Jumat, 29 Oktober 2021 01:32 WIB
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Keluarga korban kebakaran Lapas Kelas I Tangerang mendatangi Kantor Komnas HAM RI di Jakarta Pusat pada Kamis (28/10/2021).
Didampingi Tim Advokasi yang berasal dari LBH Masyarakat, Imparsial, LBH Jakarta, dan LPBH NU Tangerang, mereka mengadukan mengenai nasib mereka.
Pengacara publik LBH Masyarakat Ma’ruf Bajammal yang mendampingi mereka membeberkan tujuh temuan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah kepada para korban.
Ma’ruf menjelaskan tim advokask tersebut sebelumnya membuka posko pengaduan pasca kejadian nahas pada September lalu.
Dari posko tersebut, kata dia, terdapat 9 pengaduan yang masuk.
Tujuh di antaranya, kata dia, memberi kuasa untuk meminta pendampingan hukum.
Temuan pertama, kata Ma’ruf, adalah adanya ketidakjelasan proses identifikasi tubuh korban meninggal.
Ia mengatakan tidak ada dokumen yang menunjukkan dasar keluarga mereka teridentifikasi.
“Mereka sampai tidak tahu bagaimana bentuk daripada keluarganya, sehingga benarkah peti yang dimakamkan itu keluarganya atau bukan,” kata Ma’ruf saat konferensi pers di kantor Komnas HAM yang disiarkan di kanal Youtube Humas Komnas HAM RI pada Kamis (28/10/2021).
Kedua, kata dia, adanya ketidakterbukaan penyerahan jenazah korban meninggal.
Dia mengatakan, ketika keluarga korban ingin melihat untuk yang terakhir kali jenazah keluarganya, mereka justru keluarga korban di diberikan sugesti untuk tidak melihat korban.
“Akan tetapi keluarga korban tetap ingin untuk tetap bisa diperlihatkan untuk terakhir kalinya keluarga mereka. Tetapi tetap tidak bisa,” kata dia.
Ketiga, adanya ketidaklayakan peti jenazah korban.
Berdasarkan keterangan keluarga korban, jenazah keluarganya tersebut dimasukkan ke dalam peti yang hanya terbuat dari triplek.
Di peti-peti jenazah tersebut, kata dia, sudah tertulis nama masing-masing korban yang ditulis dan ditempelkan di atas kertas.
“Menurut mereka ini sangat tidak layak untuk dijadikan peti karena hanya berbahan triplek mereka yang kemudian dicat putih. Bahkan ada salah satu keluarga korban yang membeli sendiri petinya agar keluarga mereka bisa ditempatkan di dalam peti yang layak,” kata dia.
Keempat, ada indikasi intimidasi saat penandatangan dokumen administrasi dan pengambilan jenazah korban.
Kondisi tempat penandatanganan yang sempit dan dikerumuni banyak orang, kata dia, membuat keluarga korban menjadi tergesa-gesa dan tidak mengetahui dokumen apa yang mereka tandatangani tersebut meskipun ada keluarga yang sempat memfoto dokumen tersebut.
“Atas dasar itu kami melihat adanya upaya intimidasi pada saat proses penandatanganan penyerahan jenazah,” kata dia.
Kelima, kata dia, terdapat adanya upaya pembungkaman agar keluarga korban tidak menuntut pihak manapun atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang.
Klausul yang menyatakan agar keluarga korban tidak menuntut Lapas Tangerang atau pihak manapun atas peristiwa kebakaran itu baru diketahui setelah dokumen tesebut ditandatangani.
Itupun berdasarkan foto yang diambil oleh salah satu keluarga korban.
Keenam, kata dia, tidak ada pendampingan psikologis yang berkelanjutan kepada keluarga korban setelah penyerahan jenazah korban.
Padahal, kata dia, ada keluarga korban yang trauma atas kejadian tersebut.
“Ada keluarga korban yang bahkan mendengar kata ‘bakar’ atau melihat hal-hal yang sifatnya ‘bakar’ atau misalkan melihat makanan yang kita tahu itu salah satu jenisnya dibakar itu bahkan sudah tidak kuat,” kata dia.
Ketujuh, pemberian uang Rp30 juta oleh pemerintah sama sekali tidak membantu keluarga korban.
Alih-alih sebagai bentuk tali kasih atau uang bantuan, kata dia, akan tetapi uang tersebut hanya habis untuk keperluan penghiburan atau pendoaan keluarga korban saja.
“Bahkan sebagai perbandingan, kalau kita lihat dalam korban kecelakaan lalu lintas itu uang santunan yang diberikan bahkan sampai Rp 50 juta. Di sini rata-rata yang memberikan kuasanya kepada kami itu mendapatkan Rp 30 juta,” kata dia.
Dari tujuh hal tersebut ia mengatakan empat persoalan mendasar yang terjadi dalam peristiwa tersebut.
Pertama, adanya ketidakterbukaan informasi pada saat penyerahan korban.
Kedua, adanya ketidaklayakan pemulasaran jenazah kepada korban yang meninggal.
Ketiga, adanya penyalahgunaan keadaan yang kemudian berdampak pada hak asasi keluarga korban.
Keempat, ketiadaan ganti rugi kepada keluarga korban sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah atas peristiwa kebakaran.
Oleh karena itu, kata dia, maka setidaknya ada dugaan pelanggaran hak asasi manusia terkait peristiwa ini.
“Atas dasar hal tersebut kami mengajukan pengaduan ke Komnas HAM untuk kemudian ditindaklanjuti,” kata dia.