Imparsial

Hakim dan Jaksa Tidak Serius Mengadili Perkara Perusakan Masjid Miftahul Huda yang dibangun oleh Komunitas Muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang

Pernyataan Sikap Tim Advokasi KBB atas Putusan PN Pontianak

Dalam kasus perusakan Masjid Miftahul Huda, total terdakwa sebanyak 22 orang. Pada hari
ini Kamis tanggal 6 Januari 2022 Pengadilan Negeri Pontianak menggelar sidang dengan
agenda Putusan terhadap 21 Terdakwa dalam kasus perusakan Masjid Miftahul Huda yang
di bangun oleh komunitas muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan
Tempunak, Kabupaten Sintang. Kalimantan Barat. Terdakwa Fathurruzi (atau yang umum
dikenal sebagai Dedeh) dkk dengan register perkara nomor: 819/Pid.B/2021/PN Ptk,
820/Pid.B/2021/PN Ptk, 821/Pid.B/2021/PN Ptk, 822/Pid.B/2021/PN Ptk, 823/Pid.B/2021/PN
Ptk, 824/Pid.B/2021/PN Ptk, 825/Pid.B/2021/PN Ptk, 826/Pid.B/2021/PN Ptk, dengan
Majelis Hakim yang diketuai oleh Akhmad Fijiarsyah Joko Sutrisno, S.H., M.H., dengan
dakwaan pasal 160 KUHP, 170 KUHP ayat (1), dan 406 KUHP. Satu orang terdakwa masih
dalam agenda pembelaan pada sidang hari ini.
Tim advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan mengecam putusan majelis hakim PN
Pontianak yang hanya menjatuhkan vonis 4 Bulan 15 hari penjara bagi 21 terdakwa
perusakan Masjid Miftahul Huda.
Sudah berjalan 4 bulan sejak perusakan yang dilakukan Dedeh dkk, Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Barat melimpahkan berkas perkara untuk diperiksa dan disidangkan di PN
Pontianak kemudian pada 18 November 2021 sidang pertama untuk 22 terdakwa digelar
dengan agenda pembacaan dakwaan. Persidangan terhadap para terdakwa terlihat berbeda
dengan pasal yang didakwa oleh Jaksa penuntut umum yang terlihat menjadi persidangan
keyakinan Ahmadiyah. Pada tanggal 25 November 2021 dengan agenda pemeriksaan
saksi korban yaitu 3 orang saksi dari Ahmadiyah, 2 diperiksa yaitu saksi Karsono dan saksi
Lukman sedangkan saksi Nasir tidak diperiksa padahal sudah dihadirkan secara online dari
kantor LPSK Jakarta

Kejanggalan mulai terasa pada persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan
Saksi dari Ahmadiyah karena persidangan berubah menjadi persidangan keyakinan, terbukti
pertanyaan Jaksa Penuntut Umum dominan mengenai keyakinan Ahmadiyah sedangkan
pemeriksaan unsur-unsur tindak pidana perusakan dan hasutan yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut umum tidak diperiksa secara detail ditambah lagi persidangan terhadap
keyakinan Ahmadiyah di perkuat oleh Ketua Majelis hakim yang memberikan nasehat
kepada saksi Karsono terhadap keyakinannya. Persidangan semakin memperlihatkan
penghakiman bagi keyakinan saksi Karsono dan saksi Lukman yang merupakan anggota
komunitas muslim Ahmadiyah.
Keberpihakan Jaksa Penuntut Umum terhadap para terdakwa terlihat jelas ketika pada
tanggal 30 Desember 2021 Jaksa Penuntut Umum menuntut para terdakwa dengan tuntutan
6 bulan penjara yang sangat ringan dari ancaman hukum yang diatur dalam KUHP, hal ini
membuktikan bahwa jaksa tidak serius sebagai pengendali perkara (dominus litis) untuk
melindungi hak-hak korban tindak pidana perusakan Masjid Miftahul Huda.

Majelis hakim yang diketuai Akhmad Fijiarsyah Joko Sutrisno, S.H., M.H. sangat kentara
terlihat keberpihakannya terhadap terdakwa Dedeh dkk yang terlihat sepanjang pemantauan
persidangan memberikan kesempatan terdakwa Hedi untuk berorasi menyampaikan
ujaran-ujaran kebencian terhadap Jemaat Ahmadiyah dan memanggil terdakwa Hedi
dengan panggilan Ustadz Hedi, ketidakseriusan dan profesionalitas hakim juga
dipertanyakan yang memutus para terdakwa dengan hukuman lebih ringan dari tuntutan
jaksa penuntut umum serta tidak mencerminkan keputusan yang berkeadilan bagi
Komunitas Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kabupaten Sintang yang menjadi
korban dalam tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa.
Putusan terhadap 21 terdakwa perusakan Masjid Miftahul Huda jelas tidak memberikan
perlindungan dan rasa aman terhadap kelompok Muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang
karena dibayangi oleh terdakwa yang sebentar lagi akan keluar dari penjara yang berpotensi
melakukan teror terhadap anggota Komunitas muslim Ahmadiyah sehingga tidak ada rasa
aman untuk menjalankan aktivitas ibadah sehari-hari. Sejatinya putusan hakim memberikan
efek jera terhadap pelaku dan menjadi warning kepada masyarakat lain untuk tidak
melakukan tindakan yang sama, tetapi putusan yang amat ringan ini dipastikan tidak akan
menimbulkan efek jera terhadap para pelaku.
Karena diduga tidak profesional dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Tim Advokasi
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan telah melaporkan dugaan pelanggaran kode etik
yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dan majelis hakim yang memeriksa perkara ini yang
berpotensi mendiskriminasi saksi korban dari komunitas Muslim Ahmadiyah dalam mencari
keadilan di PN Pontianak.
Berdasarkan uraian tersebut, Kami Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
menyatakan sikap:

  1. Mengecam keras putusan Majelis Hakim PN Pontianak yang menjatuhkan
    vonis 4 bulan 15 hari penjara kepada Para Terdakwa. Vonis yang sangat ringan
    tersebut telah mencederai wajah pengadilan, gagal menjamin keadilan bagi
    korban, dan tidak mewujudkan penegakan hukum yang memberikan efek jera
    bagi pelaku;
  2. Mendesak Jaksa Agung RI dan meminta Komisi Kejaksaan untuk memeriksa
    Jaksa Penuntut Umum yang memeriksa perkara ini yang berpotensi memiliki
    keberpihakan terhadap para terdakwa perusakan Masjid Miftahul Huda;
  3. Mendesak Ketua Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat untuk menyatakan
    banding terhadap putusan 21 terdakwa yang melakukan perusakan Masjid
    Miftahul Huda;
  4. Mendesak Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI untuk mempercepat
    pemeriksaan majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut yang tidak
    serius dalam menangani perkara perusakan Masjid Miftahul Huda;
  1. Menegaskan bahwa tuntutan jaksa penuntut umum dan putusan majelis hakim
    PN Pontianak adalah bentuk bagian dari ketundukan dan lemahnya sikap
    penegak hukum untuk menghukum kelompok-kelompok intoleran;
  2. Mendesak Kementerian dan Lembaga Negara untuk terus mengawal
    perkembangan kasus Pengrusakan Masjid Miftahul Huda pasca putusan hari
    ini serta kasus-kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah lainnya, dalam konteks
    ini Menteri Agama, Menkopolhukam, Komisi III DPR RI, dan Menteri Dalam
    Negeri;
  3. Mendesak Kapolri, Kapolda Kalimantan Barat dan jajarannya untuk
    menjamin keamanan warga Ahmadiyah, khususnya di Sintang dan
    Kalimantan Barat, pasca putusan ini. Ancaman para pelaku terhadap
    Ahmadiyah dan terkait stabilitas keamanan dalam relasi antar identitas
    keagamaan di Kalimantan Barat harus direspons dengan langkah-langkah
    antisipasi dan penanganan yang memadai.

Jakarta, 6 Januari 2022
Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

id_IDBahasa Indonesia