Asrama Haji Bukan Markas Aparat: Stop Tarik Militer-Polisi ke Urusan Pemerintahan Sipil

Desember 1, 2025
Oleh admin


Siaran Pers Imparsial
No: 041/Siaran-Pers/IMP/XII/2025


Menyikapi rencana pelibatan TNI-Polri sebagai Petugas Haji 2026

”Asrama Haji Bukan Markas Aparat: Stop Tarik Militer-Polisi ke Urusan Pemerintahan Sipil”



Pada Kamis, 27 November 2025, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, mendorong agar 50 persen kuota petugas haji tahun 2026 diisi oleh personel TNI dan Polri. Usulan tersebut disampaikan dalam rapat harmonisasi Revisi UU Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang terbuka untuk umum dan diliput berbagai media nasional.

Imparsial memandang, rencana penempatan TNI dan Polri sebagai petugas haji tidak memiliki relevansi karena tugas tersebut berada di luar spektrum profesionalisme TNI dan Polri. TNI dididik sebagai alat pertahanan negara, begitupun Polri merupakan alat negara untuk menjaga keamanan dan menegakkan hukum. Dengan demikian, petugas haji yang menuntut keahlian pelayanan jemaah, pendampingan ibadah, manajemen kerumunan berbasis layanan, dan dukungan kesehatan sama sekali tidak memiliki relevansi dengan tugas TNI-Polri itu sendiri. Selain itu, memaksa TNI-Polri untuk masuk ke ranah ini justru berisiko menghasilkan pelayanan yang tidak optimal, menggerus standar profesional TNI–Polri, serta memperkuat praktik perluasan tugas dan fungsi tanpa kompetensi khusus.

Lebih jauh, hal tersebut juga bertentangan dengan mandat konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Pelayanan haji sama sekali bukan tugas pertahanan negara, dan tidak termasuk dalam 14 jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam UU No. 3/2025 tentang TNI. Mengalokasikan 50 persen petugas haji dari unsur TNI-Polri merupakan bentuk perluasan fungsi yang tidak memiliki dasar hukum dan melanggar prinsip pemisahan sipil–militer.

Kami memandang usulan ini mencerminkan kecenderungan politisi sipil yang terus-menerus menjadikan TNI-Polri sebagai solusi instan bagi persoalan tata kelola urusan pemerintahan sipil. Alih-alih membenahi mekanisme rekrutmen petugas haji yang rawan politisasi dan patronase, sejumlah politisi justru memilih jalan pintas dengan menyeret militer dan anggota kepolisian ke ranah pelayanan administratif. Sikap seperti ini sesungguhnya keliru secara konsep, serta menunjukkan kegagalan politisi sipil dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk memperkuat institusi dan kapasitas pelayanan publik. Pelibatan TNI-Polri di berbagai sektor belakangan ini, seperti penugasan di bidang tambang, pangan, dan administrasi sipil, menunjukkan pola pelibatan militer yang melampaui urusan-urusan pertahanan itu sendiri. Sayangnya, pola ini tidak tidak menyelesaikan akar persoalan, tetapi menciptakan ketergantungan baru dan mengurangi insentif bagi pejabat sipil untuk melakukan pembenahan institusional yang sesungguhnya.


Imparsial mendesak DPR dan Pemerintah untuk menghentikan seluruh upaya perluasan peran TNI-Polri di luar mandat konstitusionalnya dan memastikan bahwa pelayanan publik tetap berada sepenuhnya dalam ranah sipil yang profesional, transparan, dan akuntabel. Pembiaran terhadap praktik tersebut selain memberikan ruang dominasi aparat bersenjata dalam urusan sipil, lebih jauh akan merusak profesionalisme baik institusi sipil maupun militer itu sendiri. Sikap anggota DPR RI, Saleh Partaonan Daulay sebagaimana tersebut di atas, mencerminkan rendahnya pemahaman terkait tata kelola negara yang demokratis dan prinsip good governnance. Alih-alih mengevaluasi dan membenahi sektor pelayanan haji, usulah tersebut justru berisiko merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis.


Jakarta, 01 Desember 2025

Ardi Manto Adiputra
Direktur


Follow Us