23 Juni 2021, 11:02:51 WIB
JawaPos.com – Wacana pergantian Panglima TNI mulai ramai diperbincangkan di publik seiring dengan usia Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang akan memasuki masa pensiun pada bulan November 2021 ini.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, meski proses pergantian Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun Presiden tetap perlu mencermati serta mempertimbangkan berbagai pandangan dan saran yang berkembang di publik.
“Pemilihan Panglima TNI tidak hanya berimplikasi kepada dinamika internal TNI, namun juga kepentingan masyarakat pada umumnya. Oleh karenanya, penting bagi Presiden untuk mendengarkan, mencermati, dan mempertimbangkan pandangan dan aspirasi masyarakat,” ujar Gufron dalam keterangannya, Rabu (23/6).
Lebih dari itu, pergantian Panglima TNI tentu juga akan sangat berdampak pada pembangunan kekuatan dan soliditas di dalam tubuh organisasi TNI itu sendiri. Dalam konteks tersebut, proses pergantian Panglima TNI sekiranya juga tetap perlu mempertimbangkan pola rotasi antarmatra yakni darat, laut, dan udara.
Hal itu juga merujuk dalam Pasal 13 ayat (4) UU TNI yang menyatakan bahwa jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
“Penerapan pola rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antarmatra dan berdampak positif pada penguatan soliditas TNI. Pola rotasi jabatan Panglima TNI yang telah dimulai sejak awal Reformasi ini tentu perlu untuk dipertahanankan, apalagi hal tersebut juga telah diamanatkan dalam UU TNI,” katanya.
Lebih jauh, Gufron menilai bahwa proses pergantian panglima TNI juga semestinya dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong kembali agenda reformasi TNI yang saat ini stagnan.
Dalam konteks tujuan tersebut, kandidat Panglima TNI yang dipilih oleh Presiden diharapkan tidak hanya mampu mendorong arah pembangunan TNI yang semakin kuat dan profesional, tetapi juga memiliki komitmen untuk menjalankan agenda reformasi TNI yang belum dijalankan.
Proses reformasi TNI yang telah dimulai sejak 1998 hingga kini memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif, seperti pencabutan dwi-fungsi ABRI, larangan bagi TNI untuk berpolitik dan berbisnis, dan lain sebagainya.
“Namun demikian, proses tersebut masih jauh dari selesai dan masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah yang penting, seperti reformasi sistem peradilan militer, penghapusan komando teritorial, dan lain-lain,” katanya.
Menurut Gufron, calon Panglima TNI yang baru juga harus memiliki komitmen terhadap perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, Presiden harus memastikan bahwa Panglima TNI yang baru terbebas dari catatan pelanggaran HAM serta tidak punya potensi menghambat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM, seperti penyelesaian kasus Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kasus penghilangan paksa 1997-1998, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dan lain-lain.
“Dalam konteks itu, Presiden perlu mendengarkan masukan dari Komnas HAM dan masyarakat sipil terkait rekam jejak HAM calon Panglima TNI,” ungkapnya.
Pada satu sisi, situasi pandemi Covid-19 yang hingga kini belum berakhir memang membutuhkan upaya penanganan yang serius oleh pemerintah. Namun demikian, pergantian Panglima TNI di tengah situasi tersebut tetap harus ditempatkan dalam koridor yang semestinya. Adalah tidak tepat jika konteks pandemi digunakan sebagai alasan untuk mengunggulkan salah satu matra dalam proses penentuan Panglima TNI.
“Dalam konteks itu, Presiden tetap perlu mempertimbangkan rekam jejak, prestasi, serta komitmen terhadap reformasi TNI setiap kandidat. Presiden perlu menghindari pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis dalam pemilihan Panglima TNI karena akan berdampak pada konsolidasi dan profesionalisme TNI itu sendiri,” pungkasnya.