Menyikapi Pelarangan Pembangunan Masjid Ahmadiyah di Garut: Kebijakan Bupati Garut Inkonstitusional dan Harus Dicabut

Rilis Media Imparsial
No. 004/Siaran-Pers/IMP/V/2021

Pada Kamis, 6 Mei 2021, Bupati Garut, Rudy Gunawan menerbitkan Surat Edaran Pelarangan Aktivitas Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan penghentian Kegiatan Pembangunan Tempat Ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kabupaten Garut. Sebagai tindak lanjut atas kebijakan tersebut, Satpol PP kemudian melakukan penyegelan terhadap pembangunan masjid milik Jemaat Ahmadiyah di Kampung Nyalindung.

Imparsial memandang, kebijakan pelarangan aktivitas Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan penyegelan terhadap masjid mereka di Kampung Nyalindung merupakan tindakan inkonstitusional dan diskriminatif. Sebagai bagian dari warga negara, Jemaat Ahmadiyah memiliki kedudukan setara dan hak-hak yang sama seperti warga negara lainnya yang telah dijamin di dalam UUD 1945, termasuk salah satunya hak mereka dalam beragama atau berkeyakinan. Adalah kewajiban negara, termasuk dalam hal ini penyelenggara pemerintahan di daerah, untuk menjamin dan melindungi hak dan kebebasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Lebih dari itu, kebijakan Bupati Garut tersebut juga menjadi langkah mundur dalam penghormatan terhadap keragaman, dan yang lebih parahnya lagi adalah berpotensi mensponsori tumbuh suburnya berbagai praktik intoleransi di masyarakat. Selama ini, persekusi dan diskriminasi berulang yang terus dialami oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak hanya disebabkan oleh pembiaran pemerintah atas sikap kebencian dan intoleransi, tetapi juga karena mendapatkan legitimasi kebijakan dari pemerintah. Oleh karena itu, sangat disayangkan bukannya hadir melindungi hak-hak warganya, dalam kasus ini pemerintah daerah malah menjadi pelaku tindakan diskriminasi dan melegitimasi persekusi pemeluk agama yang haknya dilindungi oleh Konstitusi.

Bupati sebagai Kepala Daerah semestinya menghadirkan kepemimpinan politik yang positif dan pro terhadap kebhinekaan, yakni dengan membuat berbagai kebijakan yang merekognisi dan menginklusi semua kelompok apapun latar belakang agama atau keyakinannya. Hal tersebut harus diwujudkan dengan cara menjamin dan memastikan setiap orang dan kelompok apapun agama atau kepercayaannya bisa menikmati hak dan kebebasannya dengan setara, aman, bebas dari rasa takut dan intimidasi. Bukan sebaliknya, yang justeru tunduk pada tekanan massa dengan membuat kebijakan yang bias kehendak maupun kepentingan mayoritas, dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas.

Imparsial menilai, pelarangan aktivitas dan tindakan penyegelan tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Garut adalah tindakan yang keliru karena bertentangan dengan Konstitusi yang telah menjamin kebebasan bagi setiap orang untuk menjalankan ibadah atau aktivitas keagamaan sesuai dengan agama atau kepercayaannya. SKB 3 Menteri tahun 2008 dan Pergub Jabar No. 12 / 2011 tidak boleh dijadikan rujukan untuk mengurangi hak konstitusional warga negara untuk menjalankan ibadah/ ritual keagamaan sesuai dengan agama/ kepercayaannya tersebut.

Dalam konteks kebebasan beragama atau berkeyakinan, warga negara yang telah dijamin secara kuat di dalam Konstitusi, penting dipahami bahwa rumah ibadah (termasuk masjid) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan hak tersebut. Pendirian dan penggunaan tempat ibadah harus didasarkan pada kebutuhan nyata penganutnya, dan dalam hal ini pemerintah wajib memfasilitasi perijinan pendirian dan penggunaan tempat ibadah tersebut, serta kebutuhan nyata secara substantif sesuai dengan kehendak penganut ajaran agama atau kepercayaan tersebut.

Dengan demikian, dalam kasus yang terjadi di Garut, apabila ada kelompok lain yang menolak pendirian dan pembangunan masjid oleh Jemaat Ahmadiyah, adalah tugas pemerintah daerah untuk memfasilitasi dialog, dan Bupati sebagai perwujudan dari perwakilan negara di daerah, memiliki kewajiban untuk melindungi dan menjamin hak Jemaat Ahmadiyah, bukan justeru melakukan tindakan persekusi dengan mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Imparsial merekomendasikan agar:

  1. Bupati Garut segera mencabut Surat Edaran Nomor 451.1/1605/Bakesbangpol dan menghentikan penyegelan Masjid Ahmadiyah yang sedang dibangun di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu;
  2. Pemerintah mencabut SKB 3 Menteri tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
    Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
    dan Warga Masyarakat;
  3. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencabut Pergub Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat;
  4. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi dan menjamin hak warganya untuk dapat beribadah sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianutnya, serta melakukan melakukan pemulihan atas hak-hak korban yang terlanggar akibat dari tindakan persekusi yang terjadi;
  5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu mengembangkan berbagai kebijakan yang mempromosikan toleransi dan penguatan hak atas KBB, serta pada saat yang bersamaan bersikap tegas terhadap praktik intoleransi yang terjadi di masyarakat.

Jakarta, 9 Mei 2021

IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor

Narahubung:

  1. Gufron Mabruri – Direktur (081213340612)
  2. Ardi Manto Adiputra – Wakil Direktur 081261944069)
  3. Evitarossi S. Budiawan – Koor. Peneliti (081219192143)
  4. Annisa Yudha – Peneliti (085711784064)
  5. Amalia Suri – Peneliti (082367832141)
id_IDBahasa Indonesia