Siaran Pers Imparsial
No. 027/Siaran-Pers/VIII/2025
Terjadi Kembali di Jawa Barat: Zona Merah Kebebasan Beragama?
Pada 2 Agustus 2025, Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat, menutup paksa rumah doa umat kristiani di Kecamatan Caringin. Pemerintah juga melakukan penyegelan terhadap rumah doa, dan mengusir rohaniwan rumah doa tersebut, beserta anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Terdapat upaya intimidasi terhadap rohaniwan rumah doa, yang dipaksa menandatangani surat pernyataan bahwa mereka bersedia untuk meninggalkan rumah doa tersebut. Selain upaya intimidasi penandatangan paksa surat pernyataan, juga terdapat berita acara kesepakatan bahwa rumah doa Imanuel ditutup secara permanen. Tragedi ini semakin memperpanjang daftar catatan buruk tindakan diskriminatif terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan di Jawa Barat.
Berdasarkan infromasi yang dihimpun dari berbagai media, kesepakatan yang diklaim disetujui oleh kedua belah pihak, baik antara pemerintah daerah maupun rohaniawan rumah doa, terdapat poin pelarangan aktivitas peribadatan atau pembinaan iman terhadap umat Kristiani, serta pelarangan aktivitas lainnya, seperti pembagian sembako yang dilakukan oleh jemaat rumah doa tersebut. Pembatasan-pembatan paksa dalam aktivitas keagamaan merupakan bentuk nyata praktik diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Kami memandang, peristiwa diskriminasi yang terjadi di garut adalah pelanggaran hak asasi manusia. Pada dasarnya, kebebasan beragama atau berkeyakinan merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan dijamin keberadaannya oleh Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945z Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama seperti yang terjadi di Garut sejatinya adalah pelanggaran HAM yang secara sekaligus merupakan pembangkangan terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, pejabat yang terlibat dan bertanggung jawab dalam praktik diskriminasi harus dievaluasi dan apabila terdapat potensi pelanggaran hukum harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam catatan Imparsial, sepanjang Medio Desember 2024 hingga Agustus 2025, setidaknya telah terjadi sepuluh kasus pelanggaran hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Mirisnya, dari sepuluh kasus Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat, tujuh kasus diantaranya dilakukan oleh Pemerintah setempat sebagai aktor yang melakukan pelanggaran HAM. Sementara, tiga kasus lainnya terjadi akibat adanya kelalaian dan pembiaran oleh negara, sehingga kasus pelanggaran HAM dalam hal kebebasan beragama berkeyakinan terus terjadi. Tingginya jumlah kasus di Jawa Barat sudah sepatutnya menjadi evaluasi dan perhatian serius pemerintah dalam menjamin hak beragama dan berkeyakinan dari setiap warganya tanpa terkecuali. Kami khawatir jika ini terus dilakukan dan dibiarkan, praktik pelanggaran HAM akan terus terjadi dan akhirnya menimbulkan perpecahan dan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Fakta tingginya angka pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat menunjukkan bahwa Gubernur Jawa Barat tidak memiliki komitmen sungguh-sungguh dalam merarawat kerukunan antar umat beragama di provinsi ini. Kami memandang jika benar Gubernur memiliki komitmen terhadap kebebasan beragama, maka sudah sepatutnya peristiwa ini menjadi perhatian serius dan memastikan kedepan tidak akan ada lagi peristiwa serupa berulang di Jawa Barat. Jika tidak, narasi toleransi yang kerap disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat tidak lebih sekadar dari gimmick semata.
Kami menilai, maraknya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat perlu dileseaikan dengan baik. Pada titik ini peran pemerintah pusat sebagai duty bearer semestinya benar-benar dilakukan. Pada titik ini diperlukan sikap tegas Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia hingga Komnas HAM sebagai bentuk pengawasan terhadap kebijakan dan kinerja pemerintahan daerah termasuk di Garut. Selain itu, kolaborasi strategis dengan berbagai stakeholder termasuk masyarakat sipil penting untuk dilakukan untuk merumuskan strategi mitigasi pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat agar peristiwa pelanggaran serupa kedepan tidak kembali terjadi.
Jakarta, 12 Agustus 2025
Ardi Manto Adiputra
Direktur
Narahubung:
1. Ardi Manto Adiputra, Direktur.
2. Hussein Ahmad, Wakil Direktur.
3. Annisa Yudha AS, Koordinator Peneliti.
4. Riyadh Putuhena, Peneliti.
5. Wira Dika Orizha Piliang, Peneliti.
