkan pergantian KSAD yang dapat mendukung penguatan profesionalisme TNI AD yang di dalamnya perlu mempertimbangkan aspek kompetensi, profesionalitas, trackrecord, soliditas dan penghormatan terhadap HAM dan tata nilai demokrasi. Kepentingan-kepentingan politik yang masuk dalam proses pergantian KSAD sebaiknya dihindari untuk memastikan soliditas dan profesionalisme TNI itu sendiri. Dalam perspektif HAM, Presiden dan Panglima TNI tentu perlu memperhatikan bahwa rekam jejak calon KSAD nanti benar-benar bebas dari persoalan pelanggaran HAM.

Dirgahayu TNI ke 73 semoga TNI semakin modern, profesional dan sejahtera.

Jakarta, 4 Oktober 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDBahasa Indonesia