Resolusi Konflik Papua

Oleh : Al Araf

Direktur Imparsial dan Pegiat di CENTRA Initiative

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Kompas edisi 10/12/2020

Konflik dan kekerasan di Papua belum kunjung berhenti juga. Kematian Pdt. Yeremia Zanambani di Hitadipa, Intan Jaya, Papua menambah deretan angka korban jiwa masyarakat di Papua.

Meski Papua bukan lagi menjadi wilayah yang ditetapkan sebagai status Daerah Operasi Militer (DOM) seperti pada masa Orde Baru rentetan kekerasan terus berulang di masa reformasi ini. Konflik tidak hanya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari aparat keamanan dan kelompok bersenjata, tetapi juga masyarakat.

Hingga kini, rasa aman masyarakat di Papua masih terus terganggu. Beberapa pendekatan dalam penyelesaian konflik di Papua gagal meredam laju kekerasan yang terjadi. Pendekatan keamanan yang dilakukan pada masa orde baru dengan menerapkan status DOM di Papua bukannya menyelesaikan masalah yang terjadi, tetapi justru memperkeruh konflik yang ada dan mengakibatkan terjadinya beragam kekerasan.

Pada masa reformasi, sebagian besar pendekatan penyelesaian konflik di Papua lebih mengedepankan pada aspek ekonomi, mulai dari pemberian otonomi khusus (otsus) pada masa Megawati, pembentukan unit percepatan pembangunan di Papua pada masa SBY hingga pembangunan infrastruktur pada masa era Jokowi. Pendekatan keamanan juga terus dilakukan di masa reformasi ini yang juga memiliki dampak pada terjadinya kekerasan.

Dalam sebuah spektrum konflik internal yang terjadi dalam sebuah negara, pendekatan ekonomi tidak cukup untuk mengatasi konflik yang telah terjadi sekian lama. Penggunaan pendekatan keamanan juga tidak bisa menjadi sandaran utama untuk menyelesaikan konflik. Ada luka dan trauma akibat dari konflik kekerasan yang perlu dijawab oleh negara dengan lebih bijak.

Cara Pandang

Cara pandang pemerintah dalam membaca persoalan Papua menjadi faktor yang akan memengaruhi pilihan pendekatan yang digunakan. Pemerintah cenderung melihat sumber masalahnya adalah “separatisme”. Berbagai sikap dan tindakan sebagian kelompok masyarakat di Papua yang menuntut pemisahan diri dari Indonesia, baik yang dilakukan dengan cara damai maupun dengan metode gerakan bersenjata, jangan dilihat dari satu sisi masalah “separatisme” saja.

Negara perlu melihat bahwa reaksi kelompok-kelompok tersebut adalah akibat dari sejarah panjang Papua yang bertahun-tahun mengalami ketidakadilan dan tindakan represi, khususnya yang terjadi pada masa status DOM ataupun mengalami tindakan kekerasan pada masa reformasi.

Paradigma “separatisme” cenderung menempatkan sikap selalu mencurigai terhadap masyarakat Papua. Esensi paradigma separatisme cenderung mengabaikan kompleksitas akar konflik Papua. Padahal, mengacu studi yang dilakukan LIPI, ada empat sumber konflik Papua. Pertama, masalah sejarah integrasi, status dan identitas politik. Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM di Papua. Ketiga, kegagalan pembangunan. Keempat, marginalisasi orang Papua dan inkonsistensi otsus.

Komnas HAM juga menyebutkan bahwa masalah mendasar di Papua adalah ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap penyelesaian masalah pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan serta semakin menonjolnya masalah ketidakadilan dan diskriminasi dalam politik, ekonomi dan sosial yang dialami oleh rakyat Papua.

Dalam konteks itu, pendekatan pemerintah selama ini belum sepenuhnya menjawab berbagai sumber konflik yang ada dan belum utuh untuk melihat realitas sejarah kekerasan yang terjadi. Pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan konflik akhirnya hanya parsial dan kebijakannya top down. Bahkan, dalam batas-batas tertentu negara mengambil jalan pintas dengan kembali menerapkan pendekatan keamanan yang berujung terjadinya kekerasan.

Bukan satu kali atau dua kali tetapi sudah beberapa kali warga sipil menjadi korban dari konflik yang terjadi di Papua. Pembunuhan terhadap Pdt. Yeremia Zanambani di Hitadipa, Intan Jaya Papua yang diduga kuat dilakukan oleh oknum aktor pertahanan sebagaimana temuan dari Komnas HAM menambah panjang daftar warga sipil yang meninggal akibat konflik yang berlaru-larut.

Konflik yang terjadi juga diwarnai dengan pengungsian warga di Papua seperti di Intan Jaya dan Nduga. Bahkan, fasilitas sipil juga digunakan sebagai tempat untuk menunjang operasi keamanan, seperti sekolah-sekolah sebagaimana terjadi di Intan Jaya. Padahal, penggunaan fasilitas sipil untuk menunjang operasi keamanan dalam sebuah konflik bersenjata adalah sesuatu yang di larang dalam norma hukum HAM internasional.

Impunitas

Sejak masa lalu hingga masa kini jatuhnya korban jiwa warga sipil di Papua seringkali berujung pada ketiadaan penghukuman bagi para pelaku kekerasan. Impunitas (kekebalan) pada para pelaku kekerasan menjadi masalah serius di Papua. Sementara itu, korban terus meratapi keadilan yang tidak kunjung terwujud.

Bukan soal bukti yang tak ada melainkan kemauan politik dan komitmen kemanusiaan yang minim sehingga  penyelesaian kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua tak kunjung tuntas.

Impunitas seolah telah menjadi sesuatu yang biasa saja di Papua. Padahal, impunitas adalah bagian dari kejahatan itu sendiri. Janji politik pemerintah untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua tidak kunjung terealisasikan hingga kini. Pilihan penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tidak terjadi, begitu pula penghukuman melalui jalan pengadilan tak terealisasi.

Kalkulasi politik kekuasaan jauh lebih penting ketimbang mengambil langkah berani untuk memajukan kemanusiaan dengan membawa para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM ke meja peradilan. Dilanggengkannya impunitas memberi dampak pada terus berulangnya kekerasan dan pembatasan HAM di Papua. George Santayana mengatakan bahwa bangsa yang tidak belajar dari masa lalu akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama.

Keadilan bagi korban kekerasan menjadi barang yang mahal di Papua. Absennya keadilan di Papua menjadi salah satu masalah pokok yang menyebabkan konflik terus terjadi. Sekian lama mengalami represi dan sekian panjang deret ketidakadilan terjadi membuat rasa tidak percaya sebagian masyarakat Papua terhadap pemerintah terus berlanjut.

Sejatinya, politik didiskusikan untuk memuliakan dan membahagiakan manusia. Politik diciptakan bukan untuk meminggirkan kemanusiaan dan HAM. Penegasan HAM dalam konstitusi bukan sebatas norma hukum yang indah dibaca, melainkan harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan politik nyata. Oleh karena itu, tanggungjawab penyelesaian kasus kekerasan di Papua adalah kewajiban konstitusional negara yang perlu direalisasikan.

Resolusi Konflik

Pemerintah perlu mencari jalan baru guna menyelesaiakan masalah Papua. Salah satunya melalui pendekatan dialog.

Upaya resolusi konflik yang menyeluruh akan lebih mudah terbentuk jika semua pihak dapat membingkai ulang (reframe) pemahaman mereka tentang tujuan pihak masing-masing serta tentang konflik yang dihadapi itu sendiri, dan mencoba melihat tujuan masing-masing sebagai saling bergantung satu sama lain (positively interdependent) dan melihat konflik tersebut sebagai masalah bersama.

Resolusi konflik itu perlu berpijak kepada prinsip atau nilai-nilai timbal balik (reciprocity), persamaan (equality), falibilitas manusia, kebersamaan, serta prinsip non-kekerasan. (Morton Deutsch and Peter T. Coleman, eds.  The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, 2000)

Indonesia sesungguhnya memiliki modal politik yang penting dan pengalaman sejarah untuk membuka jalan penyelesaian Papua melalui dialog. Modal politik yang pertama tentunya adalah demokrasi yang semakin berkembang di Indonesia. Sebagai negara demokratis, pendekatan dialog memiliki basis dan alasan politik yang kuat.

Kedua, Indonesia memiliki pengalaman menyelesaikan konflik Aceh, Ambon dan Poso secara damai melalui jalan dialog. Sebuah pertanyaan pentingnya, jika pendekatan dialog bisa digunakan di tempat lain, mengapa pendekatan yang sama tidak bisa dilakukan terhadap Papua. Kompleksitas polarisasi kelompok di internal Papua tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menghindari, apalagi menutup, jalan dialog dalam penyelesaian Papua.

Dengan dasar demi kemanusiaan di Papua, semua pihak yang berkonflik di Papua perlu kembali merenungkan bersama untuk mencari jalan penyelesaian konflik di Papua secara damai. Kemauan politik pemerintah untuk membuka meja bersama dengan para pihak yang berkonflik di Papua tentu perlu di coba untuk dilakukan untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian di Papua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDBahasa Indonesia