Siaran Pers Imparsial
No. 034/Siaran-Pers/IMP/X/2025
Menyikapi Pengurangan Hukuman Terhadap Dua Pelaku Penembak Bos Rental oleh Mahkamah Agung.
“Praktik Impunitas, dan Urgensi Revisi Undang-undang Peradilan Militer”
ada 02 September 2025 Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis seumur hidup menjadi vonis 15 Tahun penjara terhadap dua eks prajurit TNI AL, yakni Bambang Apri Atmojo, dan Akbar Adli yang menjadi pelaku penembakan bos rental mobil. Selain itu, MA juga mengurangi hukuman terdakwa Rafsin Hermawan, dari yang sebelumnya divonis empat tahun penjara, menjadi vonis tiga tahun penjara. Ketiganya juga dijatuhi sanksi berupa pemberhentian dari dinas militernya.
Imparsial memandang bahwa putusan MA ini menunjukkan praktik unfair trial yang nyata. Proses hukum terhadap anggota TNI kerap berlangsung tertutup, tidak transparan, dan sepenuhnya dikendalikan oleh struktur militer. Dalam konteks ini, keadilan tidak hanya gagal ditegakkan, tetapi secara nyata telah dikebiri oleh tangan-tangan tak terlihat. MA seharusnya menjadi benteng terakhir untuk memastikan keadilan substantif, bukan menjadi bagian dari mekanisme impunitas.
Putusan ini bukan sekadar mencederai rasa keadilan publik, tetapi juga menandai mandeknya upaya reformasi sektor keamanan dan supremasi hukum di Indonesia. Dengan membatalkan vonis berat terhadap pelaku yang berlatar belakang militer, MA sedang mengirim pesan kelam kepada masyarakat, bahwa hukum bisa saja tidak berlaku setara, dan keadilan bisa dikompromikan ketika pelakunya berasal dari institusi kemiliteran.
Lebih lanjut, Imparsial menilai bahwa hal ini menunjukkan bahwa hukum masih tunduk pada seragam militer. Ketika warga sipil menjadi korban, negara lebih memilih melindungi pelaku daripada menegakkan keadilan. Selain itu, MA juga terkesan tidak transparan dalam membatalkan vonis seumur hidup tersebut. Tidak ada penjelasan terbuka kepada publik mengenai dasar dan pertimbangan hukumnya. Praktik tertutup semacam ini melanggar prinsip transparansi sistem peradilan di Indonesia.
Imparsial berpandangan, masih adanya kesalahan dalam memaknai esprit de corps, yaitu semangat kebersamaan dan solidaritas antar-prajurit yang sejatinya dimaksudkan untuk memperkuat disiplin dan moral pasukan. Namun dalam praktiknya, prinsip ini sering disalahartikan sebagai loyalitas tanpa batas terhadap sesama anggota militer, bahkan ketika yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum. Pemaknaan yang keliru tersebut menciptakan kondisi di mana peradilan militer acapkali menjadi instrumen impunitas atau menghasilkan hukuman yang tidak proporsional bagi pelaku tindak pidana dari kalangan TNI.
Dalam konteks ini, esprit de corps berubah dari nilai etis yang mendukung profesionalisme menjadi mekanisme perlindungan internal yang menghambat akuntabilitas. Akibatnya, penegakan hukum kehilangan independensi dan keadilan substantif, terutama bagi korban dan keluarganya, karena muncul kecenderungan untuk melindungi citra institusi dan menjaga solidaritas korps ketimbang menegakkan kebenaran hukum.
27 tahun pascareformasi, agenda pemisahan militer dari urusan sipil, dan mandat Undang-Undang TNI mengenai revisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer justru terkesan jalan di tempat. Pasal 65 ayat (2) UU TNI secara tegas menyebutkan bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum. Namun, kenyataannya pasal tersebut terus diabaikan demi melindungi kepentingan institusional militer.
Putusan problematik MA ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Ia adalah bagian dari pola lama yang terus berulang, mulai dari pembunuhan, penganiayaan, hingga pelanggaran hukum oleh anggota TNI yang berujung pada hukuman ringan atau pembatalan vonis. Hal ini memperlihatkan bahwa supremasi sipil di bawah pemerintahan saat ini tengah tergerus oleh normalisasi kekuasaan militer di ruang publik maupun hukum.
Berdasarkan paparan di atas, untuk mencegah agar praktik impunitas tidak kembali terulang, dan sebagai upaya untuk menegakkan supremasi hukum, maka Imparsial mendesak kepada:
1. Pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, guna memastikan seluruh tindak pidana umum yang dilakukan prajurit TNI diperiksa dan diadili di peradilan umum, bukan oleh militer itu sendiri.
2. Komnas HAM dan LPSK untuk menjamin hak korban dan keluarganya atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan.
Jakarta, 21 Oktober 2025.
Narahubung:
Wira Dika Orizha Piliang, Peneliti.
Ardi Manto Adiputra, Direktur.
Hussein Ahmad, Wakil Direktur.
Annisa Yudha AS, Koordinator Peneliti.
Riyadh Putuhena, Peneliti.
