Gelombang reformasi politik 1998 yang dimotori oleh gerakan masyarakat sipil berhasil menumbangkan rezim otoritarian militeristik Orde Baru. Salah satu kritik paling keras pada saat itu dialamatkan pada kelompok ABRI, mengingat ABRI dengan peran sosial politiknya (Dwifungsi) pada saat itu dianggap telah jauh melenceng, terlalu masuk ke ranah sipil dan keluar dari tugas dan fungsi utamanya. Oleh karena itu, pada saat itu masyarakat sipil kompak menyuarakan tuntutan “ABRI Kembali ke Barak”. Tuntutan ini sejatinya hendak menempatkan ABRI pada raison d’etre-nya yakni sebagaimana semula yaitu sebagai alat pertahanan negara.
Tuntutan reformasi ABRI tersebut kemudian diimplementasikan dalam pelbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah era Reformasi, diantaranya: menetapkan TAP MR RI No. VI/ MPR/ 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan TAP MPR RI No VII/ MPR/ 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menerbitkan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan UU No, 34 Tahun 2004 tentang TNI. Legal policy yang hendak dicapai oleh beragam aturan hukum diatas adalah menciptakan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional, tidak berpolitik, tidak berbisnis, tunduk pada aturan hukum, supremasi sipil, hak asasi manusia dan prinsip serta nilai- demokrasi lainnya.
Namun demikian, kebijakan reformis yang berhasil dicapai pada awal-awal Reformasi itu seolah berhenti di tengah jalan dan bahkan mundur ke belakang (involusi). Alih-alih melanjutkan tuntutan reformasi tersebut, yang terjadi justru publik merasakan adanya tendensi untuk mengembalikan fungsi sosial-politik TNI melalui berbagai kebijakan termasuk melalui revisi UU No, 34 Tahun 2004 tentang TNI.
