Di Bawah Bayang-Bayang Diskriminasi: Janji vs Realita Perlindungan KBB di Indonesia

Agustus 19, 2025
Oleh admin


Siaran Pers Imparsial

No. 028/Siaran-Pers/VIII/2025

Peluncuran Laporan Tahunan Imparsial tentang Situasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Periode Desember 2024 – Juli 2025

“Di Bawah Bayang-Bayang Diskriminasi: Janji vs Realita Perlindungan KBB di Indonesia”



Pada Selasa, 19 Agustus 2025 Imparsial mengadakan kegiatan Peluncuran Laporan Tahunan tentang Situasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Periode Desember 2024 – Juli 2025 dan diskusi public dengan tema “Di Bawah Bayang-Bayang Diskriminasi: Janji vs Realita Perlindungan KBB di Indonesia”. Kegiatan ini bertujuan untuk mempublikasikan hasil monitoring serta analisis Imparsial tentang pelanggaran hak atas KBB dalam rentang waktu dari Desember 2024 – Juli 2025.

Dalam catatan Imparsial, sepanjang periode Desember 2024 – Juli 2025 terdapat setidaknya 13 kasus pelanggaran hak atas KBB yang terjadi Indonesia. Kasus-kasus tersebut didapatkan dari hasil pemantauan berbagai sumber media (media monitoring), dan selanjutnya dianalisis serta disusun dalam bentuk laporan mengenai situasi dan dinamika pelanggaran KBB di Indonesia. Temuan Imparsial memperlihatkan bahwa pelanggaran KBB tidak hanya terkonsentrasi di satu wilayah, tetapi tersebar di sedikitnya lima provinsi berbeda. Dari total 13 kasus, Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu sembilan kasus, yang menunjukkan bahwa provinsi ini masih menjadi episentrum persoalan intoleransi dan diskriminasi berbasis agama atau kepercayaan. Sementara itu, empat kasus lainnya masing-masing terjadi di Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat, memperlihatkan bahwa praktik pelanggaran serupa juga terjadi di luar Jawa. Dengan luasnya persebaran pelanggaran hak atas KBB tersebut dapat dikatakan bahwa pelanggaran hak atas KBB masih menjadi persoalan nasional hingga kini.

Temuan Imparsial menunjukkan bahwa kasus terbanyak adalah pelanggaran hak atas rumah ibadah sebanyak 9 kasus, disusul hak melaksanakan ibadah sebanyak 7 kasus, sedangkan 3 kasus tercatat merupakan pelanggaran rasa aman dan hak menyiarkan paham keagamaan. Meskipun lebih sedikit, pelanggaran hak atas rasa aman dan hak menyiarkan paham keagamaan berdampak serius terhadap keselamatan dan stabilitas psikologis korban, serta berpotensi memicu konflik sosial yang mengancam keberagaman bangsa. Perlu diingat juga bahwa hak atas rasa aman dan hak atas berpikir dan beragama/berkeyakinan merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi atau dicabut dalam kondisi apapun, bahkan dalam keadaan darurat atau perang.


Pelaku pelanggaran selama periode ini berasal dari aktor negara maupun non-negara. Imparsial mencatat pemerintah daerah dan lembaga formal sebagai pelaku yang dominan dengan catatan sebanyak 7 kasus. Sementara aktor non-negara meliputi tokoh agama, warga, organisasi masyarakat, hingga perusahaan, dengan 5 kasus yang tercatat, seperti kasus yang terjadi dalam pembangunan musala di Summarecon Bekasi yang ditolak oleh pihak Summarecon Bekasi dan kasus penganiayaan di Indragiri Hulu, Riau yang dilakukan oleh teman sekolah korban. Selain itu, kelompok rentan, terutama minoritas agama, menjadi korban utama karena posisi sosial, politik, dan kultural yang lemah. Lebih lanjut yang membuat catatan situasi KBB di Indonesia ini semakin terlihat buruk adalah anak-anak–sebagai kelompok rentan harus menjadi korban dari peristiwa yang terjadi. Misalnya dalam kasus penganiayaan di Indragiri Hulu dan keterlibatan anak-anak dalam persekusi di Padang. Fakta bahwa anak-anak turut menjadi korban menegaskan kegagalan negara dalam melindungi kelompok paling rentan dari diskriminasi dan kekerasan berbasis agama/ kepercayaan.

Imparsial memandang, dominasi Jawa Barat dalam catatan pelanggaran KBB bukanlah hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, provinsi ini berulang kali menempati posisi teratas dalam laporan tahunan Imparsial dan berbagai organisasi HAM. Faktor penyebabnya antara lain adalah kuatnya regulasi daerah yang diskriminatif, tingginya pengaruh kelompok intoleran dalam memengaruhi kebijakan lokal, lemahnya keberpihakan aparat terhadap kelompok rentan, serta rendahnya komitmen negara dalam menyediakan akses pemulihan bagi korban. Situasi ini menandakan adanya masalah struktural yang tidak terselesaikan, yakni pembiaran oleh negara atas eksistensi aturan diskriminatif, seperti Pergub Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang larangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah. Peraturan ini memperuncing sentimen kebebasan beragama atau berkeyakinan serta memperkuat praktik intoleransi di masyarakat Jawa Barat. Dampaknya adalah aturan tersebut melahirkan pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan dengan pola keberulangan.


Imparsial menilai, alih-alih melindungi kelompok rentan, pemerintah daerah kerap berpihak pada kelompok mayoritas dengan dalih menjaga ketertiban umum dan stabilitas sosial, sehingga praktik politik favoritisme dan lemahnya political will memperkuat diskriminasi. Berbagai kasus di Kuningan, Banjar, dan Bogor memperlihatkan pemerintah menggunakan regulasi diskriminatif untuk melarang aktivitas keagamaan atau membekukan pembangunan rumah ibadah, meski sudah ada putusan pengadilan. Lebih lanjut, lemahnya penegakan hukum serta pembiaran kasus-kasus intoleransi membuat kelompok rentan mengalami viktimisasi ganda: menjadi korban diskriminasi masyarakat sekaligus kebijakan pemerintah. Hal ini berimplikasi pada perampasan hak sipil, politik, hingga ekonomi, serta menimbulkan trauma psikologis yang berkepanjangan. Pemulihan korban yang seharusnya menjadi kewajiban negara tidak dijalankan secara optimal, sehingga membuka ruang berulangnya kasus intoleransi. Dengan kerangka hukum yang sudah ada, negara dituntut untuk bertindak tegas melalui penegakan hukum konsisten, kebijakan inklusif, dan program yang mendorong kesadaran toleransi, agar jaminan konstitusional tidak sekadar retorika, tetapi benar-benar hadir dalam kehidupan masyarakat dan mencegah disintegrasi bangsa.


Dalam laporan tahunan tersebut, Imparsial memberikan rekomendasi agar pemerintah segera mencabut atau merevisi peraturan perundang-undangan yang membatasi dan bersifat diskriminatif. Selain itu, perlu juga untuk memperkuat penegakan hukum terhadap para pelaku intoleran untuk mencegah keberulangan peristiwa intoleransi, bukannya justru meminta pihak yang dilanggar haknya (korban) untuk mengalah atas nama ketertiban umum. Untuk menjamin perlindungan bagi korban intoleransi, pemerintah perlu mengarusutamakan HAM dan KBB dalam politik pemerintahan daerah, menjamin akses keadilan bagi para korban, serta menghadirkan perspektif gender dan perlindungan khusus perempuan, dan anak-anak dalam konflik berbasis agama.



Jakarta, 19 Agustus 2025

Ardi Manto Adiputra

Direktur


Narahubung:

1. Ardi Manto Adiputra, Direktur.

2. Hussein Ahmad, Wakil Direktur.

3. Annisa Yudha AS, Koordinator Peneliti.

4. Riyadh Putuhena, Peneliti.

5. Wira Dika Orizha Piliang, Peneliti.



Follow Us