Menjelang Putusan Uji Formil UU TNI di Mahkamah Konstitusi

September 16, 2025
Oleh admin

Rilis Pers
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan

Menjelang Putusan Uji Formil UU TNI di Mahkamah Konstitusi

“Pembuktian Integritas Mahkamah Konstitusi dalam Menegakkan Demokrasi dan Menolak Dwifungsi”

Besok, 17 September 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan atas permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Revisi UU TNI). Putusan ini tidak dapat dipandang sebagai agenda dalam perkara hukum biasa. Ia adalah ujian sesungguhnya atas integritas dan komitmen MK untuk menegakkan konstitusi, mendukung agenda reformasi sektor keamanan, dan melindungi demokrasi dari ancaman militerisme yang kian menguat.

Kami memandang, sejak awal, proses pembentukan Revisi UU TNI sudah mengandung banyak permasalahan mendasar. Kami mencermati bahwa proses legislasi dilakukan secara tertutup, terburu-buru, dan jauh dari prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Tidak ada akses terbuka terhadap naskah akademik maupun draf rancangan undang-undang selama proses berjalan. Rapat-rapat penting dilakukan secara diam-diam, bahkan diselenggarakan di luar hari kerja tanpa siaran langsung, seolah disengaja agar luput dari pengawasan publik.

Pembahasan UU TNI di DPR juga melanggar kaidah hukum yang benar. Dalam persidangan DPR dan Pemerintah menyatakan bahwa revisi Undang-Undang TNI merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XIX/2021 sehingga perlu diproses secara cepat (fast track). Namun, revisi tersebut ternyata tidak dimasukkan dalam Daftar RUU Kumulatif Terbuka sesuai Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/2024-2025, padahal setiap tindak lanjut putusan MK wajib dimasukkan dalam daftar ini sesuai Pasal 14 ayat (2) dan (3) Tata Tertib DPR. Dalam persidangan terlihat dengan jelas pula bahwa klaim DPR bahwa revisi ini merupakan carry over dari periode sebelumnya juga tidak didukung bukti yang jelas. Pembahasan di Badan Legislasi bahkan belum mencapai tahap DIM, sehingga syarat carry over belum terpenuhi.

Selain itu dari segi substansi UU ini juga bermasalah. Revisi yang diajukan tidak hanya mengatur soal usia pensiun seperti yang diperintahkan putusan MK terdahulu, melainkan juga memperluas perubahan meliputi kebijakan strategis pertahanan, Operasi Militer Selain Perang (OMSP), tugas tiga matra TNI, serta perluasan ruang penempatan prajurit aktif di jabatan sipil. Perluasan ini tidak sesuai dengan mandat putusan MK sehingga tidak dapat dibenarkan menggunakan mekanisme legislasi cepat. Hal ini adalah bentuk nyata adanya agenda politik buruk untuk memundurkan reformasi sektor keamanan.

Dalam perkembangan terbaru, situasi ini semakin mendesak di tengah munculnya upaya kriminalisasi terhadap pegiat media sosial, Ferry Irwandi oleh Komandan Satuan Siber (Dansatsiber) Mabes TNI. Tindakan tersebut menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang, di mana Satsiber TNI yang seharusnya berfokus pada pertahanan siber negara justru digunakan untuk memata-matai dan mengintimidasi warga negara yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Jika revisi UU TNI besok tidak dibatalkan oleh MK maka khawatir kriminalisasi, dan kegiatan memata-matai warga negara seperti pada kasus Ferry Irwandi akan marak terjadi.

Selain itu, pelibatan militer dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) akhir-akhir ini juga cukup mengkhawatirkan, pasca kerusuhan pada akhir Agustus 2025 lalu, TNI juga dikabarkan mengerahkan 73.000 pasukannya untuk mengamankan wilayah Jakarta. Kasus Ferry Irwandi dan kasus pengerahan anggota militer dalam jumlah signifikan di Jakarta menjadi bukti bahwa UU TNI yang baru berpotensi memberikan legitimasi kepada militer di ranah sipil dan siber.

Kami mengingatkan bahwa MK tidak hanya berfungsi sebagai penjaga konstitusi secara normatif, tetapi juga memikul tanggung jawab historis dalam memastikan agar agenda reformasi yang lahir dari semangat 1998 tidak dirampas oleh kepentingan politik jangka pendek yang menghidupkan kembali dwifungsi militer dalam rupa baru. Putusan MK besok bukan sekadar soal usia pensiun atau ketentuan hukum administratif. Ia adalah ujian moral dan konstitusional: apakah Mahkamah bersedia berdiri bersama rakyat dalam menolak kembalinya militerisme ke ruang sipil, atau justru membiarkan konstitusi dibengkokkan demi melanggengkan kekuasaan.

Berdasarkan hal tersebut, Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta Mahkamah Konstitusi untuk:

Menyatakan bahwa proses pembentukan Revisi UU TNI bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara formil karena tidak memenuhi prinsip keterbukaan, partisipasi publik yang bermakna, dan tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Membatalkan Revisi UU TNI secara keseluruhan karena proses pembentukannya cacat formil, serta substansinya melampaui mandat Putusan MK No. 62/PUU-XIX/2021 dan mengandung ketentuan yang berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil dan demokrasi konstitusional.
Menegaskan kembali prinsip supremasi sipil dan pentingnya reformasi sektor keamanan, termasuk pembatasan yang tegas atas peran militer dalam urusan sipil, serta akuntabilitas atas penggunaan kekuatan bersenjata dalam negara demokratis.

Jakarta, 16 September 2025


Hormat kami,
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan

Follow Us