HUKUMAN MATI DALAM PARADIGMA FIQH DAN USUL FIQH

Oleh : Dr. Nurrohman Syarif

Pendahuluan Hukuman mati sampai sekarang masih terus menjadi bahan perdebatan. Perdebatan muncul karena beberapa hal. Pertama, hukuman ini terkadang muncul dari praktek peradilan yang tidak adil (unfair trial). Padahal, seseorang tidak mungkin dihidupkan kembali bila ia telah menjalani hukuman ini , meskipun dikemudian hari , misalnya, terbukti ia tidak bersalah. Kedua, hukuman mati tidak sejalan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yakni hak hidup. Perlindungan terhadap Hak hidup bukan hanya dijamin oleh konstitusi Indonesia, tapi juga merupakan tujuan syariat Islam atau negara Islam.( Abdul Rauf , 2015) Konstitusi Indonesia mengatakan : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”(Pasal 28I ayat 1). Ketiga, meski problematik, hukuman mati masih mendapatkan dukungan di masyarakat karena dianggap sejalan dengan hukum Islam sebagaimana tertera dalam fiqh klasik. Dalam fiqh jinayah klasik , hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman. Misalnya, hukuman mati terhadap muslim yang dianggap murtad, orang yang melakukan zina muhson diancam dengan hukuman mati dalam bentuk rajam (dilempar batu sampai mati). Di Indonesia , tepatnya di Ambon, Laskar Jihad pernah mempraktekkan hukuman mati dalam bentuk rajam terhadap anggotanya yang telah berbuat zina.( Nurrohman,2012) Hukuman mati juga dijadikan sebagai sanksi bagi seorang pembunuh yang kemudian dibalas dengan dibunuh lagi (qishash). Ancaman hukuman mati juga ditujukan bagi orang yang murtad.( Ibn Rusyd,tt:343) Anggapan seperti inilah yang menjadikan hukuman mati sulit dirubah atau dihapuskan. Padahal, jika menilik pada sejarah ataupun kisah-kisah di masa Rasulullah,ditemukan bahwa semangat hukum Islam sebenarnya tidak hanya menghukum melainkan juga memperbaiki. Hal ini terlihat dari peran taubat, pemaafan dan diyat (kompensasi) dalam mengurangi atau menghapuskan hukuman. Tulisan ini bermaksud membahas hukuman mati dilihat dari paradigma fiqh (fiqh paradigm) yang didalamnya termasuk usul fiqh. Secara umum, cara pandang Muslim dapat dibagi menjadi tiga paradigma, secular, Islamic ideological, dan fiqh paradigms. (Rochmat, 2017) Paradigma fiqh digunakan karena paradigma ini dinilai merupakan paradigma yang moderat dan akomodatif sehingga dapat menjembatani gap antara dua paradigma yang lain. Paradigma fiqh melihat fiqh sebagai produk hukum yang tidak dapat dipisahkan dari metodologi yang digunakannya yakni ushul fiqh, kaidah fiqh, tujuan fiqh serta interaksi fiqh dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Paradigma fiqh memungkinkan seorang Muslim dapat menghargai dan toleran terhadap beragam pendapat fiqh yang lahir dari perbedaan ushul fiqh yang digunakannya. Paradigma fiqh memungkinkan fiqh beradaptasi dan dapat dipraktekkan dalam kontek negara Indonesia yang berdasar Pancasila. ( Rochmat , 2014 dan Syarif,2016) Paradigma fiqh adalah cara pandang yang melihat fiqh sebagai norma umum dan system tertinggi yang digunakan bersama oleh masyarakat dan dinasti yang berkuasa serta mengikat mereka semua. Ia merupakan hukum moral yang menciptakan dan memelihara keteraturan masyarakat dengan baik. “a central system of high and general norms by societies and the dynastic power that ruled over them. It was a moral law that created and maintained a “well ordered society” ( Hallaq, 2013:7) Paradigma fiqh adalah cara pandang yang melihat fiqh atau hukum Islam sebagai pedoman moral yang terkait dengan keimanan namun dinamis , luwes dan mengalami proses evolusi sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Paradigma fiqh adalah paradigma yang tidak mempertentangkan antara iman dan pemikiran, karena keduanya sama-sama bisa berkembang dan saling menguatkan. ( Iqbal,1934:171)

Pembahasan dalam kajian ini meliputi pengertian fiqh, syariat dan hukum Islam serta relasinya dengan ushul fiqh , karakteristik fiqh , tujuan fiqh atau hukum Islam , evolusi atau perubahan yang terjadi dalam fiqh, hukuman mati dalam fiqh serta peluang penerapan restorative justice untuk terpidana mati di Indonesia dilihat dari paradigma fiqh. Keadilan Restoratif (restorative justice) di sini adalah proses yang berpedoman pada seperangkat nilai yakni : penyembuhan korban, akuntabilitas pelaku, pemberdayaan individu, rekonsiliasi, reparasi atas kerugian apa pun yang disebabkan oleh kejahatan, orientasi masyarakat, informalitas serta pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan dan inklusivitas. ( Zernova,2007:2)

Pengertian Fiqh, Syariah, Hukum Islam dan Relasinya dengan Usul Fiqh

Menurut bahasa fiqh adalah al-fahm yang artinya memahami atau mengetahui. Abu Hanifah (699-767 M) mendefinisikan fiqh dengan: (عليها وما لها ما النفس معرفة ) ma’rifatu al-nafsi ma laha wa ma ‘alaiha) atau pengetahuan seseorang tentang apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi dirinya. Fiqh dalam pandangan Abu Hanifah memiliki pengertian yang luas meliputi, akidah(keyakinan) , akhlak/tasawuf dan juga muamalah. Ini yang dimaksud dengan fiqh akbar atau fiqh dalam arti luas. Dalam perkembangannya, ilmu fiqh dipisahkan dari akidah, dan akhlak tasawuf, sehingga ulama Hanafiyah mendefinisikannya : ma’rifatu ma li al-nafsi wa ma ‘alaiha minal ahkam al-amaliyyah yakni pengetahuan seseorang tentang perbuatan atau prilaku praktis yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi dirinya. Imam Syafii ( 767 – 820 M) mendefinisikan fiqh: al-ilmu bi al-ahkam al-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha al-tafsiliyyah. (al-Zuhaily ,(1985: juz I:15-17) Yakni ilmu tentang hukum-hukum syara terkait prilaku praktis yang diambil dari petunjuk-petunjuk (dalil) yang rinci. Hukum syara atau hukum syariat didefinisikan sebagai khitabu Allah al-muta’alliqu bi af’al al-mukallafin ( firman Tuhan yang ditujukan kepada orang yang telah dewasa dan berakal sehat). Firman Tuhan pada umumnya dipahami oleh umat Islam sebagai wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada nabi Muhammad dalam bentuk kitab suci al-Qur’an yang berisi sejumlah ayat. Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa ayat-ayat Tuhan tidak hanya dapat dijumpai dalam al-Qur’an tetapi juga dapat dijumpai di alam semesta bahkan dalam diri manusia sendiri (QS.41:53) Akan tetapi pada saat berbicara tentang hukum syara, ayat-ayat yang dirujuk oleh fuqaha sebagai dalil untuk menggali fiqh adalah ayat-ayat al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an oleh Imam Syafii serta fuqoha lainnya ditempatkan sebagai dalil pertama pada saat menggali fiqh. Selain al-Qur’an, dalil yang digunakan untuk menggali hukum syara adalah al-Sunnah, ijma dan qiyas. Wahbah Al-Zuhaili ( 1932 – 2015 M) pakar fiqh kontemporer dalam kitabnya Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh menyebutkan bahwa dalil-dalil syara itu tidak hanya empat sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafii, tetapi sebelas yakni: 1) alQur’an 2) al-Sunnah, 3) Ijma 4) Qiyas 5) Istihsan 6) al-Mashlahat al-Mursalah 7) Uruf 8) syar’u man qablana 9) madzhabu al- shahabi 10) syadzdzu al-dzara’i, 11) al-istishab. (al-Zuhaily, 1995).

Dalil-dalil inilah yang digunakan oleh para fuqaha dalam menggali fiqh atau hukum Islam. Metodologi penggalian fiqh disebut ilmu ushul fiqh. Ilmu Ushul Fiqh itu sendiri berisi kaidah dan pembahasan yang digunakan untuk menggali hukum syara yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci. (Khallaf,1968:12) Ilmu ushul Fiqh dirintis oleh Imam Syafii. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh keinginan beliau untuk mencari sintesa atau jalan tengah diantara dua kelompok yang memiliki perbedaan tajam dalam menggali fiqh yakni kelompok tradisionalis ( ahl al-hadits) dan kelompok rasionalis (ahl al-ra’yu). Kelompok pertama cenderung tekstualis, artinya memahami fiqh sesuai dengan bunyi teks yang tertera dalam al-Quran dan Hadits. Kelompok kedua cenderung substansialis, artinya teks itu menjadi acuan, tatapi yang lebih penting adalah substansi yang dapat digali dari teks. Imam Syafii ingin membuat keseimbangan antara sikap tradisionalis madzhab Maliki dan pragmatism (rasionalisme) madzhab Hanafi. (Kamali, 2008:80) Selain Imam Syafii, para pengikut Imam Maliki atau Imam Hanafi juga terus mengembangkan metode atau ushul fiqhnya masing-masing, sehingga dunia Islam kemudian menyaksikan lahirnya berbagai madzhab fiqh. Sampai sekarang madzhab fiqh secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua yakni kelompok tradisionalis dan kelompok rasionalis dengan berbagai varaiannya. Fiqh adalah produk hukum yang dihasilkan dari berbagai metode (ushul Fiqh). Fiqh dalam bahasa Indonesia disebut hukum Islam (Ash Shiddieqy, 1975), dalam bahasa Inggris disebut Islamic law (Schacht ,1983), atau shari’ah law.( Kamali,2008).

Istilah syariah sering digunakan dalam wacana masa kini seolah-olah sinonim dengan Islam itu sendiri, sebagai totalitas kewajiban umat Islam dalam arti pribadi, agama, institusi sosial, politik, dan hukum (An- Na’im, 2014:311). Penggunaan ini tidak sepenuhnya keliru, sebab syariah menurut bahasa adalah jalan (Qur’an surah:45 ayat:18). Syariah secara umum berarti cara atau jalan yang ditempuh manusia dalam menjalani kehidupan mereka — baik sebagai individu, sebagai masyarakat, atau sebagai komunitas agama. Sebagai jalan bagi umat manusia untuk menuju Tuhannya, syariat yang diturunkan Tuhan kepada manusia melalui nabi-Nya pasti mengandung keadilan , kemaslahatan, kasih sayang (rahmat) dan kebijaksanaan atau kearifan (hikmah). Jadi, selamanya, atau idealnya, syariah sebagai hukum Tuhan itu adil, maslahat membawa rahmat dan mengandung hikmah. Dalam kitabnya yang berjudul, I’lam al-Muwaqi’in, jilid III, Ibn Qayyim Al-jauziyah (Al-jauziyah ,1998 jilid III:37) mengatakan : fa inna al-syari’ata mabnaha wa asasuha ‘ala hikamin wa mashalihi al-‘ibad fi al-ma’asy wa alma’ad wa hiya ‘adlun kulluha wa rahmatun kulluha wa mashalihun kulluha wa hikmatun kulluha. Oleh karena itu fiqh atau Syariah yang mengandung ketidak adilan, tidak membawa maslahat, tidak membawa rahmat serta tidak bijaksana atau tidak sejalan dengan kearifan local, maka susungguhnya ia bukan syariat yang sebenarnya. Lengkapnya Ibn Qayyim mengatakan demikian:

Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa syariat sebenarnya dapat dilihat dari dua perspektif, pertama dari perspektif Tuhan ,kedua dari perspektif manusia. Dengan kata lain ada ideal syariat dan actual syariat. Aktual syariat adalah syariat sebagaimana dipahami manusia dalam bentuk fiqh melalui metode ushul fiqh yang diciptakannya. Perbedaan metode dapat melahirkan perbedaan hasil. Oleh karena itu, dilihat dari hakikat dan perkembangannya, Otto memilah syariat menjadi empat kategori, divine abstract sharia, classical sharia, historical sharia dan contemporary sharia (Otto, 2011: 25,26). Divine abstract sharia adalah nilai abadi dalam syariat yakni, nilai keadilan, nilai kemaslahatan, nilai kasih sayang, nilai kearifan atau hikmah. Mengingat dalam sejarah , selalu ada gap antara ideal dan actual, kategori ini sekaligus menunjukkan bahwa syariat dalam aktualisasinya itu dinamis sejalan dengan dinamika perkembangan metodologi (ushul fiqh). Dinamika dan evolusi yang terjadi dalam fiqh tidak dapat dipisahkan dari evolusi dan dinamika yang terjadi dalam usul fiqh. (Hallaq,2005)

Karakteristik Fiqh

Dalam tulisannya yang berjudul “Syariat Islam dalam Perspektif Negara Hukum berdasar Pancasila” , Nurrohman Syarif ( Syarif,2016) menyebutkan bahwa Hukum Islam setidaknya memiliki lima karakter. Pertama, hukum Islam mengandung nilai sakral dan ideal karena ia berasal dari Tuhan. Sebagaimana dijelaskan sejumlah pakar, hukum Islam berasal dari firman Tuhan. Nilai ideal hukum Islam, menjadikannya tidak dapat dibatasi dengan semata-mata pada bunyi huruf yang tertulis dalam kitab suci. Karena bunyi teks yang dipahami secara harfiah dapat menutupi pesan moral yang bersifat abadi dan universal. Fazlur Rahman dalam bukunya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, mengatakan : To insist on a literal implementation of the rules of the Qur’an, shutting one’s eyes to the social change that has occurred and that is so palpably occurring before our eyes, is tantamount to deliberately defeating its moral-social purposes and objectives. (Rahman,1984:19 ).

Karakter kedua bahwa hukum Islam mengandung muatan moral. Ia tidak hanya berbicara hak dan kewajiban tetapi berbicara tentang apa yang sebaiknya diperbuat dan apa yang sebaiknya tidak diperbuat oleh seorang yang dewasa dan berakal sehat (mukallaf). Sebagai hukum agama, hukum Islam terkait dengan kesadaran beragama yang dimiliki oleh seseorang. Ia juga terkait dengan kesadaran seseorang akan adanya pahala dan siksa di kehidupan akhirat setelah mati. Karakter ketiga ialah bahwa hukum Islam pada dasarnya bersifat personal. Sebab ia terkait dengan keimanan. Artinya seseorang mengikuti petunjuk hukum Islam karena dorongan keimanannya kepada Nabi Muhammad atau kitab suci al-Qur’an. Setiap Muslim karena kesadaran imannya, bisa mengamalkan hukum Islam dimanapun ia berada. Meskipun sifatnya personal, hukum Islam dapat membentuk komunitas yang memiliki kesamaan iman, karenanya disamping bersifat personal , hukum Islam juga memiliki aspek communitarian.(Kamali, 2008:60 ) Sifat communitarianism inilah yang menjadikan hukum Islam akan dipraktekkan dimanapun atau di negara manapun, jika di dalamnya terdapat komunitas Muslim.

Inilah yang disebut dengan teori kredo oleh Profesor Juhaya S.Praja. (Praja, 2009 ) Hukum Islam bisa diamalkan di Negara Islam, di Negara sekuler atau di Negara Pancasila. Hanya saja ,pada aspek sanksi pidana , hukum Islam memerlukan dukungan kekuasaan. Sebab orang Islam pada dasarnya tidak boleh melanggar hukum public yang berlaku di suatu negara, dimana ia tinggal. Karakter keempat, hukum Islam fleksibel , dinamis dan plural. Sebab ia pada dasarnya bisa berubah jika terjadi perubahan social. Ia dinamis karena bisa berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia. Mohammad Hashim Kamali menyebutnya prinsip continuity and change (Kamali, 2008:49) dan prinsip gradualness and pragmatism . (Kamali, 2008:59) Oleh karena itu homogenisasi hukum sebenarnya tidak didukung oleh fakta empiris maupun historis.

Karakter kelima, hukum Islam tidak sepenuhnya bergantung pada Negara tertentu. Hukum Islam adalah hukum yang dikembangkan oleh ahlinya atau fuqaha. Ia dikembangkan oleh para pakar hukum. Negara tidak merumuskan hukum, Negara mengangkat hakim untuk melaksanakan hukum. Sistem Hukum Islam dapat disebut juristic law, varian ketiga, bukan civil law atau common law, sebab hokum Islam dalam sejarahnya digali dan dikembangkan oleh para ahli hukum Islam atau para fuqaha mujtahid. (Black, Ismaeili dan Hosen ,2013:xi).

Setidaknya ada sembilan prinsip yang dapat diambil dari kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber atau dalil utama untuk menggali dan mengembangkan fiqh. Kesembilan prinsip itu adalah : 1) prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban individu. ( QS.99:7-8) 2) prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Allah, (QS.49:13) 3) prinsip keadilan, (QS. 5: 8) 4) prinsip persamaan manusia di hadapan hukum, (QS. 5: 8) 5) prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, (QS.2:179) 6) prinsip kritik dan kontrol sosial, (QS.103:1-3) 7) prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan, (QS.17:34) 8) prinsip tolong menolong untuk kebaikan, (QS. 5:2) (Mas’udi, 1997: 29-30) 9) prinsip menjunjung tinggi kehormatan manusia. (Q.S.17:70).

Tujuan Fiqh Al-Qur’an menggambarkan tujuan syariat ketika menyatakan: “Hai manusia, telah datang kepadamu petunjuk dari Tuhanmu; itu adalah penyembuhan untuk penyakit (rohani) dalam hatimu dan itu adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. 10:57). Pesan disini melampaui semua penghalang yang memisahkan umat manusia; tidak ada yang harus menghalangi belas kasihan dan kebaikan yang dimaksudkan Allah untuk semua manusia. Hal ini ditegaskan dalam bagian lain di mana Al-Qur’an menggambarkan tujuan misi Nabi untuk menjadi rahmat tidak hanya untuk umat manusia, tetapi untuk semua makhluk Tuhan (QS. 21:107). Rahmat merupakan istilah yang kandungan maknanya meliputi compassion (belas kasih),), kindness (kebaikan) , goodwill (niat baik) dan beneficence. (kemurahan hati). (Kamali, 2008:27) Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (w. 1356) menjelaskan bahwa syariat bertujuan untuk menjaga kepentingan manusia di dunia ini dan di akhirat. ‘Secara keseluruhan, syariat mengandung keadilan, belas kasihan (rahmat) dan kebijaksanaan (hikmah). Jesser Auda dalam bukunya Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law mengatakan sebagai berikut:

Shari’ah is based on wisdom and achieving people’s welfare in this life and the afterlife. Shari’ah is all about justice, mercy, wisdom, and good. Thus, any ruling that replaces justice with injustice, mercy with its opposite, common good with mischief, or wisdom with nonsense, is a ruling that does not belong to the Shari’ah, even if it is claimed to be so according to some interpretation. (Jesser Auda , 2007:xxii)

Oleh karena itu fiqh atau hukum Islam sebenarnya hadir untuk melindungi aspek penting yang menjadi kebutuhan dasar manusia yakni perlindungan terhadap agama dan keyakinannya (preserving of faith) , perlindungan terhadap kehidupan atau jiwa (soul), perlindungan terhadap harta atau kekayaan (wealth) , perlindungan terhadap kebebasan berpikir (mind), perlindungan terhadap keluarga atau keturunan (offspring) , serta perlindungan terhadap kehormatan diri (honor). (Auda, 2007:3) Ada tujuh hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara atau masyarakat, menurut al-Jabri yaitu: 1) hak untuk hidup dan menikmatinya (the right to life and its enjoyment) 2) hak untuk percaya atau berkeyakinan (the right to believe) 3) hak untuk mendapatkan pengetahuan (the right to gain knowledge) 4) hak untuk tidak setuju, (the right to disagree) 5) hak untuk berkonsultasi, (the right to consultation) 6) hak persamaan dan keadilan (the right of equality and justice) 7) hak-hak kaum tertindas (the rights of the oppressed)(Al-Jabri, 2009). Selain melindungi hak dasar manusia, hukum Islam juga bertujuan untuk menegakkan keadilan antara umat Islam dan umat manusia lainnya. Kesetaraan adalah salah satu pesan utama Nabi Muhammad dalam khutbah terakhirnya. Norma-norma dalam Al-Qur’an memiliki tujuan akhir untuk membangun keadilan sosial dalam masyarakat yang egaliter. (Rahman, 1984: 19) Jadi, meskipun banyak model dalam mempraktekkan syariat , semuanya itu pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yakni untuk mewujudkan kemaslahatan untuk seluruh umat manusia. (Syarif, N., Astarudin, T., Safe’i, A. and Sar’an, M, 2020)

Evolusi dan Perubahan yang Terjadi dalam Fiqh

Fiqh atau hukum Islam dalam sejarahnya mengalami proses evolusi atau perubahan. Evolusi dan perubahan merupakan proses alamiah dan sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad sendiri. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah Yang Maha Perkasa akan mengutus di dalam umat ini (mujaddid-mujaddid) pada setiap permulaan seratus tahun, yang akan memperbaharui agama-Nya.” (Abu Daud, juz II ,hal 240; Misykat, hal 25, Kitabul Ilmi). Evolusi dan perubahan ini terlihat pada fiqh perbudakan dan fiqh poligami. Perbudakan adalah fakta historis. Ia merupakan bagian dari sistem sosial ekonomi yang telah mapan yang menjadi bagian dari budaya pra Islam. Akan tetapi secara sosiologis, perbudakan kemudian diatur dengan cara yang berbeda, dimana pembebasan perbudakan sangat dianjurkan. Pengaturan yang berbeda ini memiliki makna filosofis agar perbudakan bukan lagi menjadi bagian dari sistem sosial ekonomi. Lalu, apa signifikansi adanya narasi perbudakan dalam kitab suci ? Wacana al-Qur’an tentang perbudakan dikaji sebagai bukti sejarah. Karena tujuan akhir, yang tak terkatakan , dari legislasi adalah penghapusan perbudakan. Meskipun nalar yang disimpulkan dari pesan-pesan al-Qur’an terkait perbudakan cukup jelas, tetapi keputusan Sultan Turki Usmani untuk menghapus perdagangan budak di pasar Istambul , baru dikeluarkan pada tahun 1847 oleh Sultan Abdul Majid I , yang dikenal memiliki pemikiran reformis, atau 14 tahun setelah Inggris mengeluarkan undang-undang penghapusan perbudakan,1833. Saudi Arabia dan Yaman baru menghapuskan perbudakan pada tahun 1962. Pada level kebijakan negara, pada tahun 1981, Mauritania adalah negara Muslim terakhir yang dapat menerima penghapusan perbudakan . Sungguhpun demikian, pada tahun 1997, masih ada ulama di Mauritania yang menyatakan bahwa penghapusan perbudakan itu bertentangan dengan hukum Islam. Pada tahun 2003, Syekh Saleh al-Fawzan salah satu ahli hukum papan atas di Saudi Arabia berpendapat bahwa perbudakan itu halal dalam Islam dan karenanya harus dilegalkan. Beliau menuduh sarjana Muslim yang mengecam perbudakan itu bodoh (ignorant) atau bahkan kafir (infidels). ( Akyol, 2021:70-71).

Demikian pula polygamy atau lebih tepatnya poligini. Fakta historis memperlihatkan bahwa praktek poligini pra Islam adalah poligini tidak terbatas.Kemudian secara sosiologis, Islam membatasi poligini dengan empat istri secara adil meskipun dalam perspektif filosofis , sikap adil dalam poligini itu tidak mungkin, artinya bahwa monogami amat ditekankan. Lalu, apa signifikansi adanya narasi poligini dalam kitab suci ? Narasi ini menunjukkan bahwa tujuan akhir legislasi adalah monogami. Pesan yang tak terkatakan adalah bahwa poligami itu dilarang. (Ridwan,2013) .Ulama kontemporer yang secara tegas menyatakan bahwa poligami itu haram adalah Muhammad Abduh. Menurut Abduh, sebagaimana ditulis oleh Rasyid Rida dalam Tafsir al-Manâr , poligami menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil. Pada akhir tafsirnya, Abduh mengatakan dengan tegas poligami haram qat’i karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia.( Ridla, tt, jilid IV:347-350) Meskipun pandangan Abduh belum menjadi pandangan mayoritas di kalangan ulama, namun pandangan beliau didasarkan pada dalil dan argumentasi yang cukup kuat sehingga dewasa ini terdapat lima negara dengan berpenduduk mayoritas Muslim yang melarang praktek poligami. Kelima negara itu ialah : 1) Tunisia,2) Turki 3) Uzbekistan, 4) Kirgizstan,5) Tajikistan. Perkawinan poligami di Indonesia harus mendapat izin dari pengadilan dan hanya dapat dilangsungkan setelah adanya persetujuan istri yang ada. (2020, Global Conference on Muslim Family Law Reform, November 23-28 ) Evolusi dan perubahan tidak hanya terjadi pada fiqh perbudakan dan poligami, tetapi juga terjadi dalam fiqh lainnya.

Ungkapan “yang tak terkatakan“ dalam proses evolusi fiqh perbudakan dan poligami, di samping mengarah pada tujuan akhir dari evolusi hukum Islam juga menunjukkan bahwa hukum Islam itu sumbernya tidak terbatas pada sumber tertulis dalam kitab Suci Al-Qur’an. Selain kitab Suci , hukum Islam dapat digali dari sumber lain seperti: filsafat hidup yang digali dari kearifan lokal , ilmu pengetahuan atau hikmah. Kata hikmah, yang dapat diartikan sebagai pandangan hidup yang holistic yang didukung oleh perpaduan harmonis antara sistem nilai, corak berpikir serta kemajuan sains atau teknologi di suatu masyarakat. Hikmah amat penting dalam tradisi para nabi. Hikmah disebut berbarengan dengan kata al-Kitab dalam al-Qur’an sebanyak sembilan kali, yaitu tiga kali dalam surat al-Baqarah (1) QS 2 al-Baqarah : 129 (2) QS 2 al-Baqarah : 151 (3) QS 2 al-Baqarah : 231, dua kali dalam surat Ali Imran (1) QS 3 ali Imran : 46 (2) QS 3 Ali Imran :164, dua kali dalam surat An-Nisa yaitu : (1) QS.4 An-Nisa :54 (2) QS 4 an-Nisa : 113 , satu kali dalam surat al-Maidah yakni QS 5 al-Maidah :110 dan satu kali dalam surat Al-Jumu’ah yakni QS.62 al-Jumu’ah :2.

Mengapa hikmah itu penting untuk melengkapi al-Kitab? Sebab berdasarkan informasi al Qur’an ayat-ayat Tuhan tidak hanya bisa dijumpai dalam teks-teks kitab suci, tapi juga bisa dijumpai di alam jagad raya bahkan bisa dijumpai dalam diri manusia sendiri. Sehingga pada dasarnya mustahil bila kebenaran yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang ada di alam semesta bertentangan dengan kebenaran yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang ada dalam kitab suci. Kebenaran teologis mestinya sejalan dengan kebenaran logis, kebenaran empiris dan bahkan kebenaran pragmatis. Kebenaran agama mestinya sejalan dengan kebenaran sains. Oleh karena itu, evaluasi fiqh akan terus terjadi selama kehadiran fiqh belum membawa keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Izuddin bin Abd as-Salam , ahli fiqh Madzhab Syafi’i , misalnya, menegaskan : “Setiap tindakan hukum dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia , bukan untuk kepentingan Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkan manusia. Kebaikan manusia tidak menambah kebesaran Tuhan dan kedurhakaan manusia tidak mengurangi kebesaran-Nya. Oleh karena itu, tindakan/keputusan hukum yang tidak memenuhi tujuan tersebut adalah batil.” (Abd As Salam, 1980:73).

Oleh karena itu, meskipun pilar atau rukun agama secara umum, termasuk agama Islam, pada dasarnya tidak berbeda dan tidak berubah yakni : 1) Iman kepada Allah (al-iman bi Allahi ta’ala ,2) Iman kepada hari akhir (aqidatu al-ba’tsi wa al-jaza) 3) berbuat baik.(al-amal alshalih ) ( Ridla,2005:121-132.),namun cara seorang Muslim memahami, menghayati dan mempraktekannya dalam bentuk fiqh itu berkembang sejalan dengan perkembangan pengetahuan , peradaban dan cara berpikirnya. Sebab fiqh digali dan dikembangkan melalui beragam metode interpretasi yang rasional. (a rational method of interpretation) (Schacht, 1983:4) Ragam interpretasi rasional yang digunakan mujtahid dalam ijtihadnya tercermin dalam berbagai bentuk seperti analogical reasoning (qiyas), juristic preference (istihsan), presumption of continuity (istishab), dan juga yang diambil dari general konsensus atau ijma’. (Kamali, 2008: 19).

Secara garis besar, metode mujtahid dalam menggali fiqh dapat dikelompokan menjadi tiga, bayani, burhani dan irfani. Dalam metode bayani, penalaran hukum digali dari sumber fiqh yang berupa teks keagamaan melalui pendekatan kebahasaan. Keabsahan kebenarannya diuji melalui teori kebenaran korespondensi. Dalam metode irfani, fiqh digali melalui proses iluminasi yang bersumber dari intuisi. Pendekatan yang digunakan adalah psiko-gnostik atau pengetahuan mistik yang bersifat esoteris (esoteric mystical knowledge). Keabsahan kebenaran metode ini diuji melalui kebenaran Intersubjektif. Dalam metode burhani, fiqh digali melalui penalaran rasional dengan cara melakukan analisis terhadap wacana. Pendekatan yang digunakan adalah logika dan keabsahan kebenarannya diukur dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. (Al-Jabri, 2011: 56-57).

Inilah yang menjadikan fiqh mengalami proses evolusi secara dinamis. ( Hallaq,2005) Agar fiqh dalam perkembangannya tidak keluar dari karakter dasarnya, profesor Hasbi Ash Shiddieqy , salah seorang pakar fiqh atau hukum Islam , merumuskan 6 asas pembinaan fiqh atau hukum Islam yang juga digali dari al-Qur’an . Keenam asas itu ialah : 1) Menghilangkan kesulitan (QS 22:78 dan QS 2:286. 2) menyedikitkan aturan (QS 66:1) 3) sejalan dengan kemaslahatan (QS 21:107) 4) mewujudkan keadilan yang merata (QS 5 ;8) 5) mendahulukan akal atas dzahir nash (QS 17: 36) 6) masing-masing orang memikul tanggung jawabnya sendiri. (QS 6:164) (Ash Shiddieqy 1975: 73-92) Dalam perkembangannya, selain dikendalikan oleh tujuannya, evolusi dan perubahan fiqh juda dikendalikan oleh standar moralitas agama atau religious standards and moral rules (Schacht, 1983:4)

Perkembangan ini terus berlangsung sampai sekarang sejalan dengan perkembangan manusia, baik secara individu maupun secara sosial. Secara individu, seseorang dapat menemukan atau memperbaharui keimanannya (discovery) justru setelah melalui proses berpikir. (Iqbal,1934:171) Iman yang telah melalui proses pemikiran , pendalaman sampai penemuan kembali (discovery) tentu akan lebih kokoh dan menyatu dalam diri seseorang, ketimbang iman yang semata-mata diterima atau ditempelkan begitu saja dari “luar” lewat indokrinasi atau sebagai dogma yang diterima begitu saja sebagai tradisi atau warisan leluhur. Secara kolektif, perkembangan fiqh dapat muncul dari cara ijtihad “baru” yang muncul dalam iklim demokrasi dan kebasan berpendapat , seperti digambarkan oleh Fazlur Rahman: ijtihad must be multiple effort of thinking minds – some naturally better than other , and some better than other in various areas – that confront each other in open arena of debate , resulting eventually in an overall consensus, (Rahman, 1979:325).

Hukuman Mati dalam Fiqh

Dalam fiqh, perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup ditempatkan sebagai perlindungan yang paling utama. Pentingnya perlindungan terhadap hak hidup tercemin dalam Al-Qur’an. AlQur’an menggambarkan bahwa membunuh atau mencabut hak hidup seseorang diibaratkan seperti membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, menyelamatkan satu jiwa juga seperti menyelamatkan seluruh umat manusia. ( QS.5:32) Oleh karena itu, orang yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain diancam dengan hukuman mati. Dalam fiqh, hukuman ini disebut qisas atau balasan yang setimpal, nyawa dibalas nyawa. Maksudnya , agar orang yang mempunyai niat menghilangkan nyawa orang lain, segera mengurungkan niatnya. Selain qisas bagi pembunuhan yang disengaja, fiqh juga mengenal tindak pidana (jarimah) lain yang juga diancam dengan hukuman mati seperti murtad. Melalui sebuah hadits yang berbunyi: “Man baddala dinuhu faqthuluhu” (barang siapa menggati agamanya, maka bunuhlah dia), kitab-kitab fiqh, terutama fiqh klasik, menempatkan riddah (keluar dari agama Islam) sebagai tindak pidana atau kejahatan yang diancam dengan ancaman hukuman mati. Sejumlah ulama kontemporer memandang hukuman ini sudah tidak relevan untuk kontek sekarang . Setidaknya ada dua alasan yang digunakan ulama kontemporer. Pertama , hukuman mati terhadap orang murtad tidak dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an. Kalaupun hukuman ini sempat dipraktekkan pada masa klasik, sifatnya adalah kondisional atau temporer.

Nurcholish Madjid, salah satu ulama kontemporer di Indonesia, berpandangan bahwa di awal-awal Islam, bila seseorang menjadi muslim, ia sekaligus menjadi anggota Militer. Dia mencontohkan ketentuan negara Amerika, di mana setiap warga negaranya adalah tentara, dan mesti memenuhi panggilan dan tugas negara. Dalam kontek waktu itu pindah agama merupakan tindakan desersi (keluar dari ketentuan ketentaraan), yang sesuai ketentuan tindakan ini adalah pemberian sanksi bunuh. Hal ini karena belum dikenal konsep negara modern dan kebangsaan atau Nation State. (Monib dan Bahrawi, 2011:192) M. Quraish Shihab dalam penjelasannya mengatakan bahwa sekalipun ada Hadis yang berkaitan dengan larangan pindah agama, maka Hadis-hadis itu harus dilihat sebagai bentuk kebijaksanaan di dalam menata suatu masyarakat. Sebab boleh jadi itu berlaku untuk masyarakat tertentu dan tidak untuk masyarakat lain. Bahkan sekiranya itu merupakan kebijakan Nabi, maka kebijakan itu harus dilihat dalam posisi Nabi sebagai apa: sebagai Rasul, pemberi fatwa, sebagai hakim, atau sebagai pemimpin masyarakat yang arah kebijakannya bisa berbeda-beda karena perbedaan situasi dan kondisi. (Shihab, 1998:190) Dengan pernyataannya ini, Shihab hendak menegaskan bahwa larangan pindah agama seperti diujarkan Hadis itu bersifat kontekstual bukan universal. Dalam kontek Indonesia dewasa ini, hukuman mati bagi orang yang pindah agama tentu tidak cocok. Pandangan Nurcholish Madjid dan Quraish Shihab , didukung oleh Azizah. ( Azizah, 2015). Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan hukuman bagi orang murtad, adalah karena adanya perubahan dalam memaknai perlindungan agama sebagai salah satu tujuan syariah. Kalau dulu, perlindungan agama diartikan sebagai perlindungan atas kemurnian agama(protection of true belief), sekarang dimaknai sebagai perlindungan atas kebebasan beragama (freedom of beliefs). Salah satu provinsi di Indonesia yakni Aceh yang memiliki Qanun Jinayat, tidak memasukkan murtad sebagai tindak pidana. Sepuluh jenis jarimah atau kejahatan yang diatur dalam Qanun Jinayat Aceh Nomor 6 Tahun 2014, yaitu: zina, qadzaf, pemerkosaan, pelecehan seksual, khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, liwath dan musahaqah.

Selain murtad, kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman mati dalam kitab fiqh klasik adalah tindak pidana pembunuhan dengan sengaja atau yang dikenal dengan jarimah qisas. Dasarnya adalah teks al-Qur’an menyatakan: Artinya: Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. Al-Nisa” [4]: 93). Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga. Orang yang melakukan perzinahan padahal ia sudah pernah nikah (zina muhson) juga diancam dengan hukuman mati melalui sanksi berupa rajam, yakni dilempari batu sampai mati. Berikutnya adalah perampokan (hirabah).Para ulama fiqh, sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuhaily , berbeda pendapat dalam mendefinisikan hirabah. Definisi hirabah menurut Hanafi adalah ke luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau mengambil harta, atau membunuh orang. Sedangkan Syafi’iyah definisi hirabah adalah:ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan). Menurut Imam Malik, hirabah adalah: mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak. Golongan Dzahiriyah memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan sebagai berikut: Perampok/Muhariib adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan perusakan di muka bumi. Hukuman bagi jarimah (tindak pidana) ini ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut: Atinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (Al-Maidah [5]: 33) Mengacu pada ayat ini, hukuman terhadap pelaku hirabah, menurut Ulama Hanafiyah adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara berseling, diasingkan atau di ta’zir. (Al-Zuhaily,1985, jilid 6 hlm.136).

Tindak pidana berikutnya yang diancam hukuman mati adalah pemberontakan (al Baghyu). Menurut Istilah al-baghyu adalah Pemberontakan dan keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah). Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan ada tiga unsur pemberontakan: a. Pembangkangan terhadap kepala negara b. Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan c. Ada niat yang melawan hukum. Sanksi pidana maksimal terhadap pemberontakan adalah dihukum mati, berdasarkan firman Allah surat al Hujurat ayat 9: Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Akan tetapi opsi memberikan maaf juga dimungkinkan dengan merujuk pada arahan Ali Ibn Abi Thalib saat dirinya ditusuk oleh Ibn Muljam. (Al-Zuhaily, 1985, jilid 6 hlm.146).

Jadi, setidaknya ada 6 tindak pidana (jarimah) dalam fiqh yang pelakunya berpotensi untuk dihukum mati yakni :1) murtad 2) pembunuhan dengan sengaja 3) Zina muhson 4) perampokan (hirobah) 5) Pemberontakan (al-baghyu).

Para ahli fiqh membagi hukuman dalam pidana Islam kedalam tiga kategori, yakni qishash (balasan setimpal), hudud (sanksi yang ditentukan oleh nash Qur’an atau hadits) dan ta’zir. ( sanksi yang belum ditentukan oleh Qur’an dan Hadits) . Mereka juga melihat pidana Islam dilihat dari hak yang dirugikan atau dilanggar. Hudud, merupakan tindak pidana yang merugikan hak Allah. Qisas adalah tindak pidana yang merugikan hak korban atau keluarganya sedangkan ta’zir adalah tindak pidana yang merugikan hak negara. Sebagian besar huquq Allah sebenarnya adalah huquq yang berhubungan dengan, dan seringkali secara eksklusif terkait dengan, masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, huquq Allah dan huquq alibad tidak bisa dibuat kategori binari yang saling berhadapan karena banyak huquq Allah berkaitan dengan hak-hak individu sementara sejumlah huquq al-’ibad berkaitan dengan kepentingan kolektif atau kelompok. Artinya antara huquq Allah dan huquq al-ibad merupakan rangkaian kesatuan (continuum). Perbedaannya , huquq Allah terkait dengan bidang-bidang di mana timbul perhatian besar dengan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan komunal dan tatanan moralnya, sedangkan huquq al-Ibad terkait dengan kepentingan pribadi dan kesakralan hak-hak individu dalam konteks komunal. (Hallaq, 2019:70).

TABEL 5

Fiqh Jarimah (Tindak Pidana)

Peluang Restorative Justice dalam Fiqh

Dilihat dari paradigma fiqh, peluang digunakannya restorative justice untuk menyelesaikan tindak pidana , termasuk tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati amat besar, karena beberapa jalur atau pertimbangan. Pertama, melalui jalur pembaharuan fiqh . Dilihat dari metodenya (usul Fiqh), fiqh sebenarnya dihasilkan dari beragam metode sehingga berpeluang menghasilkan fiqh baru, termasuk cara-cara penghukuman baru, untuk mengganti fiqh lama. Kaidah fiqh menyatakan bahwa hukum dapat berubah seiring perubahan tempat,waktu dan keadaan. Ibnu Qayyim al-Jauziah mengatakan “Sesungguhnya fatwa bisa berubah atau berbeda karena perubahan atau perbedaan waktu, tempat, keadaan atau kondisi, dan adat kebiasaan.” Dalam penjatuhan sanksi pidana, ada adagium yang diterima secara universal bahwa “lebih baik salah mengampuni dari pada salah menghukum”. Kedua, melalui jalur pemaafan, terutama dari pihak korban atau keluarganya. Pemaafan sangat dianjurkan bahkan terhadap tindak pidana pembunuhan. Salah satu rujukannya adalah surat Al-Baqarah ayat 178, Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” Memaafkan amat dianjurkan dalam al-Qur’an sehingga dalam ayat lain dikatakan bahwa memaafkan itu mendekati atau tangga untuk menjadi orang bertaqwa. (QS. 2 Al Baqarah:237) Ketiga, melalui konsep diyat atau semacam kompensasi yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau keluarganya. Diyat ini sering digandengkan dengan pemaafan karena rujukan utamanya sama yakni ayat 178 surat al-Baqarah. Keempat, melalui jalur taubat. Ibnu Rusyd dalam Bidâyat al-Mujtahid, sebagaimana dikutip Ali Abu Bakar memaparkan ada empat pendapat tentang pengaruh taubat terhadap hukuman. Pertama, pertobatan hanya menggugurkan hukuman hirâbah, sedangkan seluruh hak Allah selain itu dan hak hamba (manusia) tetap dituntut (tidak hapus karena pertobatan). Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik. Kedua, pertobatan menggugurkan hukuman hirâbah dan seluruh delik lain yang dikategorikan kepada hak Allah yang menyertai hirâbah itu yaitu perzinaan/ pemerkosaan, meminum khamar, dan pencurian. Sedangkan hak-hak manusia yaitu harta dan nyawa tidak gugur karena tobat kecuali jika wali memaafkan. Ketiga , pertobatan menghapuskan seluruh hak Allah, sedangkan terkait pembunuhan dan harta tetap dituntut jika barang yang diambil pada waktu hirâbah masih ada. Keempat, pertobatan menggugurkan juga semua hak manusia berupa pembunuhan dan harta, kecuali harta tersebut masih dapat ditemukan. ( Abu Bakar, 2015) Kelima, melalui pemakanaan ulang apa yang dimaksud dengan huquq al-ibad ( hak-hak manusia) dan huquq Allah (hak-hak Allah), karena sebagaimana dikatan oleh Hallaq, kedua hak itu sejatinya merupakan rangkaian kesatuan (continuum) dan sebagaimana dikatakan oleh Izzudin bin Abd as-Salam, setiap tindakan hukum dimaksudkan untuk kemashlahatan manusia , bukan untuk kepentingan Tuhan. Keenam, melalui jalur fiqh politik atau fiqh siyasah. Fiqh Siyasah atau Siyasah Syar’iyyah sebagaimana didefinisikan oleh Abd Wahab Khallaf sebagai berikut :Hiya tadbir al-syu’un al-ammah li al-daulah al-Islamiyah bima yakfulu tahqiq al-mashalih wa daf’i al-madlarr mimma la yata’adda hudud al-syari’ah wa ushulaha al-kulliyyah wa in lam yattafiq aqwal al-mujtahidin. ( Khallaf, 1977:15) Artinya: Siyasah Syar’iyyah adalah kebijakan public di negara Islam demi mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemadlaratan tanpa melampui batas-batas syariah dan prinsip pokoknya meskipun kebijakan itu tidak sejalan dengan pendapat fuqaha mujtahidin. Jadi, kebijakan public demi kemaslahatan public tidak harus sejalan dengan pendapat fiqh. Bahkan dalam pandangan Ibn al- Qayyim , rujukan penguasa dalam membuat kebijakan public tidak harus mengacu pada teks wahyu. Siyasah dalam pandangan Ibn al-Qayyim adalah ; ma kana fi’lan yakunu ma’ahu al-nas aqraba ila al-shalah wa ab’ada ‘ani al-fasad wa in lam yasyra’hu al-rasul wala nazala bihi wahyun ( Al-Jauziyah, 1961:16). Tahir Mahmood , mengidentifikasi tujuh metode yang digunakan oleh sejumlah negara Muslim dalam melakukan pembaharuan hukumnya. (Mahmood , 1987: 13) Teknik tahayur dan talfiq, merupakan teknik baru dalam perkembangan fiqh di dunia Islam. Sebab kalau melihat rujukan klasik terutama dari kalangan Syafi’iyah praktek ini dipandang sebagai praktek tercela, karena dianggap tidak konsisten. Tapi ,d dewasa ini kedua teknik ini atau yang lebih dikenal sebagai eklektisisme juga digunakan di Indonesia. (Mahfud MD,2018) Meskipun reformasi yang dikemukakan oleh Mahmood terkait dengan hukum privat atau hukum keluarga, tetapi metodenya dapat digunakan untuk melakukan reformasi di bidang lain. Jadi, jika melihat perkembangan makna pemidanaan, maka prinsip restorative justice amat mungkin dijadikan alternative untuk pidana mati di Indonesia. (Komnas Perempuan,2016:257).

TABEL 6
METHODOLOGY OF REFORM TAHIR MAHMOOD

Kesimpulan

Fiqh pada mulanya dimaknai sebagai pengetahuan seseorang tentang apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi dirinya. Meskipun definisi Fiqh sebagai ilmu kemudian mengalami perkembangan , namun hakikat fiqh sebagai pengetahuan membawa maslahat bagi manusia tetap tidak hilang. Kemaslahatan manusia kemudian ditempatkan sebagai tujuan fiqh atau maqashid syariah. Ada lima hal yang sering dirujuk oleh fuqaha sebagai tujuan syariah , salah satunya adalah perlindungan terhadap hak hidup (hifdzu al-nafs). Untuk melindungi hak hidup ini, maka dalam fiqh dijumpai ancaman pidana mati dalam bentuk hukuman setimpal (qishash) bagi orang yang melakukan pembunuhan secara berencana. Selain untuk tindak pidana pembunuhan berencana, hukuman mati juga diancamkan pada tindak pidana murtad, zina muhson, perampokan (hirabah) dan pemberontakan (al-baghyu).

Fiqh , pada umumnya, membagi kategori tindak pidana (jarimah) dilihat dari sumber rujukan sanksi dan hak yang dilanggar atau dirugikan menjadi tiga bagian; qishash, hudud dan ta’zir. Hudud adalah tindak pidana yang sanksinya telah ditetapkan secara tekstual atau tersurat dalam al-Qur’an atau Hadits. Demikian pula qishash, dalam bentuk hukuman setimpal juga disebutkan dalam nash al-Qur’an. Adapun ta’zir, adalah tindak pidana yang sanksinya tidak ditetapkan secara tekstual atau tersurat dalam al-Qur’an atau Hadits.

Sungguhpun demikian, dilihat dari paradigma fiqh, sanksi ini amat mungkin berubah sesuai dengan perubahan zaman. Sebab paradigma fiqh memungkinkan munculnya berbagai ketentuan fiqh karena perbedaan metodologi (ushul fiqh) yang digunakan. Meskipun dalam kitab fiqh klasik, hukuman mati bagi pelaku murtad masih dicantumkan, namun dunia Islam pada umumnya, termasuk Indonesia, tidak lagi memberikan sanksi pidana mati bagi pelaku murtad.

Dilihat dari paradigma fiqh dan ushul fiqh, peluang digunakannya restorative justice amat terbuka. Peluang itu dapat diperoleh melalui enam jalur ; pembaharuan fiqh, pemaafan, diyat (kompensasi bagi korban), taubat, reformulasi konsep huquq al-Ibad dan huquq Allah dan kebijakan politik atau siyasah syar’iyyah.

id_IDBahasa Indonesia